Nestapa Perempuan Pekerja Migran Asal NTB Terus Berulang
Cerita nestapa perempuan pekerja migran asal NTB terus berulang. Ironisnya, mereka juga tidak punya pilihan lain.
Menjadi pekerja migran ke luar negeri masih menjadi pilihan bagi perempuan di Nusa Tenggara Barat meski tidak sedikit yang berakhir nestapa. Alasan memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga, membuat tidak sedikit dari mereka yang nekat berangkat. Cerita itu terus saja terulang.
Pada Jumat (19/1/2024) lalu, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menggagalkan keberangkatan sepuluh calon pekerja migran Indonesia menuju Timur Tengah. Data resmi BP2MI menyebutkan, empat dari sepuluh calon pekerja migran berasal dari Nusa Tenggara Barat, di antaranya Novi Pertiwi (24), perempuan asal Labuhan Haji, Lombok Timur.
NP awalnya mendapat informasi ada agen di Jakarta yang bisa memberangkatkannya ke Timur Tengah. Tanpa pikir panjang, ia langsung berangkat ke Jakarta. Namun, lebih dari sebulan di sana, ia tidak kunjung diberangkatkan ke Abu Dhabi untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Kejadian yang dialami Novi bukan cerita baru. Pada Juni 2023 lalu, misalnya, sebanyak 22 perempuan calon pekerja migran dipulangkan ke NTB. Mereka berasal dari berbagai wilayah di NTB, seperti Lombok Barat, Lombok Tengah, Kota Mataram, dan Dompu. Seperti Novi, ke-22 calon PMI itu berangkat secara perseorangan ke Jakarta dan akan dikirim ke Timur Tengah.
Pada awal Januari 2022, sebanyak 53 perempuan asal NTB juga dipulangkan ke kampung halaman masing-masing. Mereka termasuk dalam 60 calon pekerja migran yang ditemukan saat penggerebekan rumah penampungan di Bekasi, akhir Desember 2021. Semuanya akan diberangkatkan secara tidak resmi karena ditemukan tanpa dokumen penempatan.
Baca juga: Cegah Perdagangan Orang, NTB Terus Perkecil Ruang Gerak Calo
Tidak semua keberangkatan secara nonprosedural bisa dicegah. Ada yang lolos dan bahkan tidak sedikit yang berakhir tragis atau mendapat malapetaka di luar negeri.
Siti Mahyati (37) dari Dusun Batu Nyala, Desa Surabaya Timur, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur, misalnya, diduga mengalami kekerasan dan disiksa majikannya di Irak.
Siti tercatat berangkat ke luar negeri pada 2 Juli 2022. Lalu, pada 21 Juli 2022, ia diberangkatkan ke Istanbul dan menginap di sana selama empat hari.
Setelah itu, ia terbang ke Gaziantep, Turki, dan melanjutkan perjalanan darat ke Irak. Sesampainya di Irak, ia dibawa ke Dahuk. Ia diketahui empat kali berganti majikan. Kondisi Siti diketahui setelah video singkat yang direkamnya secara diam-diam beredar di internet. Dalam video itu, Siti terlihat memohon agar bisa dipulangkan ke Tanah Air.
”Pak Presiden (Joko Widodo) tolong saya. Ibu Menteri Ketenagakerjaan, Kapolri, dan Bapak Mahfud MD. Tolong, gubernur saya di NTB (Zulkieflimansyah). Pulangkan saya,” kata Siti sambil terisak berurai air mata.
Nestapa juga dialami Budihartini (39). Perempuan asal Tanjung, Lombok Utara, itu pulang dalam kondisi memprihatinkan. Selain harus menggunakan kursi roda, Budihartini juga tidak bisa lagi berbicara dan hanya bisa berkomunikasi dengan isyarat.
Baca juga: Perempuan Pesisir NTB Menolak Jadi Penonton
Kondisi itu dialami Budihartini setelah dilaporkan mengalami kecelakaan di Bandara King Khalid International, Riyadh, Arab Saudi, medio Mei 2022. Ia kemudian harus menjalani operasi pembedahan besar karena pembuluh darah di kepalanya pecah. Pada September 2022, Budihartini bisa dipulangkan setelah beberapa bulan keluarga kehilangan kontak dengannya.
Berkelindan
Keputusan para perempuan asal NTB untuk bekerja ke luar negeri memang tidak serta-merta muncul. Ada berbagai hal yang mendorongnya, tetapi terkait satu sama lain.
Salah satu yang memicu adalah kasus perceraian di NTB tergolong tinggi. Pada 2022, Pengadilan Agama Provinsi NTB mencatat lebih dari 9.000 gugatan cerai. Tidak hanya di Pulau Lombok, tetapi juga di Pulau Sumbawa.
