Limbung Beras Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Penurunan produksi dan kenaikan harga beras memengaruhi pertumbuhan ekonomi 2023. Ini bisa terjadi pada triwulan I-2024.
JAKARTA, KOMPAS — Limbung beras, baik lantaran penurunan produksi maupun lonjakan harga beras, turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu tecermin dari penurunan pertumbuhan sektor pertanian, khususnya subsektor tanaman pangan, dan konsumsi rumah tangga.
Kondisi itu tergambar dalam pertumbuhan ekonomi tahun lalu. Gambaran yang sama diperkirakan bakal terjadi pada triwulan I-2024 mengingat produksi beras masih rendah dan harga beras lebih tinggi dibanding tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi gabah kering giling nasional turun 1,7 persen dari 54,75 juta ton pada 2022 menjadi 53,98 pada 2023. Dalam periode perbandingan yang sama, produksi beras juga susut 1,36 persen dari 31,54 juta ton menjadi 31,1 juta ton.
Fenomena El Nino yang terjadi sejak semester II-2023 juga telah menyebabkan harga beras naik. BPS menyebutkan, harga rerata nasional beras medium naik dari Rp 11.121 per kilogram (kg) pada Juli 2023 menjadi Rp 13.071 per kg pada Desember 2023.
Baca juga: Total Produksi Beras Maret-April 2024 Diperkirakan 8,46 Juta Ton
Kondisi itu membuat beras memicu inflasi beruntun sepanjang Agustus-Desember 2023. Tingkat inflasi bulanan beras dalam periode itu secara berurutan sebesar 1,43 persen, 5,61 persen, 1,72 persen, 0,43 persen, dan 0,48 persen.
Vice President for Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani, Minggu (3/3/2024), mengatakan kondisi perberasan yang seperti itu turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional. Penurunan produksi beras secara langsung tecermin pada penurunan laju pertumbuhan sektor pertanian, terutama subsektor tanaman pangan.
Pada triwulan III-2023, subsektor tanaman pangan hanya tumbuh 1,32 persen secara tahunan. Bahkan, pada triwulan IV-2023, subsektor itu terkontraksi sangat dalam atau tumbuh minus 10,02 persen secara tahunan.
”Sepanjang 2023, subsektor tanaman pangan tumbuh minus 3,88 persen secara tahunan. Padahal, pada 2022, subsektor tersebut masih tumbuh positif, kendati rendah, yakni 0,08 persen secara tahunan,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Baca juga: Limbung Beras
Menurut Dendi, subsektor tanaman pangan berkontribusi terbesar kedua setelah subsektor perkebunan. Kontribusi subsektor tanaman pangan sebesar 19,8 persen terhadap produk domestik bruto sektor pertanian.
Jadi, jika subsektor tanaman pangan tumbuh rendah atau bahkan terkontraksi, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional cukup signifikan. Lebih dari itu, penurunan produksi beras juga telah berdampak pada kenaikan inflasi yang selanjutnya menjadi salah satu faktor penurunan daya beli.
”Hal itu tecermin dari pertumbuhan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga pada triwulan IV-2023 yang hanya 4,47 persen secara tahunan. Angka itu jauh di bawah angka psikologis pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 5 persen,” katanya.
Berdasarkan data BPS, ekonomi Indonesia pada 2023 tumbuh sebesar 5,05 persen. Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,82 persen dan khusus pengeluaran makanan dan minuman selain restoran 3,44 persen.
Penurunan produksi dan kenaikan harga beras pada triwulan I-2024 juga akan turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada triwulan tersebut.
Laju pertumbuhan pengeluaran makanan dan minuman selain restoran juga turun dari 4,01 persen pada triwulan III-2023 menjadi 2,56 persen pada triwulan IV-2023. Hal itu seiring dengan kenaikan harga beras yang terjadi secara bertahap akibat dampak El Nino pada Juli-Desember 2024.
”Pola penurunan produksi dan kenaikan harga beras pada tahun lalu juga akan sama pada tahun ini. Penurunan produksi dan kenaikan harga beras pada triwulan I-2024 juga akan turut memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada triwulan tersebut,” kata Dendi.
