Partisipasi Sekolah Usia Dini di Papua Terendah
Partisipasi pendidikan anak usia dini di Papua 12 persen pada 2022 alias terendah nasional.
JAYAPURA, KOMPAS — Partisipasi pendidikan anak usia dini atau PAUD di Papua tercatat terendah nasional. Kondisi ini harus segera dibenahi demi menopang kualitas literasi dasar anak-anak berimbang dari barat hingga timur.
”Masalah ini membuat kondisi pendidikan di Papua semakin kompleks, khususnya dalam literasi dasar. Angka partisipasi PAUD rendah,” kata Aminuddin Mohammad Ramdan, Kepala Kantor Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) Perwakilan Papua, di Jayapura, Papua, Rabu (21/2/2024).
Ia melanjutkan, persoalan itu terus berlanjut seusai anak-anak memasuki sekolah dasar. Persoalan lain terjadi di antaranya proses belajar mengajar tidak maksimal karena guru tak rutin hadir.
Jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi murni pendidikan usia dini di Papua pada 2022 terendah. Nilainya jauh di bawah rata-rata nasional. Partisipasi pendidikan di tingkat usia dini di Papua tercatat hanya 12 persen, sedangkan di rata-rata nasional mencapai 36 persen.
Baca juga: Keterampilan Dasar Literasi Siswa Indonesia Rendah
Staf spesialis pendidikan Unicef Perwakilan Papua, Pria Santri Beringin, mengungkapkan, pendidikan anak usia dini diperlukan. PAUD menjadi proses awal kesiapan anak memasuki sekolah dasar. Pada tingkat PAUD, jenis pendidikan bisa berupa taman kanak-kanak, kelompok bermain, hingga tempat penitipan anak.
PAUD menjadi fase krusial yang memengaruhi anak pada tiga tahun pertama di sekolah dasar. Berdasarkan data Unicef yang diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional 2021, secara nasional sebanyak 93 persen anak yang sempat menempuh pendidikan PAUD lebih bisa membaca pada jenjang awal sekolah dasar.
Sementara itu, di Papua, sebanyak 85 persen anak yang bersekolah PAUD lebih bisa membaca pada jenjang awal tersebut. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidak masuk PAUD, yakni sebesar 68,41 persen.
”Kemampuan literasi ini sangat penting dalam menyesuaikan kemampuan lain anak di Papua yang selama ini selalu dianggap kesulitan mengejar ketertinggalan dari daerah lain,” ucap Santri.
Sejak 2010, Unicef telah menguatkan literasi anak di sejumlah daerah Papua, seperti Paniai, Yahukimo, hingga Mamberamo Raya. Salah satu programnya berfokus pada penguatan keterampilan mengajar guru dan partisipasi orangtua. Santri menyebut, hal ini bisa menjadikan anak tertarik ke sekolah formal serta meningkatkan kesadaran orangtua memasukkan anak di pendidikan usia dini.
Dalam riset Myriad Research menunjukkan, ada peningkatan kemampuan membaca anak dengan intervensi yang dilakukan Unicef. Di Paniai, misalnya, pada pemantauan awal 2022 sebanyak 64 persen anak sekolah tidak bisa membaca. Namun, dengan pendekatan program dari Unicef ini, angka tersebut turun menjadi 48 persen pada 2023.
”Dengan program ini, kami melatih guru untuk mengajar dengan pendekatan yang lebih fleksibel. Pengenalan pada huruf dan angka dilakukan dengan hal yang menyenangkan, seperti bermain dan bernyanyi,” ujar Santri.
Baca juga: Anak Putus Sekolah di Papua Mencapai 314.606 Jiwa
Aksesibilitas dan pengaruh sosial
Di sisi lain, lanjut Santri, rendahnya partisipasi sekolah anak tidak terlepas dengan kompleksitas masalah di Papua. Salah satu yang cukup krusial ialah aksesibilitas. Hal ini tentu akan memengaruhi minat guru-guru untuk mengabdikan diri, khususnya di wilayah pedalaman yang sulit dijangkau.
Selain itu, hambatan lainnya berkaitan dengan norma sosial masyarakat di wilayah pedalaman. Menurut Santri, perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk memprioritaskan pendidikan tingkat usia dini.
Komitmen pemerintah akan memastikan Papua bisa melakukan lompatan besar.
Lebih dari itu, dalam memaksimalkan program, kata Santri, Unicef membutuhkan komitmen dari pemerintah. Komitmen tersebut dalam wujud penganggaran yang berkelanjutan.
”Tetapi, perlu diingat kami hanya memberikan model sehingga jangkauannya kecil. Dengan begitu, ini seharusnya bisa dijalankan daerah dengan mengadopsi model yang kami tawarkan. Komitmen pemerintah akan memastikan Papua bisa melakukan lompatan besar,” katanya.
Hal ini menjadi penting untuk memaksimal potensi anak di Papua dalam mengatasi ketertinggalan, misalnya indeks pembangunan manusia (IPM). IPM Papua pada 2022 sebesar 61,39 persen, berada di bawah rata-rata nasional 73,77 persen. Angka tersebut bahkan seakan tertinggal sedekade dengan IPM di kawasan barat Indonesia pada 2012, misalnya Jawa Barat (67,32 persen).
Sinkronisasi kebijakan
Kepala Bidang Sosial Budaya Badan Perencanaan Daerah Papua Jimmy Thesia mengungkapkan, selama ini pendidikan usia dini belum mendapatkan perhatian maksimal dari pemerintah. Hal ini tidak terlepas karena sebelumnya kebijakan rencana pembangunan nasional dan daerah belum sinkron.
Baca juga: Pendidikan di Usia Dini Memengaruhi Tingkat Kesejahteraan Anak
”Misalnya pada literasi dan numerasi, selama ini dokumen ini tidak pernah masuk dalam rencana kerja pembangunan daerah. Dokumen rencana pembangunan daerah biasanya disusun terlebih dahulu, kemudian pembangunan nasional belakangan. Namun, sekarang dengan mulai adanya sinkronisasi, kami harapkan hal ini bisa diperbaiki,” ucapnya.
Jimmy mengungkapkan, dengan kebijakan anggaran otonomi khusus yang dilimpahkan langsung pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi bisa mengkoordinasi untuk memastikan penganggaran, termasuk pada pendidikan usia dini.
”Jadi, koordinasi ini penting untuk melihat mana yang bisa dikerjakan provinsi dan yang dikerjakan kabupaten/kota. Misalnya, dalam memastikan aksesibilitas dan kenyamanan tenaga pendidik. Dengan pembagian fokus ini diharapkan mampu memperbaiki ketertinggalan yang ada,” ujarnya.