Kreativitas Warga Metro Menghidupi Cagar Budaya
Tinggalan sejarah menjadi ikon baru di Kota Metro berkat orang-orang muda kreatif.
Di tangan anak-anak muda, tempat-tempat bersejarah di Kota Metro difungsikan menjadi ruang kreatif. Bangunan cagar budaya menjadi ikon baru kota itu. Semangat merawat sejarah lahir dari rasa cinta warga akan kotanya.
Suasana di Rumah Asisten Wedana, salah satu bangunan cagar budaya di Kota Metro, Provinsi Lampung, mulai ramai oleh pengunjung, Sabtu (24/2/2024) siang. Sejumlah orang bersantai menikmati suguhan makanan dan minuman yang dijual di Wedana Space.
Ruang publik yang berada dalam bangunan cagar budaya itu lahir dari kreativitas anak-anak muda. Salah satunya Reyza Pribadi Lukita (25), pemuda yang membantu merealisasikan Rumah Asisten Wedana menjadi ruang kreatif.
Luki yang merupakan lulusan jurusan arsitektur dari Institut Teknologi Nasional Bandung mencurahkan ide secara sukarela untuk membuat desain interior Rumah Asisten Wedana. Saat membuat desain, Luki mengaku harus berkonsultasi dengan Tim Ahli Cagar Budaya Kota Metro.
”Saya tidak boleh sembarangan karena ini adalah bangunan cagar budaya. Jangan sampai desain yang dibuat mengubah bentuk asli atau merusak struktur bangunannya,” kata Luki.
Agar tidak merusak bangunan bersejarah itu, properti untuk desain ruangan dibuat secara portabel. Tidak boleh ada penambahan bangunan permanen di dalamnya.
Ruang utama bangunan bersejarah itu dijadikan tempat untuk menyambut pengunjung. Di sana, terdapat beberapa kursi kayu dan meja yang ditata saling berhadapan. Beberapa foto sejarah transmigrasi di Kota Metro terpasang di dinding.
Saya tidak boleh sembarangan karena ini adalah bangunan cagar budaya.
Di sana, terdapat sembilan gerai UMKM yang menjual berbagai produk, mulai dari makanan, minuman, hingga souvenir. Ada juga ruang belajar untuk komunitas. Ruang gerak diatur agar pengunjung nyaman berkeliling dan bisa mampir ke semua gerai.
Sebagai warga Kota Metro, Luki merasa terpanggil untuk ikut berkontribusi merawat dan melestarikan bangunan cagar budaya. Kini, ia bersama dua rekannya, yakni M Riananda Pratama (27) dan Prasedo Fajar Utomo (25), menjadi pengelola Rumah Asisten Wedana.
Riananda menuturkan, ide untuk menjadikan bangunan cagar budaya di Kota Metro sebagai ruang kreatif muncul pada 2023. Demi mewujudkan mimpi itu, mereka melakukan studi banding ke Kota Bandung untuk mempelajari pengembangan The Hallway Space.
Dari situ, mereka kemudian merancang Wedana Space sebagai tempat edukasi sejarah sekaligus ruang kreatif dan promosi UMKM. ”Tujuan kami ingin meramaikan tempat-tempat bersejarah agar tidak terbengkalai dan ingin memberikan kontribusi bagi pembangunan kota,” kata Riananda.
Saat ini, sudah ada beberapa komunitas yang rutin berkumpul di kompleks cagar budaya tersebut. Mereka menggelar berbagai acara, seperti latihan senam, basket, dan beladiri, di halaman Rumah Asisten Wedana.
Untuk meningkatkan jumlah pengunjung, pengelola juga menggelar berbagai acara, seperti diskusi dan festival kuliner. Mereka juga mengundang para pemengaruh lokal untuk mempromosikan tempat itu melalui media sosial.
Tujuh cagar budaya
Rumah Asisten Wedana hanyalah satu dari tujuh bangunan atau benda bersejarah yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Metro. Mayoritas merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda.
Rumah Asisten Wedana merupakan rumah tinggal sekaligus pusat pemerintahan resmi Asisten Kawedanaan Metro (setingkat camat). Tempat itu didirikan sebagai bagian dari pembangunan pusat kota oleh pemerintah kolonial Belanda tahun 1935. Bangunan itu memiliki arti penting bagi sejarah Kota Metro karena menjadi cikal bakal pusat pemerintahan.
Bagunan cagar budaya lain di Kota Metro adalah Rumah Dokter atau Dokterswoning yang dibangun pada 1939.
Kala itu, bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat tinggal bagi dokter-dokter Belanda yang bertugas di Metro. Sekarang, bangunan cagar budaya itu difungsikan menjadi Rumah Informasi Sejarah Kota Metro yang ramai dikunjungi anak-anak sekolah.
Bangunan lain yang menjadi cagar budaya adalah Klinik Santa Maria (1938), Health Center (1958), dan Menara Masjid Taqwa Kota Metro (1967). Selain itu, ada juga benda yang ditetapkan sebagai cagar budaya, yaitu Sepeda Suster Ludana dan Sumur Hibah Imopuro.
Baca juga: Cuan dari Bisnis Kuliner di Kota Medan
Oki Hajiansyah Wahab dari Tim Ahli Cagar Budaya Kota Metro mengatakan, pihaknya telah melakukan kajian dan riset sebelum merekomendasikan penetapan cagar budaya. Tim melacak arsip foto dan kliping sejarah dari koran-koran Belanda yang tersimpan di museum di Leiden, Belanda. Hasil penelitian dari para akademisi tentang sejarah Kota Metro juga ditelisik.
Selain itu, tim juga menemui para pelaku sejarah yang masih hidup. Hasilnya, ditetapkan tujuh cagar budaya dalam kurun tiga tahun terakhir.
Selain komitmen pemerintah kota, keberhasilan revitatalisasi cagar budaya di Kota Metro juga terwujud berkat dukungan masyarakat. Selama ini, banyak warga sukarela memberikan sumbangan dana untuk memperbaiki bangunan cagar budaya.
Baca juga: Anak Muda Mendamba Ruang Publik Kreatif di Kota Jambi
Tak hanya uang, warga juga menyumbang material bahan bangunan, seperti semen dan pasir, untuk merenovasi kompleks cagar budaya. Ada juga yang menyumbang tenaga dengan menjadi tukang bangunan sukarela. Dukungan dari pada donator dan sponsor juga berdatangan.
Sekretaris Daerah Kota Metro Bangkit Haryo Utomo menuturkan, revitalisasi cagar budaya merupakan salah satu program prioritas Pemerintah Kota Metro. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan visi Kota Metro sebagai kota yang berpendidikan, sehat, sejahtera, dan berbudaya.
Lokasi cagar budaya yang berdekatan dan berada di pusat kota juga mendukung pengembangan pariwisata sejarah di Kota Metro. Ke depan, Metro tidak hanya ingin dikenal sebagai kota pendidikan, tetapi bertransformasi menjadi kota berbudaya dan lekat dengan sejarah.
Baca juga: Penggiat Kreatif Bandung Beraksi dengan Digitalisasi