Masih Ada Asa dari Balik Terali Penjara...
Bangkit dari keterpurukan menjalani hukuman di penjara bukanlah hal mustahil. Sejumlah napi membuktikan itu.
Menjalani hukuman penjara bukan berarti akhir dari segalanya. Dengan pelatihan keterampilan dan pendampingan yang tepat, para narapidana bisa memiliki harapan untuk bisa berkarya dan berkembang lebih baik.
Ay (58), warga Kota Yogyakarta, DIY, membuktikan itu. Saat menjalani hukuman dan pembinaan di lembaga pemasyarakatan, ia justru menemukan optimisme untuk kembali memulai awal baru dari perjalanan hidupnya.
Selama setengah dari dua tahun masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas IIB Yogyakarta, Ay intens belajar membatik bersama para mentor pendampingnya. Dari penjara, sebagian karyanya sudah dijual. Kini, selepas sembilan bulan keluar dari penjara, kiprahnya kian berkembang.
”Sekarang saya sudah memiliki dua butik batik,” ujarnya penuh semangat saat ditemui, Jumat (24/2/2024).
Satu butik berada di rumah, sedangkan satu butik lainnya bertempat di salah satu ruangan yang disediakan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Yogyakarta di Griya Abhipraya Purbonegoro, Yogyakarta.
Griya Abhipraya Purbonegoro adalah salah satu Griya Abhipraya di bawah naungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menjadi rumah bagi mantan narapidana selama menjalani masa reintegrasi sosial. Di tempat inilah, para mantan narapidana bisa mengikuti pelatihan dan memajang serta menjual produk-produk karyanya.
Dengan keahlian yang dimiliki, Ay kemudian ditunjuk Bapas Kelas I Yogyakarta untuk menjadi mentor bagi siapa saja yang ingin belajar membatik di Griya Abhipraya Purbonegoro. Sejumlah ”murid” yang pernah datang dan diajarinya berasal dari kalangan mahasiswa.
Tidak sekadar ingin menyimpan untuk dirinya sendiri, dia pun ingin menularkan semangat optimisme yang sama untuk rekan-rekannya sesama mantan narapidana. Ay intens mengajak teman-temannya untuk berkarya, melakukan hal positif setelah keluar dari penjara.
Keseriusan niat tersebut dilakukan Ay dengan menyediakan tempat di butiknya untuk menampung semua barang produksi dari teman-temannya.
”Mau membuat produk makanan, aksesori, apa pun juga, semuanya siap saya tampung di butik,” ujarnya.
Pencapaian saat ini tentu saja melalui proses panjang yang tidak mudah dilalui. Pengalaman pernah menjadi narapidana dirasakan sungguh mengguncang hidup, karena Ay sebelumnya sudah bekerja selama 12 tahun di sebuah perusahaan agen perjalanan dengan posisi terakhir sebagai salah satu direktur. Ketika itu, nasib buruk tidak dapat ditolak karena dirinya terseret kasus penyalahgunaan jabatan yang dilakukan pimpinan hingga akhirnya terpaksa menjalani hukuman dua tahun penjara.
Ketika itulah, dia merasa sungguh terpuruk. Enam bulan awal di penjara dilaluinya dengan sering menangis setiap hari.
Namun, semua berubah ketika dirinya ditawari untuk mengikuti program pembinaan kemandirian di lapas berupa pendidikan ketrampilan. Ketika itu ada sedikitnya empat program yang ditawarkan. Dia memilih batik. Selain karena merasa familiar karena sering melihat anaknya membatik, kegiatan tersebut dinilainya sebagai aktivitas yang paling cocok untuk ditekuni di usianya saat ini.
Dia pun intens mempelajari keseluruhan tentang batik, mulai dari membuat gambar atau motif hingga melakukan tahapan akhir, nglorot, atau menghilangkan lilin dari kain batik. Dia pun berkarya, mencanting setiap hari.
Ay tidak ingat berapa karya yang sudah dihasilkan. Dia hanya tahu hasil penjualan kain-kain batiknya telah memberikan pemasukan untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Menurut cerita dari pihak lapas dan bapas, dia pun tahu bahwa karyanya disukai dan laku terjual ke berbagai kalangan.
”Kain batik saya sudah laku terjual hingga ke Istana Negara dan pernah dikenakan oleh Ibu Iriana (Iriana Joko Widodo),” ujarnya bangga.
Hampir bunuh diri
Perubahan hidup serupa juga dirasakan oleh Wan (29), warga Kabupaten Kulon Progo, DIY. Tersangkut kasus penggelapan di ritel tempatnya bekerja, dia pun divonis hukuman 15 bulan penjara.
Shock, perasaan terguncang dan sedih luar biasa, ketika itu membuatnya mencoba bunuh diri. Sekalipun kemudian bisa kembali menenangkan diri, pemulihan kondisi psikologisnya membutuhkan waktu beberapa bulan.
Setelah itu, dia ikut terlibat dalam program padat karya membuat wig atau rambut palsu untuk memenuhi permintaan sebuah pabrik.
Selesai menjalani hukuman di Rumah Tahanan (Rutan) Wates, dia masih mendapatkan pendampingan dari salah seorang petugas dari Bapas Yogyakarta, yang kemudian juga mengarahkan dirinya mengikuti sejumlah pelatihan keterampilan, mulai dari mengelas hingga membuat kuliner ayam goreng tepung. Keterampilan di bidang kuliner itulah yang kemudian mengantarkan Wan pada kesibukannya sekarang.
