Perempuan Pesisir NTB Menolak Jadi Penonton
Sejak pandemi Covid-19 hingga saat ini, para perempuan di sejumlah kawasan di pesisir Nusa Tenggara Barat bersatu untuk mengolah hasil laut. Mereka menolak untuk hanya menjadi penonton di tengah berkembangnya pariwisata.
Para perempuan di kawasan pesisir Nusa Tenggara Barat menolak berdiam diri dan menjadi penonton geliat pariwisata di tempat mereka. Mereka bergerak bersama menggapai peluang ekonomi dan berdaya dari potensi laut yang melimpah.
Kediaman Juniarti (45) di Dusun Pinamin, Desa Poto Tano, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumbawa Barat, Minggu (16/7/2023) sekitar pukul 16.30 Wita, tampak ramai oleh belasan perempuan.
Sore itu, mereka berkumpul untuk membuat stik rumput laut dan sambal gurita di sebuah gazebo besar. Mereka membuat dua produk itu bersama-sama, mulai dari adonan hingga menjadi produk siap kemas.
Stik rumput laut dan sambal gurita itu adalah dua dari beberapa produk Persatuan Kelompok Pengolah dan Pemasar Ikan (Poklahsar) Gili Balu atau PPGB di Poto Tano. Para perempuan yang sore itu berkumpul di kediaman Juniarti adalah anggota persatuan tersebut.
Gili Balu adalah sebutan untuk delapan pulau kecil di Poto Tano yang saat ini menjadi Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan Gili Balu. Gili Balu yang berada di pintu masuk ujung barat Pulau Sumbawa (dari Lombok) menjadi salah satu fokus pengembangan pariwisata di Sumbawa Barat.
”Untuk menaikkan pariwisata Gili Balu, tentu tidak cukup destinasi saja, tetapi juga kuliner dan oleh-oleh. Jadi, kami ambil bagian dari sana,” kata Juniarti.
Menurut dia, para perempuan di Gili Balu sebenarnya telah lama membuat produk olahan hasil laut, tetapi mereka terpisah dalam delapan poklahsar di empat desa di Poto Tano di Kecamatan Poto Tano, yakni Poto Tano, Senayan, Kiantar, dan Tuananga.
Kelompok tersebut yakni Jaring Mairo, Pasir Putih, Tano Jaya, Persatuan Pasir Putih, KWT Pelita, Sepakek Barokah, Karya Tani, dan Karya Makmur.
”Kami menyadari kalau jalan sendiri dengan produk setiap kelompok akan lama berkembang, baik dari produk maupun pemasaran, sehingga kami sepakat untuk berkumpul dalam satu rumah, Persatuan Poklahsar Gili Balu,” kata Juniarti.
Persatuan yang kini punya 59 anggota aktif itu, kata Juniarti, mulai diinisiasi pada tahun 2020 saat mereka mengikuti kegiatan Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI) Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB). Kegiatan itu dilaksanakan oleh Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Gili Balu menjadi lokasi kegiatan tersebut selain di Gili Matra (Meno, Air, dan Trawangan) di Lombok dan Nusa Penida, Bali.
Baca juga: Menengok Geliat Wisata Bahari di Gili Balu
Pilihan untuk bersama-sama ternyata berjalan sesuai harapan dan berdampak. Tidak hanya jumlah produk, omzet juga bertambah.
Di awal bergabung, kata Juniarti, mereka hanya punya lima produk. Saat ini, ada lebih dari 20 produk yang bahannya dari hasil laut di Gili Balu. Produk mereka antara lain berupa stik rumput laut, stik ikan, stik cumi, stik gurita, kerupuk ikan, kerupuk cumi, kerupuk udang, dan kerupuk pangsit ikan.
Selain itu, ada juga ikan kering, abon ikan cakalang, dan bakso goreng. Mereka juga memproduksi sambal gurita, dodol dan bronis bakau, serta permen rumput laut dan permen asam.
Omzet mereka pun tumbuh. ”Kami punya pemasaran masing-masing, tetapi hanya di sekitar sini. Setelah bersama, penjualan produk kami tidak hanya di sini, tetapi sampai ke luar daerah, bahkan luar negeri,” kata Ninik Lestari (55), Ketua Poklahsar Karya Makmur.
Saat masih sendiri, kata Ninik, penjualannya terbilang sedikit. Penjualan kerupuk pangsit ikan, misalnya, dulu ia hanya bisa menjual lima bungkus saja per minggu.