Baca juga: Beras Bakal Picu Inflasi Lagi, Produktivitas Padi Alami ”Leveling Off”
Berdasarkan hasil kerangka sampel area BPS, potensi produksi beras nasional pada triwulan I-2024 atau Januari-Maret 2024 sebesar 5,78 juta ton. Angka perkiraan produksi beras itu masih lebih rendah dari realisasi produksi beras pada Januari-Maret 2023 yang mencapai 9,32 juta ton.
Harga rerata nasional beras medium pada Januari dan Februari 2024 juga masih tinggi masing-masing Rp 13.187 per kg dan Rp 14.162 per kg. Kenaikan harga itu menyebabkan beras mengalami inflasi bulanan sebesar 0,64 persen pada Januari 2024 dan 5,32 persen pada Februari 2024.
NTP tanaman pangan
Dendi juga berpendapat, kendati menikmati kenaikan harga gabah kering panen (GKP), petani juga turut menanggung kenaikan harga beras. Kenaikan harga GKP itu tecermin dari peningkatan nilai tukar petani tanaman pangan (NTPTP)
NTPTP memang meningkat, tetapi lebih berdampak pada petani pemilik lahan. Di Indonesia, jumlah buruh tani itu lebih banyak ketimbang petani pemilik lahan.
”Kemampuan buruh tani menyimpan hasil panen sangat rendah karena mereka bukan produsen utama beras. Hal itu bakal membuat mereka membeli beras untuk memenuhi kebutuhan harian,” katanya.
Kemampuan buruh tani menyimpan hasil panen sangat rendah, karena mereka bukan produsen utama beras. Hal itu bakal membuat mereka membeli beras untuk memenuhi kebutuhan harian.
Baca juga: Petani Semakin Menua dan Alami Guremisasi
BPS mencatat, sejak harga beras dan gabah naik, NTPTP juga turut naik. Tahun ini, misalnya, NTPTP naik 3,57 persen dari 116,16 pada Januari 2024 menjadi 120,3 pada Februari 2024. Hal itu terjadi lantaran kenaikan indeks yang diterima petani (pendapatan), yakni 4,18 persen, masih lebih tinggi dibandingkan kenaikan indeks yang dibayar petani (pengeluaran) yang sebesar 0,59 persen.
Peningkatan pendapatan petani tanaman pangan dipengaruhi kenaikan harga gabah, jagung, dan ketela pohon. Di sisi lain, pengeluaran petani juga turut naik akibat faktor kenaikan konsumsi rumah tangga, serta biaya produksi dan modal.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian (Kementan) Kuntoro Boga Andri mengemukakan, kenaikan NTP merupakan peluang istimewa bagi para petani yang saat ini tengah memanen padi. Dengan begitu, petani diharapkan mendapatkan keuntungan tinggi dari hasil panen tahun ini.
Kementan juga terus berupaya menjaga produksi pangan nasional, termasuk beras. Sejumlah upaya telah dan sedang dilakukan, antara lain, penyediaan benih, pupuk, serta alat dan mesin pertanian.
Baca juga: Potensi Surplus Beras Dihantui Risiko Banjir dan Bera
Kementan juga berupaya mengoptimalkan pengairan di lahan-lahan yang kekurangan air dan lahan-lahan pertanian padi rawa. Salah satunya di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, di lahan seluas 100.000 hektar (ha) yang produktivitasnya akan dioptimalkan dari rerata 5 ton per ha menjadi 10 ton per ha.
”Yang pasti, kami akan terus memacu produksi pangan nasional melalui para petani. Kalaupun saat ini fenomena El Nino masih memengaruhi sektor pertanian, kami tetap optimistis bisa menjaga produksi dan kesejahteraan petani,” katanya melalui siaran pers.
Badan Pangan Nasional memperkirakan puncak panen raya padi berlangsung pada April 2024. Sementara itu, BPS memperkirakan potensi produksi beras pada Maret dan April 2024 masing-masing sebanyak 3,54 juta ton dan 4,92 juta ton.
Baca juga: Harga Gabah Petani Berangsur Turun