Filosofi Kudi, Perang Diponegoro, dan Kebangkitan Pandai Besi Banyumas
Para pandai besi di Desa Pasir Wetan, Banyumas, kembali bergeliat di tengah pandemi. Salah satu produksinya adalah kudi, perkakas pertanian khas Banyumas ini sarat makna.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Dentang suara besi beradu dari warga yang menempa baja menandai detak kehidupan Desa Pasir Wetan, sentra logam di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Hidup turun-temurun sebagai pandai besi, mereka perlahan bangkit dari pandemi. Jika dulu dikenal sebagai tempat produksi persenjataan perang di era Perang Diponegoro, kini mereka memasok peralatan pertanian, termasuk kudi, perkakas agraris khas daerah Banyumasan yang sarat filosofi.
”Pandemi Covid-19 sempat membuat pesanan anjlok sampai 50 persen. Apalagi, saat pembatasan-pembatasan sehingga membuat banyak pasar tutup,” kata Fajar Tri Anggara (26), generasi keempat pemilik usaha Pandhe Besi Putra Cendana di Desa Pasir Wetan, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (15/2/2022).
Usahanya pun mulai menggeliat lagi pada akhir 2021 hingga kini, seiring melonggarnya sejumlah pembatasan. ”Sekarang omzet per bulan sekitar Rp 40 juta dengan tonase 2-3 ton,” kata Fajar yang memproduksi alat pertanian, seperti cangkul, garpu tanah, linggis, dan golok.
Fajar yang juga menjadi Ketua Kelompok Pandai Besi Gayeng Ruyeng menyebutkan, di desanya ada 37 orang pandai besi. Kebanyakan usianya di atas 40 tahun. ”Di sini saya yang paling muda dan meneruskan usaha bapak sejak 2017,” ujarnya.
Menurut Fajar, bengkel serta kemampuannya sebagai pandai besi diwariskan dari eyang buyutnya yang biasa dipanggil Buyut Rana. Sang buyut ini menjadi pemasok senjata perang bagi pasukan Diponegoro, seperti tombak, pedang, dan golok, melalui Mbah Nurhakim sebagai tangan kanan Diponegoro.
Seiring perkembangan zaman, para pandai besi di desa ini kemudian memproduksi peralatan pertanian. ”Kami menjual hasil produksi ke wilayah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) dan wilayah utara, seperti Brebes,” tuturnya.
Deraan pandemi Covid-19 juga dirasakan Adi Prasetyo Wasirin (57) yang biasanya melayani pembuatan emblem perlengkapan pramuka. Sebelum pandemi, dirinya bisa melayani permintaan 60 sekolah dan sejumlah toko dengan penghasilan bersih sekitar Rp 10 juta per bulan. Namun, akibat pandemi, pesanan jadi sepi. ”Karena pandemi, sekolah dari rumah dan kegiatan pramuka di sekolah berhenti. Saya cuma mengandalkan permintaan seadanya saja,” kata Wasirin yang juga memproduksi plakat-plakat dari logam.
Wasirin yang sudah berkecimpung di dunia pandai besi sejak 1992 menyebutkan, saat ini, meski belum sepenuhnya normal, dia bersyukur masih bisa mendapatkan pemasukan Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan dari pengerjaan detail desain-desain perkakas logam. ”Misalnya ada pemesanan kudi untuk koleksi, saya yang membuat desain dan motif hiasannya,” ujarnya.
Hal serupa juga disampaikan Rohmat (53), pembuat pisau di desa itu. Kini permintaan pisaunya kian stabil sekitar 60 buah per minggu. ”Iya, ini lumayan stabil seminggu 60 buah. Harga dari sini Rp 2.500 dan dijual di Pasar Wage, Purwokerto,” tutur bapak dua anak ini yang telah 10 tahun membuat pisau.
Kudi Banyumasan
Kudi atau parang khas Banyumas menjadi salah satu perkakas ikonik yang juga bisa diproduksi di desa ini. Kudi banyumasan juga terpampang di sejumlah titik tempat umum di Purwokerto, seperti di sekitar underpass Jenderal Soedirman serta di Pasar Manis Purwokerto. Di sekitar underpass, tampak sebuah tugu air mancur berhiaskan senjata ini dan disebut tugu Gada Rujakpolo. Adapun di pasar manis, patung sosok Bawor atau Bagong dalam pewayangan duduk bersimpuh membawa kudi di tangannya.
