Cuan dari Bisnis Kuliner di Kota Medan
Budaya kuliner masyarakat urban di Kota Medan, Sumatera Utara, menjadi peluang bisnis. Kuncinya, fokus pada sajian yang sesuai pangsa pasar.
Usaha kuliner yang menjamur di mana-mana di Kota Medan, Sumatera Utara, telah menjadi penopang ekonomi yang kuat, mulai dari mi balap, lontong, kedai kopi, hingga warung teh susu telur.
”Harus pandai-pandai cari celah agar usaha bisa jalan. Persaingan usaha kuliner di Medan itu sangat ketat,” kata Irsan Lubis (40), penjual mi balap di Jalan Willem Iskandar, Medan, Rabu (8/11/2023).
Selepas subuh, ia rutin buka lapak. Dagangannya lebih awal dibuka dari pedagang mi balap lainnya demi menyasar pelanggan potensial, yakni pedagang di Pasar Raya MMTC.
Sudah lebih dari tiga tahun Irsan jualan mi balap. Saat awal buka, dia sama sekali tidak punya latar belakang usaha makanan. Sebelumnya, Irsan tenaga penjualan (sales) di perusahaan penjualan mobil.
Saat pandemi Covid-19 melanda, dia menjadi menjadi korban gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK) di perusahaannya. ”Saya ini pengusaha angkatan Covid-19,” kata Irsan mengenang sambil tertawa.
Baca juga: Wajah Urban Masyarakat Kota Medan dalam Segelas Teh Susu Telur
Di tengah impitan kebutuhan ekonomi, Irsan dan istrinya memilih buka usaha mi balap. Dia beli sebuah gerobak dan peralatan masak secukupnya lalu berjualan di Jalan Willem Iskandar. Jalan itu lebih sering disebut Jalan Pancing karena di sana banyak pekerja, mahasiswa, dan pedagang pasar.
Irsan terkejut saat awal melakukan survei. Tak kurang dari 15 pedagang mi balap berjejer dalam jarak 3 kilometer di Jalan Willem Iskandar. Masuk sedikit ke dalam gang-gangnya akan didapati masih banyak lagi kedai mi balap.
Hampir seluruhnya menyuguhkan sajian dengan rasa yang nikmat. Ada pula penjual yang berani kasih porsi lebih besar demi menarik pelanggan.
”Yang paling membuat saya bingung adalah harganya. Hampir semua pedagang mematok harga Rp 5.000 untuk sepiring mi balap dengan telur orak-arik dan sayur,” kata Irsan.
Namun, Irsan tetap optimistis bisa bersaing. Dia fokus untuk menang di rasa. Setelah mencoba beberapa resep dan melakukan perbaikan-perbaikan, dia menemukan resep memasak yang pas di lidah dan di kantong masyarakat urban Medan.
Baca juga: Mi Balap, Solusi Perut Urban Medan yang Serba Buru-buru
Sejak pukul 05.00, pedagang dan sopir pikap dari Pasar Induk MMTC silih berganti mendatangi warungnya untuk sarapan. Mereka duduk di kursi-kursi plastik kecil dengan dua meja kayu. Sopir angkot dan pikap biasanya memilih parkir di bahu jalan dan makan di dalam mobilnya. Irsan juga bolak-balik mengantar pesanan ke beberapa kedai kopi di dekat warungnya.
Saat hari mulai terang, pembeli mi balap berganti menjadi karyawan dan mahasiswa dari berbagai kampus. Mi balap dibawa pulang untuk disantap di tempat kerja atau di kampus. Sebagaimana pedagang mi balap lainnya, Irsan menyediakan tiga jenis mi, yakni bihun, kwetiau, dan mi kuning.
”Kalau pedagang pasar menu favoritnya mi kuning. Kalau pekerja atau karyawan kesukaannya kwetiau. Mahasiswa lebih memilih bihun. Jangan tanya kenapa karena aku juga enggaktahu,” kata Irsan.
Tiga tahun membuka usaha, dagangan Irsan kian diminati. Dalam sehari, tidak kurang dari enam baskom besar mi ludes terjual. Menu paling laris adalah mi balap standar.
Pernah Irsan mencoba sediakan menu baru, yakni mi balap seafood dengan tambahan udang. ”Saya jual dengan harga Rp 12.000, tetapi peminatnya sangat sedikit. Padahal, harga segitu udah mepet sama modal. Menu itu jadinya saya stop dan fokus di mi balap biasa saja,” katanya.
