Empat Tren Hadang Mitigasi Kerawanan Pangan
Konversi lahan, produktivitas menurun sampai problem perubahan iklim menghadang upaya memitigasi kerawanan pangan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah terus berusaha mengurangi daerah rentan rawan pangan, dari 72 daerah pada 2022 menjadi 61 daerah pada 2024. Tantangannya, ada empat tren yang menghadang. Tren itu meliputi konversi lahan pertanian, penurunan produktivitas tanaman pangan, lambatnya regenerasi petani, dan perubahan iklim.
Ikhtiar pemerintah mengurangi daerah rentan rawan pangan itu digulirkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui program Kesiapsiagaan Krisis Pangan di Daerah. Program tersebut diatur dalam Peraturan Bapanas Nomor 19 Tahun 2023 tentang Kesiapsiagaan Krisis Pangan.
Deputi Kerawanan Pangan dan Gizi Bapanas Nyoto Suwignyo menyatakan, daerah rentan rawan pangan di Indonesia berkurang dari 72 kabupaten/kota pada 2022 menjadi 68 kabupaten/kota pada 2023. Targetnya, daerah rentan rawan pangan pada 2024 turun lagi menjadi 61 kabupaten/kota.
Baca juga: Alih Fungsi Lahan Mengancam Produksi Padi Nasional
Melalui Program Kesiapsiagaan Krisis Pangan, setiap daerah diharapkan dapat mengatasi persoalan krisis pangan secara mandiri. Untuk itu, peta ketahanan dan kerawanan pangan perlu terus dimutakhirkan, serta cadangan pangan pemerintah daerah dan cadangan pangan masyarakat perlu dikembangkan dan ditingkatkan.
”Setiap pemerintah daerah juga harus selalu memastikan ketersediaan pangan di wilayahnya cukup. Kalau stok pangan itu kurang, upayakan untuk menambahnya dari dalam daerah ataupun luar daerah,” ujarnya dalam Rapat Koordinasi Nasional Kesiapsiagaan Krisis Pangan 2023 yang digelar Bapanas secara hibrida, Rabu (13/12/2023).
Langkah antisipasi
Peraturan Bapanas No 19/2023 mendefinisikan krisis pangan sebagai kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan antara lain oleh kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, serta konflik sosial.
Adapun yang dimaksud dengan kesiapsiagaan krisis pangan adalah serangkaian kegiatan untuk mengantisipasi krisis pangan melalui pengorganisasian dan langkah yang tepat dan berdaya guna. Untuk itu, setiap pemerintah daerah wajib membentuk organisasi perangkat daerah (OPD). OPD tak hanya memiliki fungsi koordinasi, tetapi juga menyusun rekomendasi kebijakan kesiapsiagaan krisis pangan berdasarkan faktor penyebab dan skala prioritas.
Baca juga: Ancaman Krisis Pangan Masyarakat Lokal di Tengah Kegagalan ”Food Estate”
OPD juga berperan menyiapkan sejumlah langkah strategis, seperti peningkatan cadangan pangan daerah dan penguatan sistem stok dan diversifikasi pangan. Selain itu, OPD juga perlu memperkuat konektivitas, distribusi, dan perdagangan pangan, serta langkah-langkah perlindungan sosial.
Program Kesiapsiagaan Krisis Pangan telah digulirkan di 34 provinsi. Pada tahun ini, Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kabupaten Aceh Utara, dan Daerah Istimewa Aceh menjadi proyek percontohan pengimplementasian program tersebut.
Makin kompleks
Namun, tantangan merealisasikan program itu, menurut Nyoto, semakin kompleks dan berat. Ini karena terjadi konversi lahan pangan menjadi nonpangan, produktivitas tanaman pangan turun, regenerasi petani lambat, dan perubahan iklim
”Hasil Sensus Pertanian (ST) 2023 memotret beberapa persoalan itu. Hasil sensus itu diharapkan bisa menjadi pijakan dalam pengembangan sektor pangan, termasuk menjadi basis pelaksanaan program Kesiapsiagaan Krisis Pangan,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama lima tahun terakhir (2018-2023), luas lahan baku sawah menciut 648.800 hektar (ha), yakni dari 7,7 juta ha menjadi 7,1 juta ha. Ini menunjukkan rerata sawah yang beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian seluas 130.000 ha per tahun.
