Lonjakan Harga Beras Turut Pukul Petani
Lonjakan harga beras beberapa bulan terakhir menambah beban warga, termasuk di antaranya petani dan buruh tani.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati berstatus sebagai produsen, sebagian petani padi kesulitan menjangkau beras yang harganya melonjak tinggi belakangan ini. Sebagian di antara mereka mesti berebut beras murah dalam operasi pasar dan menjadi sasaran program bantuan pangan dari pemerintah.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga rata-rata beras nasional di tingkat pedagang grosir Rp 14.397 per kilogram (kg), titik tertinggi baru pada Februari 2024. Angka itu merupakan yang tertinggi setidaknya sejak periode pencatatan Januari 2013 atau lebih dari satu dekade silam.
Situasi itu amat tidak menguntungkan bagi masyarakat kelas menengah bawah. Mereka menanggung dampak lebih besar dibandingkan kelompok menengah atas akibat kenaikan harga itu. Selama satu tahun terakhir, harga beras medium di tingkat penggilingan tercatat naik 25,3 persen menjadi Rp 11.161 per kg, sedangkan beras premium naik 22,9 persen menjadi Rp 14.525 per kg.
Di antara mereka yang menanggung dampak terbesar akibat kenaikan harga beras adalah petani dan buruh tani padi. Sebab, mayoritas di antara mereka adalah konsumen bersih (nett consumer) beras. Dengan pengeluaran yang sebagian besar untuk kebutuhan pangan, kenaikan harga beras dan sejumlah bahan kebutuhan pokok lain semakin menyulitkan mereka.
Baca juga: Limbung Beras Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Pada Jumat (1/3/2024), harga rata-rata nasional beras medium, menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS), mencapai Rp 15.950 per kg. Angka itu jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp 10.900 per kg hingga Rp 11.800 per kg sesuai zonasi.
Situasi harga beras itu membuat Rumsi (47), petani di Plumbon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, mesti berburu operasi pasar guna mendapatkan beras dengan harga lebih murah. Di lokasi operasi pasar, dia mesti antre untuk mendapatkan beras seharga Rp 52.000 per kemasan 5 kilogram (kg). Pada saat yang sama, harga beras dengan jumlah dan kualitas yang sama di pasaran lebih dari Rp 75.000.
Seperti Rumsi, tingginya harga beras membuat warga mengincar operasi pasar beras. Operasi-operasi pasar stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) yang digelar pemerintah dan Perum Bulog di sejumlah daerah di Tanah Air dikerubuti warga. Petani, buruh tani, dan para pekerja di sektor pertanian merupakan salah satu yang turut berdiri di antrean tersebut.
Selain di Cirebon, sejumlah warga di Wakatobi dan Kendari, Sulawesi Tenggara; Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik, Jawa Timur; serta Pontianak, Kalimantan Barat, yang ditemui Kompas dua pekan terakhir, berharap pasokan beras dengan harga lebih murah.
Sebagian petani bertahan dengan stok beras sisa panen. Ma’ani (40), petani di Desa Jagapura Wetan, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, waswas. Ia khawatir tak mampu menjangkau harga beras saat stok beras sisa panennya habis. Padahal, panen musim tanam berikutnya masih lama.
Pada akhir tahun lalu, ia menjual hampir seluruh hasil panennya yang mencapai 7 ton gabah kering giling (GKG). Harga tinggi gabah saat itu, yakni Rp 8.800 per kg GKG, menjadi pertimbangannya menjual hasil panen. ”(Setelah panen), harga gabah biasanya turun. Makanya dijual semua. Eh, ternyata harganya tetap tinggi,” ujarnya.
Baca juga: Beras Masih Mahal, Warga Incar Operasi Pasar
Panen mundur
Ma’ani dan petani di desanya biasanya sudah bisa menanam padi pada bulan Januari. Namun, hingga akhir Februari 2024, ia belum bisa menanam karena faktor pengairan karena hujan masih jarang turun.
Nasib serupa dialami sebagian petani di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Mundurnya masa tanam akibat fenomena El Nino tahun lalu berpengaruh terhadap masa panen padi. Hingga akhir Februari 2024, baru sebagian kecil petani yang panen. Mayoritas sawah masih menghijau, bahkan ada yang baru ditanami, diolah, atau bera, seperti di wilayah Kecamatan Singosari, Pakis, Pakisaji, Kepanjen, dan Pagelaran.
Jama’ali (55), petani di Desa Banjararum, Kecamatan Singosari, mengatakan, waktu taman memang mundur karena faktor cuaca. Hal itu masih ditambah sulitnya mencari traktor untuk membajak sawah. Petani yang tidak memiliki traktor harus menyewa dengan tarif Rp 300.000 untuk lahan sekitar 0,5 hektar.
Petani sekaligus Ketua Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) ”Bengkel Mimpi” Desa Kanigoro, Kecamatan Pagelaran, Basiri (51), mengatakan, tak hanya musim hujan mundur, hingga kini curah hujan satu wilayah dengan wilayah lainnya di Kabupaten Malang tidak sama. Di wilayahnya, hujan deras baru beberapa kali turun. Dampaknya, banyak tanaman padi di wilayahnya yang masih menghijau. ”Biasanya bulan-bulan ini sudah panen raya,” ujarnya.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) optimistis harga beras bakal turun seiring bertambahnya luas panen padi. Hal itu akan menambal defisit neraca konsumsi-produksi beras pada Januari-Februari 2024 yang mencapai 2,8 juta ton.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi memperkirakan, harga beras akan terkoreksi signifikan dalam 2-3 pekan ke depan. Hal itu terindikasi dari makin bertambahnya luas panen dan penurunan harga GKP di tingkat petani.
Baca juga: Kuota Impor Beras Tahun Ini Ditambah 1,6 Juta Ton
Merujuk data BPS, potensi panen padi pada Maret akan mencapai 1,16 juta hektar, sedangkan pada April mencapai 1,59 juta hektar. Potensi itu lebih luas dibandingkan potensi panen padi pada Januari dan Februari 2024 yang masing-masing mencapai 0,29 juta hektar dan 0,48 juta hektar.
Hambat pertumbuhan
Limbung beras, baik lantaran penurunan produksi maupun lonjakan harga beras, turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu tecermin dari penurunan pertumbuhan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan dan konsumsi rumah tangga.
Kondisi itu tergambar dalam pertumbuhan ekonomi tahun lalu. Gambaran yang sama diperkirakan bakal terjadi pada triwulan I-2024 mengingat produksi beras masih rendah dan harga beras lebih tinggi dibanding tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi gabah kering giling nasional turun 1,7 persen dari 54,75 juta ton pada 2022 menjadi 53,98 pada 2023. Dalam periode perbandingan yang sama, produksi beras juga susut 1,36 persen dari 31,54 juta ton menjadi 31,1 juta ton.
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, Minggu (3/3/2024), mengatakan, kondisi perberasan yang seperti itu turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Penurunan produksi beras secara langsung tecermin pada penurunan laju pertumbuhan sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan.
Pada triwulan III-2023, subsektor tanaman pangan hanya tumbuh 1,32 persen secara tahunan. Bahkan, pada triwulan IV-2023, subsektor itu terkontraksi sangat dalam atau tumbuh minus 10,02 persen secara tahunan.
”Sepanjang 2023, subsektor tanaman pangan tumbuh minus 3,88 persen secara tahunan. Padahal, pada 2022, subsektor tersebut masih tumbuh positif, kendati rendah, yakni 0,08 persen secara tahunan,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Baca juga: Petani Semakin Menua dan Alami Guremisasi