Target pasar dan kawasan sangat menentukan menu dan harga mi balap. Mi balap seafood justru menjadi favorit di warung Mi Balap Mail di Jalan Gunung Krakatau. Maklum, targetnya masyarakat kelas menengah. Warung itu berada di kawasan pusat bisnis.
”Salah satu menu favorit di warung kami ini adalah mi balap seafood, tetapi soal harga kami sebenarnya tetap bersaing,” kata Edu Gunanda (26), juru masak Mi Balap Mail.
Baca juga: Komunitas Kreatif Urban Bersemi di Medan
Mi Balap Mail boleh dibilang menjadi salah satu yang paling laris di Medan. Dua juru masaknya tak henti-henti memasak mi balap dari pagi sampai siang. Satu kuali besar mi bisa ludes dalam sekejap dan langsung lanjut memasak mi lagi. Sekali memasak bisa sampai 16 porsi. ”Salah satu keunggulan kami adalah telurnya yang banyak. Untuk sekali masak 16 porsi kami buat hampir 40 butir telur. Jadi satu porsi itu lebih dari dua butir telur orak-arik,” kata Edu.
Dengan telur yang melimpah, harga Mi Balap Bang Mail sebenarnya masih cukup bersaing. Satu porsi mi balap standar dijual Rp 10.000. Sementara, mi balap seafood dijual Rp 22.000 per porsi. Namun, udang dan potongan-potongan cuminya terbilang banyak untuk ukuran harga itu.
Usaha TST
Usaha kuliner khas Medan lainnya adalah minuman teh susu telur (TST). Minuman TST menjadi favorit masyarakat urban Kota Medan yang membutuhkan asupan gizi tambahan di tengah aktivitas yang melelahkan. Setiap sore hingga malam, warung-warung TST dipenuhi warga untuk nongkrong, bertemu teman, atau sekadar melepas lelah.
Salah satu TST paling legendaris di Medan adalah Warung TST Pak Haji di Jalan Puri. Warung TST bergaya Minangkabau itu sudah ada sejak tahun 1975 dan saat ini dikelola generasi kedua. ”Dari warung TST ini kami disekolahkan ayah dan ibu kami. Ada yang jadi dokter dan insinyur. Kalau saya dan beberapa saudara lainnya memilih melanjutkan usaha warung TST ini,” kata Lisdayati Umar (62).
TST Pak Haji cukup diminati karena telur yang mereka gunakan tidak amis. Menu favorit di sana adalah TST biasa, yakni dengan satu telur. Harganya Rp 13.000 per gelas. Beberapa ada yang memesan TST dengan dua telur atau tiga telur.
Meskipun kafe-kafe modern semakin menjamur, warung TST tetap eksis di tengah masyarakat urban Kota Medan. Lebih dari 100 kursi di Warung TST Pak Haji hampir selalu terisi penuh dari pukul 15.00 hingga tutup pukul 03.00. Warung-warung TST lainnya juga tak pernah sepi di Kota Medan.
Berbeda dengan kafe-kafe modern yang diatur dengan suasana estetik agar bisa menjadi ramah media sosial, suasana di warung TST benar-benar konvensional. Meja dan kursi disusun rapat-rapat agar bisa memuat orang lebih banyak. Meski demikian, warung TST biasanya punya pelanggan-pelanggan setia.
”Ada yang hampir tiap hari datang di jam yang sama, meja yang sama, dan pesanan yang sama. Kalau sudah datang, enggak perlu ditanya lagi. Tinggal antar satu gelas TST,” kata Edy, salah satu pekerja di Warung TST Pak Haji.
Baca juga: Medan, Kota Perkebunan yang Bersalin Rupa
Menurut Edy, pelanggan seperti itu yang sulit dipunya kafe-kafe modern. Di kafe, orang biasanya datang sekali dua kali hanya untuk selfie dan mengunggah di media sosial. Selanjutnya cari kafe dengan suasana lain.
Antropolog dari Universitas Negeri Medan, Erond Litno Damanik, mengatakan, usaha kuliner tak pernah mati di tengah masyarakat Kota Medan. Kuliner berkembang sesuai dengan budaya dan kondisi sosiologis masyarakat kota.
”Usaha kuliner selalu mendapat tempat di Kota Medan, termasuk mi balap dan berbagai kuliner lainnya. Ini semua diminati bukan semata-mata untuk mengenyangkan. Kuliner pasti beradaptasi dengan selera, kebutuhan gizi, dan daya beli masyarakat,” kata Erond.
Lihat juga: Pluralisme yang Melebur dalam Perumahan-perumahan di Medan