Menurut Ketua Solidaritas Perempuan Mataram Nurul Utami, pada masyarakat Sasak di Lombok, ketika ada perceraian, tanggung jawab cenderung melekat kepada perempuan.
”Saat berpisah dengan suaminya, beban pengasuhan anak ke perempuan. Termasuk makanan, minuman, dan pendidikan. Jadi, dia yang berjuang membesarkan dan mengasuh anak,” kata Nurul, Jumat (8/3/2024).
Baca juga: Indonesia Dorong Penguatan HAM dan Perlindungan Pekerja Migran
Hal itu mendorong perempuan melakukan apa saja untuk menghidupi diri sendiri dan anak. Akan tetapi, pada saat yang sama, ada faktor lain, seperti fungsi lahan yang tidak mengakomodasi kepentingan atau kebutuhan perempuan. Lahan pertanian dan perkebunan berubah menjadi bangunan komersil hingga proyek strategis nasional.
Kondisi itu mengubah ruang hidup perempuan Sasak. Mereka kehilangan tempat-tempat yang selama ini jadi sumber kehidupan. Perempuan yang menjadi kepala keluarga itu kian terdesak, hingga pilihan terakhir menjadi pekerja migran pun ditempuh.
Dorongan untuk menjadi pekerja migran kian kuat ketika para calo dengan iming-iming gaji tinggi beraksi. Apalagi calo-calo tersebut juga banyak yang perempuan sehingga lebih mudah untuk mendekati dan meyakinkan sesama perempuan agar mau berangkat.
Selain itu, Solidaritas Perempuan Mataram juga mendapati keinginan warga Lombok menjadi pekerja migran di negara-negara Timur Tengah sangat tinggi. Itu tidak terlepas dari informasi yang dikembangkan para calo. Misalnya, tentang kesamaan kepercayaan atau agama sehingga bisa beribadah dengan mudah dibandingkan dengan negara lain.
Apalagi tidak semua perempuan bisa mengakses internet. Keterbatasan perempuan itu lantas menjadi peluang untuk menjadikan mereka sebagai korban.
Semua faktor itu berkelindan. Desakan ekonomi, lapangan pekerjaan yang sulit, hingga iming-iming gaji tinggi. Pada akhirnya hal itu membuat mereka menyambar begitu saja tawaran calo, termasuk menjadi pekerja migran melalui jalur nonprosedural atau ilegal.
”(Pekerja migran) Nonprosedural memang paling banyak, tetapi bukan berarti yang prosedural tidak bermasalah. Kami juga menangani kasus (perempuan pekerja migran) yang berangkat secara prosedural, seperti ke Brunei Darussalam dan Malaysia,” kata Nurul.
Baca juga: Pekerja Migran Nonprosedural di NTB Terjebak Iming-iming Calo
Selama puluhan tahun, kasus-kasus yang menimpa perempuan PMI terus berulang. Hal itu, menurut Nurul, menandakan ada mekanisme yang tidak berubah dalam penempatan dan perlindungan perempuan pekerja migran, khususnya dari NTB. Padahal, peningkatan kapasitas perempuan pekerja migran harus diberikan secara komprehensif. Kondisi itu sering dimanfaatkan oleh calo.
”Apalagi tidak semua perempuan bisa mengakses internet. Keterbatasan perempuan itu lantas menjadi peluang untuk menjadikan mereka sebagai korban,” kata Nurul.
Upaya penanganan
Di sisi lain, Pemerintah Provinsi NTB tidak tinggal diam terhadap persoalan pekerja migran itu. Sederet upaya sudah dilakukan, salah satunya membentuk Satuan Tugas Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Satgas ini melibatkan unsur terkait, seperti Polda NTB, Imigrasi, Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, serta Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.
Baca juga: Pekerja Migran, ”Pelita” Baru bagi Sesama
Unsur pemerintahan terendah, seperti desa dan kelurahan, juga dilibatkan. Apalagi mereka yang paling dekat dengan calon pekerja migran serta memberikan rekomendasi bagi calon pekerja migran.
Tak hanya itu, masyarakat juga dilibatkan untuk melaporkan praktik calo. Dengan keterlibatan semua pihak itu, diharapkan bisa mencegah pengiriman pekerja migran nonprosedural ataupun tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
”Bekerja ke luar negeri merupakan pilihan dan hak setiap warga negara. Pemerintah tidak bisa melarang masyarakat untuk bekerja. Kewajiban pemerintah bersama pemangku kepentingan adalah menfasilitasi, menyiapkan mereka agar memenuhi persyaratan dan protokol antarnegara serta memberikan perlindungan,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB I Gede Putu Aryadi.
Jika lapangan pekerjaan untuk perbaikan ekonomi perempuan di NTB masih terbatas, penempatan dan perlindungan bagi perempuan pekerja migran harus benar-benar dijalankan. Jika tidak, kisah nestapa mereka dari luar negeri bakal terus berulang.