Jalan Terjal Pertanian dan ”Kerja Rodi” Lahan Pangan
Petani yang menua dan mengalami guremisasi, serta berkurangnya lahan dan produktivitas lahan pangan, membuat sektor pertanian semakin menantang.
Sektor pertanian pangan Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Jalan yang dilalui semakin terjal dan menantang. Permasalahan dan tantangan yang muncul tak hanya mencakup aktor utama, kebijakan, dan produksi pangan. Tanah sebagai wadah hidup tanaman pangan juga terus dipaksa ”kerja rodi” demi mengejar peningkatan produksi.
Sepanjang 2023, La Nina dan El Nino menampakkan kerapuhan sektor pertanian pangan nasional. Hal itu terutama terjadi pada sumber pangan utama masyarakat, yakni beras. Berdasarkan hasil penghitungan kerangka sampel area, Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi beras nasional pada 2023 turun 650.000 ton. Hal itu berbeda dengan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani (AB2TI) yang memproyeksikan produksi beras anjlok 1,5 juta ton.
Situasi itu memicu kenaikan harga gabah dan beras. Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, harga rata-rata nasional beras medium tertinggi terjadi pada Oktober 2023, yakni Rp 13.210 per kilogram (kg). Harga tersebut naik 16,24 persen secara tahunan dan 17,49 persen di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium di tingkat konsumen di zona I.
Untuk menstabilkan stok dan harga beras, pemerintah semula mengalokasikan kuota impor beras sebanyak 2 juta ton. Namun, lantaran kebutuhan semakin bertambah, terutama untuk bantuan 10 kg beras bagi keluarga berpenghasilan rendah, kuota impor ditambah 1,5 juta ton menjadi 3,5 juta ton. Pada 2024, pemerintah sudah berancang-ancang akan mengimpor beras sebanyak 2 juta ton.
Impor beras sebanyak 3,5 juta ton itu merupakan yang tertinggi sejak pemerintah mengimpor beras 7,1 juta ton akibat El Nino pada 1997-1998 dan 5,04 juta ton akibat La Nina pada 1999. Angka impor itu juga melampaui impor beras pada saat El Nino 2018 yang sebanyak 2,25 juta ton. Hal ini ironis mengingat pada 2022 Indonesia menerima penghargaan Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI) atas swasembada beras pada periode 2019-2021.
Baca juga: Stok Beras Tertekan Penurunan Produksi dan Restriksi
Namun, tak mudah bagi Perum Bulog merealisasikan impor beras pada 2023. Negara-negara produsen beras, termasuk India, membatasi ekspor beras guna menjaga ketahanan pangan domestik. Per pekan I Desember 2023, impor beras baru terealisasi 2,35 juta ton. Dari jumlah itu, sebanyak 2,05 juta ton merupakan realisasi kuota impor tahun ini. Sementara sebanyak 300.000 ton merupakan sisa kuota impor 2022 yang direalisasikan pada Januari 2023.
Wajah rapuh sektor pertanian tersebut tak berhenti di situ. Petani yang merupakan aktor utama penyedia pangan masyarakat juga semakin menua dan mengalami guremisasi. Hasil Sensus Petanian (ST) 2023 Tahap I BPS menyebutkan, proporsi petani pengelola usaha pertanian perorangan (UTP) berusia 55-64 tahun meningkat dari 20,01 persen pada 2013 menjadi 23,3 persen pada 2023. Begitu juga petani berusia 65 tahun ke atas yang proporsinya meningkat dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen dalam sepuluh tahun terakhir.
Petani yang merupakan aktor utama penyedia pangan masyarakat juga semakin menua dan mengalami guremisasi.
Adapun jumlah petani gurem di Indonesia bertambah dari 14,25 juta rumah tangga pada 2013 menjadi 16,89 juta rumah tangga pada 2023. Proporsi rumah tangga petani pemilik lahan di bawah 0,5 hektar itu terhadap total rumah tangga petani di Indonesia juga meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.
”Hal ini perlu menjadi perhatian bersama. Pekerja di sektor pertanian yang semakin menua membutuhkan regenerasi petani yang berkelanjutan. Bertambahnya petani gurem juga dapat menurunkan kesejahteraan petani,” kata Pelaksana Tugas Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, Senin (4/12/2023).
