Beras Bakal Picu Inflasi Lagi, Produktivitas Padi Alami ”Leveling Off”
Beras akan memicu inflasi selama tujuh bulan beruntun. Di sisi lain, produktivitas padi RI mengalami ”leveling off”.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga beras sepanjang bulan ini diperkirakan bakal memicu inflasi Februari 2024. Dengan begitu, beras bakal menjadi komoditas sumber inflasi selama tujuh bulan berturut-turut sejak Agustus 2023. Di sisi lain, produktivitas padi nasional masih rendah dan berada di fase leveling off.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede, Kamis (29/2/2024), mengatakan, inflasi pada Februari 2024 diperkirakan 0,24 persen secara bulanan dan 2,62 persen secara tahunan. Tingkat inflasi lebih tinggi dari Januari 2024 yang sebesar 0,04 pesen secara bulanan dan 2,57 persen secara tahunan.
Kenaikan inflasi itu dipengaruhi kenaikan harga pangan pokok, seperti beras, cabai merah, telur, dan daging ayam ras, serta minyak goreng. Beras menjadi komoditas penyumbang inflasi Februari 2024 terbesar lantaran harganya meningkat 3,8 persen secara bulanan.
”El Nino masih memengaruhi penurunan produksi sejumlah komoditas pangan pokok, terutama beras. Selain itu, dampak cuaca ekstrem juga mengganggu jalur distribusi pangan,” katanya di Jakarta.
Beras menjadi komoditas penyumbang inflasi Februari 2024 terbesar lantaran harganya meningkat 3,8 persen secara bulanan.
Jika beras kembali memicu inflasi bulan ini, komoditas itu berarti bakal menyumbang inflasi selama tujuh bulan berturut-turut. Badan Pusat Statistik mencatat, beras menjadi pemicu inflasi sejak Agustus 2023 hingga Januari 2024.
Inflasi bulanan beras pada Agustus, September, dan Oktober 2023 masing-masing sebesar 1,43 persen, 5,61 persen, dan 1,72 persen. Kemudian pada November dan Desember 2023, serta Januari 2024, tingkat inflasinya masing-masing 0,43 persen, 0,48 persen, dan 0,64 persen.
Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui Perum Bulog terus berupaya menstabilkan stok dan harga beras, baik melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan maupun bantuan beras bagi 22 juta keluarga berpenghasilan rendah. Bapanas bahkan meminta pemerintah daerah memanfaatkan dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat untuk mengendalikan inflasi.
Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwignyo menuturkan, anggaran dana dekonsentrasi bagi pemerintah daerah pada tahun ini sebesar Rp 154,74 miliar. Anggaran yang disalurkan pemerintah melalui Bapanas itu ditujukan untuk menjaga stok dan mengendalikan harga pangan pokok.
”Namun, masih banyak pemerintah provinsi yang belum memanfaatkan dana tersebut. Dari 38 provinsi, baru enam provinsi yang telah merealisasikan dana itu. Itu pun masih sangat kecil,” tuturnya.
Bapanas mencatat, realisasi dana dekonsentrasi Pemerintah Provinsi Maluku Utara baru sebesar 5,01 persen, Kalimantan Utara 3,04 persen, dan Sumatera Selatan 1,82 persen. Adapun Lampung, Bali, dan Jawa Tengah, realisasinya masing-masing baru 1,31 persen, 0,88 persen, dan 0,59 persen.
Untuk itu, ia berharap agar setiap pemerintah daerah benar-benar bisa memanfaatkan dana dekonsentrasi itu secara optimal. Di tengah kenaikan harga sejumlah pangan pokok, terutama beras, dana itu bisa digunakan untuk menggelar pangan murah atau menyubsidi logistik pangan pokok.
Berdasarkan data Panel Harga Pangan Bapanas, per 29 Februari 2024, harga rerata nasional beras medium di tingkat eceran Rp 14.330 per kilogram (kg). Harga beras tersebut naik kembali setelah sehari sebelumnya harga reratanya Rp 14.300 per kg. Harga beras itu jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) Rp 10.900-Rp 11.800 per kg yang ditetapkan pemerintah berdasarkan zonasi.
Hal itu berkebalikan dengan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani yang berangsur turun. Dalam sepekan terkahir, 22-29 Februari 2024, harga rerata nasional GKP tersebut turun tipis dari Rp 7.170 per kg menjadi Rp 7.110 per kg.
Dalam acara Agromaritim Outlook 2024 yang digelar di Bogor, Jawa Barat, pada 27-28 Februari 2024, terungkap, produktivitas padi di Indonesia masih rendah dan memasuki fase leveling off (mendatar). Hal itu turut memengaruhi kenaikan harga beras.
Faktor lain, yakni produktivitas padi yang masih rendah, tidak boleh diabaikan. Produktivitas padi nasional hanya naik tipis sekali dari 5,24 ton per hektar pada 2022 menjadi 5,26 ton per hektar pada 2023.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Lampung Bustanul Arifin menuturkan, penurunan produksi padi akibat El Nino menjadi penyebab utama kenaikan harga beras. Produksi gabah kering giling tahun lalu turun 2,26 persen secara tahunan menjadi 53,51 juta ton.
Namun, faktor lain, yakni produktivitas padi yang masih rendah, tidak boleh diabaikan. Produktivitas padi nasional hanya naik tipis sekali dari 5,24 ton per hektar pada 2022 menjadi 5,26 ton per hektar pada 2023.
”Karena terlalu mengandalkan luas panen, makanya begitu luas panen terganggu El Nino, produktivitasnya juga tidak akan naik,” katanya.
Menurut Bustanul, saat ini produktivitas padi nasional berada dalam fase leveling off atau pertumbuhan mendatar di sekitar 5 persen. Hal itu terjadi sejak Indonesia mengalami lompatan produksi padi dari 2,64 ton per hektar pada 1976 menjadi 5,14 ton per hektar pada 2014.
Indonesia masih kalah dari Vietnam dan Filipina yang mengalami lompatan produksi padi hingga rerata 6 ton per hektar. Hal ini terjadi lantaran kedua negara tersebut menerapkan penggunaan benih unggul hasil riset serta melalukan inovasi dan adaptasi teknologi.
”Kedua negara itu telah menerapkan pertanian presisi dan smart farming. Indonesia perlu belajar dari kedua negara tersebut,” katanya.