Meskipun jumlah kursi di parlemen tidak besar, oposisi diperlukan agar terwujud demokrasi partisipatif.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·2 menit baca
MALANG, KOMPAS — Oposisi dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang berimbang. Meskipun secara kalkulasi jumlah di parlemen tidak besar, kehadiran oposisi menjembatani perbedaan kebutuhan masyarakat dan penguasa.
Pengamat politik dari Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, menyampaikan model bangunan pemerintah 2024 terkait kemungkinan koalisi dan oposisi. Dua partai dimungkinkan yang paling bisa menjadi oposisi adalah PDI-P dan PKS. Sisanya, kemungkinan besar akan menjadi koalisi.
“Oposisi dinilai penting karena akan mendorong bangunan pemerintahan yang berimbang. Tidak hanya kuat di eksekutif, seperti saat ini, di mana pemerintahan dikuasai koalisi,” kata Wawan, dalam acara Bincang Santai bersama Pakar (Bonsai) tentang Proyeksi Politik Pascapemilu, Selasa (27/2/2024) di Gedung Rektorat UB. Hadir pula dalam acara itu, pakar hukum pemilu, Prof Muchamad Ali Safaat.
Menurut Wawan, pentingnya oposisi adalah untuk mengakomodasikan perbedaan kebutuhan dan permintaan masyarakat yang tidak semuanya sejalan dengan pemerintah untuk menekan tirani mayoritas, serta mendorong demokrasi deliberatif dan partisipatif.
“Oposisi itu untuk memungkinkan terjadinya check and balances sehingga pemerintahan menjadi lebih berimbang,” katanya.
Bahkan, meskipun jumlah kursi di parlemen tidak besar sekalipun, menurut Wawan, oposisi tetap diperlukan. “Secara angka memang mungkin sulit, tapi saya pikir oposisi sekarang tidak harus di dalam parlemen namun juga di luar parlemen. Bisa melalui narasi digital yang disampaikan ke publik,” katanya.
Muchamad Ali Safaat mengatakan bahwa pilihan koalisi ataupun oposisi pasti dipengaruhi kekuatan partai politik. Hal itu biasanya bisa menjadi bahan untuk pertukaran politik.
“Setidaknya, dengan adanya oposisi di parlemen, nantinya bisa memperpanjang proses diskusi dalam kerangka pembuatan diskusi publik. Memperpanjang waktu agar beragam aspirasi bisa masuk.
Pada periode pemerintahan kedua Jokowi, memang benar ada oposisi masyarakat yaitu koalisi masyarakat sipil, misal terkait perubahan UU KPK. Tapi, sayangnya tidak ada yang menyambut di DPR sehingga suara koalisi masyarakat sipil ini tidak bisa panjang terdengar,” kata Ali.
Namun, hal itu akan berbeda jika ada partai oposisi di parlemen. Setidaknya, suara masyarakat sipil bisa dibicarakan di parlemen dan menjadi diskusi yang lebih awet.
”Menurut saya, sangat diperlukan untuk memberikan ruang yang lebih luas dalam proses diskursus publik. Ini yang harapannya nanti akan diperhatikan oleh partai dominan,” katanya.
Begitu pentingnya peran oposisi, menurut Wawan dan Ali, diharapkan oposisi bagi partai politik di parlemen akan benar terjadi.