Baca juga: Petani Semakin Menua dan Alami Guremisasi
”Kerja rodi” lahan
Di sisi lain, meskipun belum terungkap pada ST 2023 Tahap I, luas lahan baku sawah di Indonesia juga semakin menciut. Merujuk data analisis Direktorat Pengendalian dan Pemantauan Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada 2019, rata-rata konversi lahan sawah menjadi nonsawah di Indonesia mencapai 100.000 hektar per tahun.
Sementara itu, rata-rata kemampuan mencetak sawah hanya 60.000 hektar setahun. Artinya, terjadi selisih alih fungsi lahan sawah sekitar 40.000 hektar per tahun. Padahal, lahan menjadi salah satu faktor penting tercapainya target produksi padi di Indonesia.
Hasil pengolahan regresi data panel yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan, setiap penambahan seribu hektar area lahan sawah akan mendorong peningkatan produksi padi sekitar 4.370 ton. Jadi, dengan alih fungsi lahan sawah di Indonesia saat ini, diperkirakan menurunkan produksi padi sekitar 174.800 ton setahun (Kompas, 12/10/2023).
Baca juga: Alih Fungsi Lahan Mengancam Produksi Padi Nasional
Menurut pengamat pertanian dan juga pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori, pada 2019, Kementerian ATR/BPN menetapkan lahan baku sawah seluas 7,46 juta hektar. Dari luasan itu, sekitar 300.000 hektar akan dialihfungsikan.
”Jangan sampai lahan baku sawah berkurang dan ketahanan pangan nasional terancam demi memberikan karpet merah bagi para investor. Ke depan, perlindungan lahan baku sawah ini harus menjadi konsensus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,” katanya.
Produktivitas padi nasional sejak 2014 juga lambat naik dan cenderung turun. Pada 2014, produktivitas padi nasional sebesar 5,15 ton per hektar. Kemudian pada 2020 dan 2022, produktivitasnya turun masing-masing menjadi 5,4 ton per hektar dan 5,24 ton per hektar.
Banyak faktor yang menyebabkan penurunan produksi dan produktivitas. Hal itu terutama akibat semakin berkurangnya luas sawah dan kesuburan tanah. Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah menerapkan kebijakan menanam padi sepanjang tahun, bahkan empat kali dalam setahun, demi mengejar peningkatan produksi beras nasional.
Kini, pola tanam padi-padi-palawija mulai banyak ditinggalkan daerah-daerah sentra penghasil beras. Padahal, pola tanam itu bertujuan untuk mengendalikan hama dan penyakit, serta menjaga kesuburan tanah.
Bahkan, pada akhir 2023, pemerintah banyak menggulirkan program percepatan tanam padi untuk menanggulangi dampak El Nino. Belum juga rehat usai menghasilkan gabah, sejumlah sawah dengan sumber air yang masih mencukupi diminta untuk segera diolah dan ditanami padi kembali.
Kini, pola tanam padi (musim tanam/MT I)-padi (MT II)-palawija (MT III) mulai banyak ditinggalkan daerah-daerah sentra penghasil beras. Padahal, pola tanam itu bertujuan untuk mengendalikan hama dan penyakit, serta menjaga kesuburan tanah.
Kini, pola tanam itu berubah menjadi padi-padi-padi. Bahkan, pola tanam itu didukung dengan penyediaan sumur-sumur bor berbasis listrik di areal persawahan. Salah satu daerah yang petaninya menerapkan pola tanam itu dengan irigasi air tanah berbasis sumur bor listrik adalah Kabupaten Sragen, Jawa Tengah (Kompas, 19/9/2023).
Baca juga: Optimalkan Produksi Beras, Antisipasi Gagal Panen
Sawah yang dipaksa ”kerja rodi” menghasilkan gabah sepanjang tahun itu dapat menyebabkan kesuburan tanah berkurang. Apalagi, jika tidak diikuti dengan pola pemupukan yang seimbang, hal itu akan mempercepat berkurangnya kesehatan tanah.
Khudori menunjukkan, berdasarkan hasil kajian Balai Litbang Sumber Daya Lahan, 89,54 persen penggunaan lahan pertanian di Indonesia dikategorikan di bawah standar produktivitas yang menjamin pertanian berkelanjutan. Sebagian besar sawah di Jawa bahan organiknya di bawah 1 persen.
