Hutan Jerumbun, kawasan yang pernah terbakar itu, kini menjadi hutan pendidikan dan tempat kunjungan yang menyenangkan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Hutan Jerumbun di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, pernah menyimpan segudang cerita pilu. Puluhan tahun berlalu, segala yang pernah rusak kini menjadi tempat belajar bagi warga dunia. Tidak hanya ilmu, mereka pulang membawa rindu.
”Koook…koook!” Suara gagak hutan (Corvus enca) memekik, Jumat (23/2/2024) pagi. Suaranya terselip di antara pepohonan Jerumbun, hutan penyangga Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) di Desa Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kotawaringin Barat, Kalteng. Dalam pemahaman warga sekitar, jerumbun kurang lebih berarti kawasan hijau yang luas.
Di pohon jengkol tempat gagak berwarna hitam itu bertengger, tupai berlarian dan sigap melompat ke salah satu bilik di pondok tamu Jerumbun.
Di dalam pondok kayu itu, belasan mahasiswa Universitas Antakusuma Pangkalan Bun menginap selama beberapa hari. Mereka mengadakan kunjungan pendidikan ke tempat itu.
Tidak jauh dari pondok, ribuan bibit hijau terhampar di tempat penyemaian. Tempat itu menyimpan bibit berbagai jenis pohon, seperti ulin (Eusideroxylon zwageri), belangeran (Shorea balangeran), nyatoh atau nagasari (Palaquium rostratum), gaharu (Aquilaria malaccensis), dan berbagai macam buah-buahan.
Tempat penyemaian dilindungi jaring hitam atau yang disebut paranet untuk naungan bibit. Di bawah paranet itu ada Samsu atau biasa disapa Isam (39), Manajer Friends of National Park Foundation (FNPF) yang sedang jongkok sambil memberi penjelasan kepada salah satu mahasiswa tentang gaharu.
”Ini pohon kayu wangi, harganya mahal. Ada bagian batangnya yang kami sebut kanker seperti tonjolan, nah itu yang dipanen untuk jadi parfum,” jelas Isam, disambut anggukan mahasiswa di hadapannya.
Isam kemudian mengajak beberapa mahasiswa berkelompok untuk melihat tempat mereka menanam setidaknya 3.500 bibit gaharu. Jaraknya sekitar 1 kilometer dari pondok utama Jerumbun.
Kalau diingat masa, itu memang kelam, tapi semua yang pernah melakukannya kini berbalik menjadi penjaga hutan.
Devin (24), salah satu anggota staf FNPF, mencoba menjelaskan cara kerja mereka menanam bibit gaharu. Tiap bibit punya perlakuan berbeda, dan gaharu salah satu yang paling sulit ditanam.
Pembibitan awal jadi permulaan yang penting, khususnya saat bibit dipindah ke polybag. Jika ada daun yang mati, perlu proses penyulaman.
”Kalau sudah bertahan (yang disulam) sampai dipindah ke tanah, (bibit pohon itu) sudah bisa hidup,” kata Devin.
Basuki Budi Santoso (50), salah satu inisiator hutan Jerumbun, punya cara lain dalam menjelaskan soal menanam. Ia terlihat seperti berbicara kepada bibit sebelum ditanam, seperti merapal doa.
”Cara pertama menanam pohon itu dengan mengenalnya, minimal nama Latinnya tahu,” kata Basuki yang sekali lagi dibalas anggukan sebagian mahasiswa.
Jejak pilu
Di tengah penjelasan kepada mahasiswa, dari kejauhan, dua pasangan suami istri asal Jerman tiba. Mereka datang bersama pemandu wisata, lalu keduanya ikut bergabung.
Melihat itu, Isam menghela napas sambil garuk-garuk kepala. Kedatangan Hans (66) dan istrinya, Kristen (63), artinya memulai penjelasan dari awal lagi. Ia kemudian meminta Hendri (48), anggota staf FNPF lainnya, menemani dua wisatawan asing itu.
Hendri dengan sigap menemani tamu jauh itu. Mereka diajak membaca beberapa papan informasi yang tergantung di dapur. Setelah itu, Hans-Kristen diajak menanam pohon di Jerumbun.
Bagi banyak aktivis FNPF, tempat itu istimewa. Dulu, kawasan itu adalah lahan penambangan emas ilegal. Rumput-rumput liar tumbuh di sana-sini. Kawasan berpasir itu disebut kerangas.
Kerangas merupakan salah satu bagian di dalam tanah gambut. Munculnya kerangas menunjukkan tanah gambutnya sudah dirusak bahkan hilang.
Di sana, Isam, Hendri, dan beberapa anggota staf lainnya pernah menjadi petambang. Di tempat itu, segala bentuk kerusakan terjadi. Setelah pohon ditebang, mereka menggunakan merkuri untuk mendapatkan emas. Namun, setelah emas didapat, sisa merkuri mencemari air dan manusia yang ada di sekitarnya.
”Kalau diingat masa itu, memang kelam, tapi semua yang pernah melakukannya kini berbalik menjadi penjaga hutan,” ungkap Basuki.
Akan tetapi, tantangan menyelamatkan alam tidak berhenti di sana. Setelah Jerumbun perlahan pulih, giliran kebakaran menghanguskan TNTP di tahun 2015. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut, setidaknya ada 2.366 titik api melalap lebih kurang 91.000 hektar. Itu kurang lebih setara luas DKI Jakarta ditambah Kota Bekasi, Jawa Barat.
Ironisnya, sekitar 7.000 hektar lahan yang terbakar berada di luar kawasan TNTP yang juga memiliki kekayaan keanekaragaman hayati termasuk Jerumbun. Setidaknya, 14 ha kawasan Jerumbun dari total 104 ha dilalap api.
Beruntung, tangan-tangan telaten para pengurusnya perlahan mengembalikan hijau di sana. Jerumbun yang terbakar itu sudah rimbun kembali setelah ditanami puluhan ribu pohon.
Sekarang, Jerumbun bahkan menjadi tempat kunjungan ekowisata dan hutan pendidikan, tempat kehidupan baru dimulai dari menanam pohon. Kehadirannya meninggalkan banyak kesan baik bagi yang datang.
Iis Susilawati (21), mahasiswa Universitas Antakusuma, misalnya, pulang dengan bahagia. Dia membawa pengalaman dan pengetahuan baru untuk menjaga Bumi dari tempat yang dulu pernah rusak itu.
Beruntung, tangan-tangan telaten para pengurusnya perlahan mengembalikan hijau di sana. Jerumbun yang terbakar itu sudah rimbun kembali setelah ditanami puluhan ribu pohon.
”Tempatnya nyaman banget, jadi selalu ingin kembali ke sana,” ujarnya.
Semua orang punya masa lalunya masing-masing. Namun, siapa saja berhak menulis kisahnya di masa depan. Jerumbun dan orang-orang yang memperjuangkannya sudah menorehkan bukti.