Baca juga: Petani Semakin Menua dan Alami Guremisasi
Produktivitas padi nasional sejak 2014 lambat naik dan cenderung turun. Berdasarkan data BPS, produktivitas pada 2014 sebesar 5,15 ton per ha. Pada 2020 dan 2022, produktivitasnya turun, masing-masing menjadi 5,4 ton per ha dan 5,24 ton per ha.
Adapun hasil ST 2023 Tahap I BPS menunjukkan, petani di Indonesia semakin menua dalam satu dekade terakhir. Proporsi petani pengelola usaha pertanian perorangan berusia 55-64 tahun meningkat, dari 20,01 persen pada 2013 menjadi 23,3 persen pada 2023. Petani berusia 65 tahun ke atas proporsinya juga meningkat, dari 12,75 persen menjadi 16,15 persen.
Waspadai perubahan iklim
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Ardhasena Sopaheluwakan menuturkan, pada 2024, pola cuaca Indonesia diperkirakan akan kembali normal. Fenomena El Nino masih akan terjadi hingga Maret 2024, tetapi dampaknya sudah mulai mereda sejak akhir November 2023 karena Indonesia telah memasuki musim penghujan.
Namun, ke depan, pola perubahan iklim tetap perlu dicermati karena berpotensi memengaruhi periodisasi hujan dan kenaikan suhu bumi. Perubahan iklim akan menyebabkan wilayah di selatan khatulistiwa cenderung mengalami defisit hujan saat musim kemarau. Sementara, saat musim hujan, curah hujan tetap akan intens atau normal, tetapi periode terjadinya hujan akan lebih singkat.
Perubahan iklim akan menyebabkan wilayah di selatan khatulistiwa cenderung mengalami defisit hujan saat musim kemarau.
”Ke depan, ini juga akan menjadi tantangan bagi sektor ketahanan pangan karena menyangkut sumber irigasi, yakni bagaimana menangkap lebih banyak air hujan dalam periode hujan yang lebih singkat,” tuturnya.
Selain itu, kata Ardhasena, perubahan iklim telah menyebabkan suhu bumi meningkat. Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa pada Minggu (19/11/2023) menunjukkan, untuk pertama kalinya suhu harian di Bumi melewati ambang 2 derajat celsius lebih panas dibandingkan pra-industri atau 1850-1900.
Baca juga: Ketika Bumi untuk Pertama Kali Merasakan 2 Derajat Celsius Lebih Panas
Selama ini, masih belum ada kajian di Indonesia tentang dampak kenaikan suhu bumi terhadap ekosistem pangan nasional. Kajian itu penting untuk menjawab dan mengantisipasi sejumlah persoalan yang mungkin muncul.
”Apakah kenaikan suhu bumi itu dalam 20 tahun ke depan akan berpotensi menyebabkan sawah tidak bisa ditanami padi lagi? Pertanyaan ini sepertinya belum ada jawaban dan kajiannya. Perlu kiranya hal ini masuk dalam kajian dan rencana kebijakan jangka panjang untuk mengantisipasinya,” katanya.
Pangan lokal
Rapat Koordinasi Nasional Kesiapsiagaan Krisis Pangan 2023 juga menekankan pentingnya setiap daerah mengembangkan pangan lokal. Hal ini agar Indonesia tidak selalu bergantung pada pangan impor dan terus menumbuhkan diversifikasi pangan berbasis sumber pangan lokal.
Kepala Subdirektorat Pertanian dan Pangan Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Gunawan Eko Movianto mengatakan, Kemendagri telah mendorong setiap daerah untuk mengembangkan pangan lokal. Tujuannya tidak hanya sekadar melestarikan pangan lokal, tetapi juga dalam rangka menciptakan ketahanan pangan daerah berbasis sumber daya alam setempat.
Baca juga: RI Miliki 4.868 Lumbung Pangan Masyarakat
”Pengembangan pangan lokal itu berbasis potensi pangan lokal di 74 kabupaten/kota rentan pangan. Potensi pangan lokal di daerah-daerah tersebut merujuk pada Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA) 2022,” katanya.
Ia mencontohkan, di Mentawai, Sumatera Barat, pangan lokal yang bisa dikembangkan seperti keladi, pisang, dan sagu. Sementara di Fakfak, Papua Barat, potensi pangan lokalnya berupa ubi, talas, sagu, singkong, pisang, pala, dan labu siam.