Rawat Persaudaraan lewat Tradisi ”Nyadran” di Banyumas
Ribuan warga Desa Karanggude Kulon menggelar tradisi ”nyadran” untuk mempererat persaudaraan dan menyambut bulan puasa.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
Asap mengepul dari wajan berukuran jumbo di kompleks Makam Kabunan, Desa Karanggude Kulon, Karanglewas, Banyumas. Di dalam wajan itu terlihat kuah santan dengan irisan daging kambing beserta jeroan yang menggiurkan. Di sampingnya, sejumlah bapak membuat ancak, sebuah wadah berbentuk kotak untuk aneka makanan. Sore itu tradisi nyadran digelar.
”Ini tradisi turun-temurun menjelang bulan puasa. Sebagian besar warga libur kerja dan ikut kerja bakti di sini,” tutur Nurkholis (52), warga setempat yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit.
Nurkholis sibuk membelah bambu untuk dijadikan tusuk ancak. Sehelai pelepah batang pisang yang panjang ditekuk menjadi empat sisi, lalu pada kedua ujung yang saling bertemu ditusuk oleh bilah bambu. Agar lebih kuat, pada sisi bawah dirangkai pula bilah-bilah bambu dengan cara dianyam. Kemudian di atasnya dilapisi lembaran daun pisang.
Setelah selesai dirangkai, ratusan ancak itu dibawa ke samping halaman Masjid Baitul’Ilmi Al Barokah. Setelah pukul 12.00, para ibu datang berbondong-bondong membawa makanan di dalam keranjang. Mereka membawa nasi, tumpeng, sayur-mayur, oseng tempe, tahu-tempe goreng, juga kerupuk dan peyek.
”Saya bawa sembilan bungkus makanan. Macam-macam isinya. Ada nasi, peyek, kentang, oseng. Belanjanya mungkin habis sekitar Rp 200.000, apalagi berasnya mahal sampai Rp 18.000 per kilogram,” kata Karwati (63).
Perjumpaan para ibu itu menjadi sarana bersilaturahmi satu sama lain. Termasuk pula memperbincangkan harga beras yang melambung. ”Ya, tadi gibah apa sajalah, beras mahal, apa-apa mahal,” kata Umi (30) sambil disambut tawa oleh ibu-ibu lainnya.
Tradisi ini juga untuk saling silahturahmi. Warga masyarakat, kan, sibuk mencari nafkah, jadi di pertemuan ini bisa saling silaturahmi dan gotong royong.
Meski kebutuhan pokok mahal, Umi dan ibu-ibu lainnya rela belanja dan memasak, lalu berkumpul bersama dalam tradisi nyadran ini. ”Tadi saya masak pukul 09.00, belanjanya habis sekitar Rp 100.000. Tahun ini harapannya bisa menjalankan puasa sampai selesai, diberi kesehatan, dimudahkan rezekinya,” kata Umi.
Aneka makanan yang telah dibawa para ibu itu diletakkan ke dalam ancak dan dikumpulkan di satu sudut. Sembari menunggu gulai kambing matang, para ibu duduk berbaris di bawah naungan pohon sawo kecik nan rindang. Setelah matang, gulai kambing yang diwadahi plastik lalu dibagikan kepada masing-masing yang hadir. Sejurus kemudian, aneka makanan yang sudah dikumpulkan di setiap ancak lalu dibagikan kepada semua warga.
Warga yang telah menerimanya lalu membuka dan mengemasnya kembali ke dalam keranjang yang dibawa. Setelah doa dilantunkan oleh sesepuh setempat, mereka kemudian pulang ke rumah masing-masing. ”Ini kami saling bertukar nasi dan lauk pauk. Wujud syukur dan biar lancar rezeki,” kata Supiah (56), warga lainnya.
Koordinator Sadran Desa Karanggude Kulon, Ahmad Subandi (74), mengatakan, tradisi ini sudah digelar turun-temurun sejak lama. ”Ini adalah bentuk rasa syukur sudah diberi kesehatan dari Allah SWT. Kemudian ini menyambut bulan puasa dan para warga mendoakan para arwah yang sudah dipanggil Allah SWT. Ini peringatan rutin setiap tahun,” kata Subandi.
Selain bertukar makanan, sebelumnya warga juga saling gotong royong membersihkan makam. Di makam ini juga terdapat makam Syeh Mukorodin yang diperkirakan hidup sekitar 700 tahun lalu di wilayah ini. ”Tradisi ini juga untuk saling silaturahmi. Warga masyarakat, kan, sibuk mencari nafkah, jadi di pertemuan ini bisa saling silaturahmi dan gotong royong,” paparnya.
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, FX Wardiyono, mengatakan, nyadran merupakan tradisi atau kearifan lokal yang hingga kini masih dijalankan oleh sebagian masyarakat perdesaan. ”Secara sosiologis, itu masih dilakukan karena ada fungsi integrasi. Lewat nyadran, berbagai golongan masyarakat itu berkumpul, tidak memandang golongan dan agama,” kata Wardiyono.
Selain itu, lanjut Wardiyono, ada pula fungsi ekologis dari tradisi ini. ”Dari sisi ekologis, juga melakukan atau merawat makam sehingga makam jadi bersih. Jadi, ada fungsi integrasi dan ekologis. Bahkan, sekarang ada kaitannya dengan wisata,” ujarnya.
Menurut Wardiyono, tradisi sadran masih perlu dilestarikan, baik untuk merawat persaudaraan, menjaga lingkungan, bahkan berpotensi untuk mengungkit perekonomian warga sekitar jika dikemas dengan arif dan bijaksana. ”Ini kearifan lokal yang perlu tetap dilestarikan dan, menurut saya, ini akan tetap berjalan karena dilakukan secara turun-temurun,” katanya.