”Sejak Juli 2023, saya diberi tempat untuk berjualan ayam goreng tepung di Griya Abhipraya Purbonegoro,” ucapnya.
Geliat usaha juga terjadi di rutan dan lapas lain. Kepala Rutan Kelas IIB Wates, Kulon Progo, Erik Murdiyanto mengatakan, saat ini di Rutan Kelas IIB Wates telah terbentuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UKM) yang memproduksi bakso goreng (basreng) dengan 10 narapidana sebagai anggotanya.
Sebanyak 10 narapidana tersebut memiliki latar belakang perkara yang bervariasi. ”Narapidana dari perkara pelecehan seksual, penipuan, hingga pembunuhan ikut terlibat dalam produksi basreng,” ujar Erik.
Total narapidana di Rutan Kelas IIB Wates saat ini terdata sebanyak 96 orang. Sebanyak 10 orang yang kini terlibat dalam produksi basreng dipilih melalui proses seleksi tertentu, dengan mempertimbangkan kondisi kejiwaan mereka masing-masing.
Dimulai sejak tiga bulan lalu, para napi kini sudah berhasil membuat basreng dalam empat varian rasa, yaitu orisinal, barbeku, pedas, dan balado. Produk sudah dipasarkan ke sejumlah kota di lingkup Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Dalam waktu dekat, Rutan Kelas IIB Wates juga akan berupaya agar produk ini bisa ikut dijual di Bandara Internasional Yogyakarta (YIA).
Baca juga: Prioritaskan Pelatihan Napi
Ini bukan pertama kalinya narapidana dari Rutan Kelas IIB mampu menghasilkan produk. Sebelum ini, Erik juga bekerja sama dengan sebuah perusahaan asal Korea dan para narapidana bekerja memenuhi permintaan wig bagi perusahaan tersebut.
”Dari perusahaan asal Korea tersebut, wig produksi kami bahkan sudah diekspor menembus pasar Eropa,” ujarnya.
Berlangsung selama tiga tahun, kerja sama dan produksi wig akhirnya berhenti karena permintaan rambut palsu dari perusahaan tersebut berkurang drastis.
Dibuat di penjara, sebagian produk hasil karya para narapidana ini memang sudah melangkah jauh, melampaui langkah dari pembuatnya sendiri yang masih terkungkung di balik terali besi.
Hidup di penjara tidak kemudian menjadikan maling ayam berkembang menjadi maling barang-barang berharga lainnya. Para narapidana tetap dapat berubah dan berkesempatan mewujudkan masa depan yang lebih baik.
Yuli Wulandari, Penanggung Jawab Bidang Registrasi dan Klasifikasi Anak Binaan Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, yang juga menjadi anggota tim kelompok kerja pembinaan kemandirian di Ditjen Pemasyarakatan, mengatakan, setiap tahun selalu ada saja produk-produk dari para narapidana yang berhasil menembus pasar ekspor.
Lapas Kelas 1 Surabaya, misalnya, bahkan sudah mengekspor produk mebel ke Amerika sejak puluhan tahun lalu. Produk mebel karya para narapidana tersebut tidak pernah dijual atau dipamerkan di dalam negeri.
”Produk mebel dari lapas di Surabaya memang tidak pernah ditawarkan di dalam negeri. Produk dari para narapidana di sana biasa dihargai dengan nominal dollar,” katanya.
Program pembinaan kemandirian adalah program yang sudah sejak lama ada dan menjadi program yang wajib dijalankan di semua lapas, rutan, dan lembaga pembinaan khusus anak (LPKA).
Tidak sekadar memberi kegiatan untuk mengisi waktu luang, program pembinaan kemandirian juga dimaksudkan untuk menambah keterampilan para narapidana. Keterampilan itu dapat menjadi bekal bagi mereka untuk memulai hidup baru selepas menjalani masa hukuman penjara.
Hal ini sekaligus diharapkan dapat memberi citra positif pada narapidana dan kehidupan di penjara.
”Hidup di penjara tidak kemudian menjadikan maling ayam berkembang menjadi maling barang-barang berharga lainnya. Para narapidana tetap dapat berubah dan berkesempatan mewujudkan masa depan yang lebih baik,” ujarnya.
Direktur Pembinaan Narapidana dan Anak Binaan Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Erwedi Supriyatno mengatakan, selain melakukan program pembinaan kemandirian, pihaknya saat ini juga mendorong semua lapas untuk membuat lembaga pelatihan kerja (LPK) bagi narapidana di penjara. LPK tersebut diharapkan juga dapat menerbitkan sertifikat program pelatihan yang nantinya menjadi bekal bagi para narapidana untuk melamar pekerjaan atau memulai membuka usaha setelah keluar dari penjara.
Baca juga: Menata Kembali Masa Depan Anak Terpidana
Bekal keterampilan untuk bekerja ini diharapkan sekaligus dapat menjadi bekal bagi para narapidana untuk menata hidup yang lebih baik, tidak lagi terpikir untuk melakukan tindak kriminalitas.
”Seperti kita tahu, sebagian tindak kriminalitas, seperti aksi pencurian atau perdagangan narkoba, sering kali dipicu oleh motif ekonomi ingin mendapatkan uang banyak untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ungkapnya.
Masih ada kesempatan untuk berubah. Asa baru untuk kehidupan yang baik tetap tersedia di mana-mana, termasuk di ruang sempit dalam sel penjara....