”Kudi ini asli Banyumas. Gunanya bagian perut dipakai untuk membuat ranjang dari bambu. Untuk penderes saat ini, dipakai untuk membuat tatah atau pijakan di pohon kelapa. Lalu bagian ujung dipakai untuk membelah bambu dan membuat tusuk sate,” papar Fajar.
Wasirin menambahkan, kudi merupakan senjata khas dari Bawor. ”Petruk punya senjata namanya pethel, Gareng punya senjata namanya uril, dan Bawor ini punya senjata namanya Kudi,” katanya.
Sadali (68), mranggi atau pembuat warangka keris dan penjamas pusaka Banyumas, mengatakan, senjata ini hampir menyerupai kujang di Jawa Barat. ”Jika di Jawa Barat dipakai untuk perang, di Banyumas untuk pertanian,” ujarnya.
Menurut Sadali, salah satu filosofi kudi bisa dilihat dari bentuknya yang pada bagian ujung atas tipis lalu pada bagian bawah seperti perut yang menggembung. Bentuk itu bermakna bahwa kudi menyimpan hal-hal yang baik. ”Filosofinya adalah menyerap hal-hal yang bagus, dimasukkan ke dalam perut. Seperti Semar yang selalu mencari hal-hal yang baik lalu diwariskan ke generasi berikutnya. Jadi, besar itu bukan berarti buncit, melainkan mengandung hal-hal baik,” paparnya.
Kepala Seksi Nilai Tradisi Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata Kabupaten Banyumas Mispan menyebutkan, kudi juga merupakan suatu singkatan dari kata laku dan adi. ”Laku artinya perbuatan. Adhi adalah sesuatu yang bagus, agung atau luhur. Jadi, kudi artinya berbuat yang bagus dan luhur,” kata Mispan menjelaskan.
Laku artinya perbuatan. Adhi adalah sesuatu yang bagus, agung atau luhur. Jadi, kudi artinya berbuat yang bagus dan luhur.
Menurut Mispan, kudi merupakan ilustrasi untuk menggambarkan bahwa Banyumas merupakan daerah yang agraris sehingga untuk menggarap lahan dibutuhkan kudi yang multifungsi. ”Kudi ini bisa untuk memotong, membelah, menghaluskan bambu, dan ujungnya bisa untuk melubangi. Wong banyumas harus kenal kudi. Kalau enggak kenal, aja ngaku-ngaku wong Banyumas (jangan mengaku orang Banyumas),” ujarnya.
Mispan menambahkan, dalam perjalanan sejarah, dulu pembuat senjata di wilayah Pasir mengirimkan senjata lewat ritual di suatu gunung yang angker, padahal di balik sesajian itu terdapat beragam pusaka dan senjata juga bahan logistik bagi prajurit Diponegoro.
”Setelah kalah perang, ada perjanjian antara Diponegero dan VOC bahwa wilayah barat dibuka untuk pertanian dan perkebunan sehingga butuh peralatan pertanian. Di situ para empu berubah fungsi bukan membuat senjata, melainkan menjadi pembuat alat pertanian. Kalau di Jepang kalah perang sama Amerika, didata berapa guru yang masih hidup. Di zaman Diponegoro otomatis berubah fungsi,” paparnya.
Menurut Fajar, permintaan pembuatan kudi saat ini memang tidak banyak atau hanya pemesanan tertentu untuk koleksi. Meski demikian, Fajar juga Mispan berharap kisah dan semangat kudi bisa dikenali oleh generasi muda di Banyumas. Apalagi, di tengah pandemi yang belum tahu kapan usainya ini, Kabupaten Banyumas tengah menyongsong hari jadinya yang ke-451 pada 22 Februari.
Bersama dentangan peraduan baja serta derit mesin gerinda di tangan para pandai besi di Desa Pasir Wetan, terselip harapan pandemi kian terkendali, ekonomi pulih kembali, serta laku kang adi bisa kian menyemangati generasi masa kini. Dirgahayu Banyumas!