Kini, bersama persatuan yang juga turut memasarkan produk serta sosialisasi kualitas, ia punya pelanggan tiga kios di Poto Tano yang bisa memesan sepuluh bungkus setiap minggu. ”Jadi ada peningkatan sekitar 50 persen. Itu baru untuk satu produk. Rata-rata saya bawa tiga produk di setiap kios,” kata Ninik.
Selain itu, lewat PPGB, produk-produk anggotanya dipromosikan lewat berbagai platform media sosial oleh Juniarti selaku ketua. Lalu setiap ada pesanan, Juniarti akan meneruskan ke setiap kelompok.
”Pada Lebaran lalu, kami mendapatkan pesanan dari teman-teman perempuan pekerja migran Indonesia di Hong Kong untuk bingkisan Lebaran. Saya hitung, nilainya sekitar Rp 5 juta,” kata Juniarti.
Pesisir Gili Lombok
Selain di Poto Tano, para perempuan di pesisir Gili Indah, Lombok, sejak 2021 juga bersatu untuk mengolah hasil laut menjadi berbagai produk. Berkat usaha tersebut, mereka bertahan dari dampak pandemi Covid-19.
Baca juga: Rehat Sejenak Menikmati Pesona Mantar
”Sebelum pandemi, kami rata-rata penjual ikan keliling. Lalu saat pandemi, penjualan berkurang. Jadi kami putar otak bagaimana mengolah ikan tersebut menjadi produk yang tetap laku,” kata Rohanisa (30) dari Poklahsar Putri Bahari, Gili Air.
Menurut Rohanisa, setelah terbentuk kelompok yang beranggotakan 13 orang, mereka sepakat memproduksi abon ikan. Bahan bakunya langsung dari hasil tangkapan nelayan di kawasan Gili.
”Setiap minggu, kami mengolah sekitar 25 kilogram ikan dengan produksi 13 kilogram abon. Lalu dikemas per 100 gram dengan harga Rp 20.000,” kata Rohanisa.
Selain dijual ke kawasan tiga Gili, baik Air, Meno, maupun Trawangan, produk mereka diminati konsumen di Lombok daratan, Bali, serta Jakarta. ”Kami pernah mengirim hingga 13 kilogram abon ke Bali. Sementara ke Jakarta pernah sampai 5 kilogram. Kalau di Lombok dipesan oleh orangtua yang anak-anaknya di pondok,” kata Rohanisa.
Menurut Rohanisa, kerja bersama itu membawa dampak. Selain saling menguatkan antaranggota saat pandemi, usaha itu berhasil membantu ekonomi keluarga saat pandemi. Juga tentunya para nelayan yang saat itu ikannya tidak laku dijual.
Sejalan dengan hal itu, mereka kini punya modal tetap. Semula, setiap akan produksi, setiap anggota urunan. ”Alhamdulillah, sekarang tidak lagi urunan, tetapi cukup dari hasil penjualan kami. Setiap produksi, hasil penjualan kami bagi untuk modal lagi, kas, dan juga ke anggota,” kata Rohanisa.
Selain Putri Bahari, ada juga kelompok Lanter Gili yang memproduksi bakso hingga sosis ikan. Sustikayanti dari kelompok tersebut mengatakan, mereka beranggotakan 10 orang. ”Kami juga mulai saat pandemi. Saat itu, tidak ada pekerjaan dan penghasilan. Jadi lari ke sini. Alhamdulillah, dapat pemasukan,” ujarnya.
Menurut Sustikayanti, mereka mengolah sampai 20 kilogram ikan setiap minggu. Sama seperti kelompok Putri Bahari, bahan baku ikan mereka peroleh dari hasil laut di Gili. ”Omzetnya lumayan. Misalnya dengan modal Rp 2 juta, kami dapat untung sekitar Rp 1 juta,” kata Sustikayanti.
Setelah terdampak Covid-19, kawasan Gili kini kembali menggeliat dengan pariwisata. Tiga pulau kecilnya kembali menjadi favorit wisatawan terutama mancanegara dengan rata-rata kunjungan hingga 1.000 orang per hari. Hal itu membuka peluang bagi usaha poklahsar di sana.
Masih panjang
Menurut Juniarti, meski telah berjalan, banyak hal yang harus terus ditingkatkan. Oleh karena itu, PPGB tidak hanya jadi tempat pemasaran, tetapi juga rumah untuk belajar dan berkembang bersama.
”Jadi kalau ada pelatihan, kami berkumpul bersama di rumah saya yang sekarang jadi basecamp. Begitu juga kalau praktik. Dulu sendiri-sendiri, sekarang bersama-sama,” kata Juniarti.
