Banjir Demak Berangsur Surut, Pengungsi Mulai Kembali ke Rumah
Sebagian pengungsi banjir di Demak, Jateng, mulai kembali ke rumah. Pencegahan banjir menjadi tanggung jawab bersama.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
DEMAK, KOMPAS — Banjir yang merendam sejumlah wilayah di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sejak Jumat (9/2/2024) berangsur surut pada Senin (19/2/2024). Sebagian warga yang sempat mengungsi sudah mulai kembali ke rumah masing-masing.
Sebanyak 45 desa di delapan kecamatan di Demak dilanda banjir akibat jebolnya belasan tanggul sungai dan saluran air tersier, Kamis. Dari belasan tanggul yang jebol, dua di antaranya memiliki panjang jebolan paling parah, yakni 25 meter dan 34 meter. Dua titik tanggul jebol parah itu berada di Sungai Wulan yang masuk wilayah Kecamatan Karanganyar.
Bencana itu membuat permukiman yang dihuni sekitar 84.000 jiwa terendam air dengan ketinggian mencapai 4 meter. Kondisi itu memaksa lebih dari 20.000 jiwa mengungsi ke ratusan titik pengungsian di Demak dan Kudus. Jalan pantura Demak-Kudus dan sebaliknya pun tak luput dari dampak banjir. Akibatnya, jalur itu lumpuh, tak bisa dilalui selama lebih dari 10 hari.
”Jumlah wilayah yang terendam banjir berkurang dari 45 desa di delapan kecamatan menjadi 25 desa di tiga kecamatan. Jumlah pengungsi juga berkurang menjadi 18.739 jiwa,” kata Kepala Bidang Penanganan Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng Muhamad Chomsul, Senin petang.
Surutnya banjir terjadi karena tanggul yang jebol sudah mulai ditutup. Air yang merendam permukiman warga juga telah disedot dengan puluhan pompa air dengan kapasitas masing-masing 11,48 meter kubik per detik. Pada saat yang sama, pemerintah juga melakukan modifikasi cuaca untuk mencegah hujan, terutama di wilayah hulu Sungai Wulan, sehingga debit air yang masuk tidak terlalu banyak.
Sebagian warga terdampak banjir yang sempat mengungsi memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing karena banjir mulai surut. Sementara itu, sebagian lainnya memilih pulang ke rumah pada siang hari dan kembali ke pengungsian pada malam hari.
”Pagi sampai sore saya pulang ke rumah untuk bersih-bersih rumah. Malamnya, saya berencana kembali ke pengungsian karena rumah belum sepenuhnya bersih dan masih ada genangan dengan ketinggian sekitar 20 sentimeter,” kata Rifki (22), warga Desa Wonoketingal, Kecamatan Karanganyar.
Sudah dilakukan walkthrough, kok, jebol?
Sejak 10 hari terakhir, Rifki dan warga lain di wilayahnya mengungsi di sepanjang jalan pantura Kudus-Demak. Di kawasan itu, mereka mendirikan tenda menggunakan terpal untuk berteduh dari panas ataupun hujan.
Rifki mengaku banjir yang terjadi di wilayahnya itu baru pertama kali terjadi, setidaknya sejak 50 tahun terakhir. Ia dan orang-orang di lingkungannya tidak pernah menyangka kawasan permukiman mereka yang berjarak sekitar 6,2 kilometer dari titik tanggul jebol itu terendam banjir.
”Awalnya, kami tidak siap dengan adanya banjir itu karena selama ini wilayah kami bukan daerah rawan banjir. Tetapi, mungkin karena saat itu hujan sangat deras ditambah tanggul-tanggul sungai yang jebol, jadi wilayah kami ikut terdampak,” ujar Rifki.
Ia berharap, ke depan, pemerintah bisa mewujudkan janjinya untuk memperkuat tanggul-tanggul dengan cara dibeton. Dengan demikian, ke depan, warga tidak lagi waswas tanggul-tanggul sungai jebol.
Harapan serupa diungkapkan Sekretaris Daerah Demak Akhmad Sugiharto dalam rapat koordinasi dengan pihak-pihak terkait, Senin petang. ”Kami sudah menyampaikan supaya tanggul-tanggul sungai di titik rawan, terutama di tikungan-tikungan itu, diperkuat,” katanya.
Selain perkuatan tanggul, Sugiharto juga berharap agar sedimentasi di sungai-sungai diatasi melalui normalisasi. Hal-hal yang berpotensi memperparah sedimentasi, misalnya alih fungsi lahan di bagian hulu, juga diharapkan bisa dikontrol.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Jateng Eko Yunianto mengatakan, pihaknya telah melakukan walkthrough atau susur sungai pada September 2023. Kegiatan itu untuk memetakan kondisi tanggul-tanggul, termasuk di Sungai Wulan. Tanggul-tanggul yang tanahnya merekah akibat kemarau panjang telah diisi dengan tanah merah agar tidak kemasukan air saat hujan yang memicu longsor.
”Sudah dilakukan walkthrough, kok, jebol? Hal itu karena dinamika perubahan di alur sungainya sangat tinggi. Kami sudah berupaya,” tutur Eko.
Menurut Eko, pencegahan banjir seperti yang terjadi di Demak tidak bisa dilakukan satu pihak saja, tetapi memerlukan peran dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Pemerintah dan masyarakat di wilayah hulu, misalnya, diminta mengawasi dan memastikan agar wilayah itu ditanami tanaman keras yang bisa menangkap air hujan. Tanaman keras diyakini mampu menahan longsoran tanah yang berpotensi memperparah sedimentasi sungai, yang mengurangi daya tampung sungai.
Eko menambahkan, pihaknya bekerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota turut berperan dalam mengatur irigasi air di permukiman. Irigasi yang tidak berfungsi maksimal akan membuat banjir kian parah. Seperti yang terjadi di sejumlah desa di Karanganyar, air tidak bisa keluar dari permukiman karena saluran irigasi tidak berfungsi optimal.
”Perjalanan air dari suatu tempat ke tempat lain juga kami pantau. Air dari mana akan sampai di mana dalam waktu berapa lama, itu semua kami informasikan kepada publik sehingga potensi bencana bisa ditekan,” kata Eko.