Anak berkonflik dengan hukum sering kali tidak menyadari apa yang ia perbuat sehingga harus berhadapan dengan hukum. Mereka perlu diberi kesempatan untuk menata ulang masa depannya.
Oleh
Stephanus Aranditio
·4 menit baca
Hampir semua anak-anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Tangerang tidak pernah menyangka kenakalan mereka berujung pada vonis hukum yang serius. Mereka menyesal, tetapi tidak mau terlarut dalam kegelapan. Mereka sadar bahwa hukuman ini berarti kesempatan kedua untuk menata kembali masa depan.
Setiap pagi, K (18) bangun dari tidurnya, merapikan tempat tidur, lalu mandi, dan keluar dari sel untuk mengikuti apel pagi. Sel tahanan di sini sangat jauh dari bayangan seram seperti di film. Sel berukuran sekitar 3 meter x 3 meter ini diisi dua ranjang bertingkat bagi empat orang. Ada pula kamar mandi di dalam sel bagi mereka berempat.
Selesai apel pagi, K kembali ke sel, berganti seragam lalu segera masuk ke ruang kelas XI SMK Istimewa yang dimulai pukul 08.00. LPKA Tangerang menjadi satu-satunya lembaga pembinaan anak di Indonesia yang memiliki sekolah formal dari SD, SMP, dan SMK yang terdaftar di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Saya sempat marah, cuma kemarahan saya enggak tersampaikan, jadi tidak berusaha klarifikasi.
Pukul 11.00, aktivitas pembelajaran di sekolah selesai. K kembali ke sel dan berganti pakaian Muslim untuk mengikuti pengajian yang dibina oleh tokoh agama setempat. Setelah itu, K bersama 71 anak pidana lainnya makan siang di ruang makan. Semua rutinitas ini dilakukan dalam pengawasan untuk membangun karakter dan kedisiplinan anak pidana.
Pihak LPKA memastikan semua hak mereka terpenuhi, mulai dari makanan bergizi, pakaian layak, hingga pendidikan yang menjamin mereka setelah bebas bisa mengantongi ijazah. Semua ini dilakukan demi menjaga anak pidana menata kembali masa depan mereka.
”Awalnya saya pikir penjara itu menyeramkan, ternyata tidak. Ini lebih mirip seperti pondok pesantren. Saya kira ini sangat beruntung, saya menyesali perbuatan saya, tetapi saya ingin berubah menjadi lebih baik,” kata K saat ditemui di LPKA Tangerang, Rabu (23/8/2023).
K berkonflik dengan kasus hukum setelah terlibat tawuran antarsekolah yang mengakibatkan korban jiwa. Tawuran ini sudah membudaya di sekolahnya. Ia seperti terjebak dalam budaya kekerasan tersebut. Dia divonis tiga tahun pidana di LPKA sejak 2022.
Selepas siang hari, para anak terpidana tetap menjalani aktivitas minat dan bakat, ada yang berlatih musik, membaca buku, menulis, membuat kerajinan tangan, hingga mengutak-atik sepeda motor di bengkel yang disediakan LPKA. K ingin menjadi musisi selepas bebas. Suara merdunya sudah menjadi langganan tampil di acara-acara LPKA.
Begitu pula dengan AA (15) yang terlibat dalam kasus penganiayaan yang mengakibatkan korban luka berat pada 2023. Dia divonis 3 tahun dibina di LPKA dan sangat menyesali pergaulan masa lalunya yang membawanya berkonflik dengan hukum.
Selama berhadapan dengan hukum, kondisi psikologis AA sangat kacau, tidak bisa tidur, dan malu karena keluarga turut dicerca lingkungan. Dia belum siap menghadapi kenyataan bahwa keterlibatannya, walau tidak ikut menganiaya korban, tetap dinyatakan bersalah dan dihukum berat.
”Saya lelah (berhadapan dengan hukum). Saya sempat marah, cuma kemarahan saya enggak tersampaikan, jadi tidak berusaha klarifikasi. Sekarang saya berusaha nyaman di sini,” ucap AA.
AA kini mengikuti program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau lebih dikenal dengan istilah kejar paket. Dia terpaksa mengikuti program ini karena langsung dikeluarkan oleh sekolah yang merasa nama baiknya tercemar walau kasusnya belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
Sama seperti K, AA juga menjadi salah satu ”musisi” di LPKA Tangerang yang sering tampil menyanyi sambil bermain piano. Saat upacara HUT ke-78 kemerdekaan RI lalu, AA menjadi salah satu penampil di depan Penjabat Gubernur Banten Al Muktabar.
Bagi Kepala Subseksi Pendidikan dan Latihan Keterampilan LPKA Kelas I Tangerang Ronny Setiawan, anak-anak binaan di tempat itu bukanlah anak yang harus dihukum atas perbuatannya. Mereka hanya perlu dibina agar tidak kembali tersesat dalam menata masa depannya.
”Undang-Undang Anak (Nomor 35 Tahun 2014) mengamanatkan untuk melindungi anak, bukan menghakimi anak pidana. Kewajiban anak itu salah satunya sekolah, kalau di sini walau nanti sudah bebas, tetap bisa melanjutkan sekolah di sini. Nanti kami tawarkan ke orangtuanya untuk melanjutkan di sini sampai mendapatkan ijazah. Di ijazahnya tidak ada embel-embel sekolah lapas, langsung tertulis sekolah istimewa,” kata Ronny.
Bangunan LPKA Tangerang sendiri sudah berdiri sejak 1925. Sejak berdiri, bangunan ini diperuntukkan mengasingkan anak-anak keturunan Belanda yang berbuat kenakalan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menjadikan bangunan ini sebagai Markas Resimen IV Tangerang hingga 1961. Pada 1964, bangunan kembali difungsikan sebagai Lapas Anak Pria Tangerang, lalu pada 5 Agustus 2015 sampai sekarang menjadi LPKA.
Bangunan yang berdiri di atas lahan seluar 12,50 meter persegi ini mampu menampung 220 anak. Per Agustus 2023 jumlah anak pidananya 71 orang, terdiri dari 69 laki-laki dan 2 perempuan. Anak dengan kasus asusila menjadi yang terbanyak di sini, jumlahnya mencapai 42 orang. Kasus lainnya pencurian (6 orang), senjata tajam/begal (2), penganiayaan (3), perampokan (5), narkoba (5), dan ketertiban/tawuran (8).
Anak pelaku asusila paling banyak dari daerah Pandeglang, Serang, dan Rangkasbitung. Mayoritas dari mereka melakukan hubungan seksual di bawah umur dengan temannya. Orangtua ”korban” tidak terima hingga membawa kasus ini ke ranah hukum. Sementara, anak terlibat kasus narkoba kebanyakan hanya menjadi kurir, mereka sering kali dilibatkan oleh orang dewasa dalam rantai peredaran narkotika.