Sebagai penopang, mereka juga mengumpulkan iuran, baik dalam bentuk iuran bulanan maupun sukarela. Iuran bulanan untuk kas di mana setiap kelompok mengeluarkan Rp 10.000 per bulan. Sementara iuran sukarela berasal dari hasil penjualan produk anggota.
”Kas bulanan, misalnya, untuk simpan pinjam kelompok. Kalau, misalnya, ada yang butuh modal untuk produksi, (dana itu) bisa mereka pinjam. Sementara iuran sukarela, misalnya, kalau teman-teman ada yang sakit atau alat mereka rusak dan butuh dana untuk perbaikan,” kata Juniarti.
Juniarti optimistis PPGB akan semakin berkembang ke depan. Apalagi dengan menggeliatnya pariwisata Gili Balu. Namun, guna mencapai hal itu, katanya, pihaknya memerlukan dukungan berbagai pihak. Selain modal, mereka memerlukan peralatan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas produk.
Lihat juga: Kawasan Pesisir Gili Meno Lombok Ditanami Cemara Laut
”Misalnya untuk permen rumput laut dan dodol bakau, pengeringannya masih manual. Jadi kita kalah oleh waktu. Apalagi jika dapat pesanan dadakan. Pengeringan manual butuh waktu 3-4 hari, tetapi kalau ada alat bisa dua hari,” kata Juniarti.
Sementara, menurut Rohanisa, sejauh ini peralatan dan bahan baku masih cukup. Begitu juga dengan pelatihan-pelatihan sudah sering mereka terima, termasuk dari kegiatan Corempa-CTI.
Hanya saja, kelompok perempuan di Gili ini membutuhkan bantuan pemasaran. ”Kami sekarang mengandalkan penjualan daring, tetapi tidak semua anggota saya melek teknologi. Kadang, kami dapat bantuan dari pemuda-pemuda di sini untuk promosi. Harapannya, kalau ada kegiatan pemerintah daerah, produk kami bisa ikut dipromosikan,” kata Rohanisa.
Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Sumbawa Barat Burhanuddin mengatakan, usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi salah satu bagian penting dalam pengembangan Gili Balu.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat terus memberikan dukungan, misalnya mendukung pemasaran dengan menyediakan gerai di Pusat Informasi Ekowisata Gili Balu di Poto Tano bagi Juniarti dan anggota untuk memasarkan produknya.
Selain itu, mereka juga akan memberikan pelatihan pemasaran digital. ”Kami juga sedang membicarakannya dengan dinas terkait untuk bimbingan juga difasilitasi peralatan yang dibutuhkan. Itu akan kami masukkan dalam APBD 2024,” kata Burhanuddin.
Sejalan dengan hal itu, Burhanuddin menambahkan, pemerintah daerah juga terus mendorong keterlibatan pihak ketiga dalam pengembangan UMKM di Gili Balu. Seperti halnya Coremap-CTI beberapa waktu lalu.
Executive Direktur ICCTF Tonny Wagey mengatakan, pelibatan perempuan dalam program Coremap-CTI tidak hanya agar mereka ikut ambil bagian dalam menjaga wilayah perairan, tetapi juga menghadirkan mata pencaharian alternatif berbasis sumber daya perikanan dan kelautan bagi kelompok tersebut.
Oleh karena itu, menurut Project Tema Leader Coremap-CTI Leonas Chatim, mereka memberikan pendampingan ke kelompok perempuan dengan melibatkan tenaga ahli. Dengan demikian, masyarakat mau bangkit dan tidak berdiam diri di tengah empasan Covid-19.
Lalu bersama tim ahli, mereka mengidentifikasi produk yang cocok dan memberikan penguatan manajemen kelompok hingga pemasaran. Selain itu, mereka memberi bantuan peralatan produksi.
Di Gili Balu, Coremap-CTI mendukung poklahsar melalui pelatihan dan bantuan peralatan. Sejalan dengan itu, mereka juga mendukung pengembangan pariwisata kawasan, antara lain dengan bantuan kapal dan membangun menara bagi kelompok pengawas serta konservasi bakau.
Perjalanan kelompok perempuan di kawasan pesisir NTB, baik di Gili Matra maupun Gili Balu, masih panjang. Agar bisa bertahan, perlu dukungan dari berbagai pihak. Dengan begitu, semangat mereka untuk terus produktif tidak padam sehingga dampak ekonomi terus mereka rasakan.