”Lahan dengan bahan organik di bawah 1 persen itu merupakan lahan sakit. Kalaupun lahan itu dipacu produktivitasnya, hasilnya tetap tidak akan maksimal. Untuk itu, upaya-upaya mengembalikan kesuburan lahan pertanian juga penting dilakukan,” katanya.
Bahkan, Kementerian Pertanian (Kementan) pernah menyebutkan, sekitar 2 persen dari 7 hektar lahan pertanian di Indonesia sudah mengalami degradasi kualitas, terutama di Jawa (Kompas, 27/4/2023).
Baca juga: Presiden Minta Kembalikan Subsidi Pupuk Organik
Pengelolaan lahan pertanian pangan juga bakal berhadapan dengan perubahan iklim. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), perubahan iklim ke depan juga berpotensi memperpendek musim hujan dan menyebabkan suhu bumi panas.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan menuturkan, ke depan, perubahan iklim akan menyebabkan wilayah di selatan khatulistiwa cenderung mengalami defisit hujan saat musim kemarau. Sementara saat musim hujan, curah hujan tetap akan intens atau normal, tetapi periode terjadinya hujan akan lebih singkat.
Hal ini akan menjadi tantangan bagi sektor ketahanan pangan karena menyangkut sumber irigasi lahan pertanian. Upaya-upaya menangkap lebih banyak air hujan dalam periode hujan yang lebih singkat perlu disiapkan.
Selain itu, kata Ardhasena, perubahan iklim telah menyebabkan suhu bumi meningkat. Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa pada Minggu (19/11/2023) menunjukkan, untuk pertama kalinya suhu harian di Bumi melewati ambang 2 derajat celsius lebih panas dibandingkan masa pra-industri atau 1850-1900.
Selama ini, belum ada kajian di Indonesia tentang dampak kenaikan suhu bumi terhadap ekosistem pangan nasional. Kajian itu penting untuk menjawab dan mengantisipasi sejumlah persoalan yang mungkin muncul.
”Apakah kenaikan suhu bumi itu dalam 20 tahun ke depan akan berpotensi menyebabkan sawah tidak bisa ditanami padi lagi? Pertanyaan ini sepertinya belum ada jawaban dan kajiannya. Perlu kiranya hal ini masuk dalam kajian dan rencana kebijakan jangka panjang untuk mengantisipasinya,” katanya.
Baca juga: Empat Tren Hadang Mitigasi Kerawanan Pangan
Estafet kebijakan pangan
Pada 2024, Kementan menargetkan produksi beras naik menjadi 35 juta ton dari target 2023 yang sebanyak 31 juta ton. Target ini cukup menantang mengingat tahun depan merupakan tahun politik, tahun penyerahan tongkat estafet kepemimpinan lama ke kepemimpinan baru.
Untuk merealisasikannya, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman akan mengakselerasi peningkatan luas tanam dan produksi padi. Perluasan lahan tanam ini akan dilakukan sebagai kelanjutan dari program optimasi pemanfaatan lahan rawa yang pernah dilakukan Amran pada 2014-2019 di Sumatera Selatan dan Kalimatan Selatan.
Kementan akan menanam padi bahkan jagung di 1 juta hektar lahan rawa mineral dan 1 juta hektar lahan rawa tadah hujan. Selain itu, Kementan juga akan memastikan ketersediaan pupuk dan benih unggul, serta mekanisasi pertanian demi mendorong keberhasilan peningkatan produksi.
”Tidak ada basa-basi dalam membangun negeri ini, kerja aja. Pertanian Indonesia ini hebat. Pada 2017 sudah swasembada, pada 2019 swasembada, dan pada 2020 juga swasembada. Berarti kita bisa,” tambah Amran.
Sederet tantangan yang terkait satu sama lain itu tentu bakal menjadi pekerjaan rumah pemerintah ke depan. Tak cukup hanya berorientasi pada swasembada pangan tanpa diikuti kebijakan-kebijakan konkret untuk mengatasi beragam tantangan tersebut. Estafet kebijakan pangan dari pemerintah lama ke baru perlu dilakukan.
Baca juga: Bappenas: RI dan Dunia Hadapi Tiga Isu Prioritas Pangan