”Gulo Puan”, Kudapan dari Susu Kerbau Rawa Kegemaran Raja Palembang
”Gulo puan” menjadi kudapan raja-raja Palembang karena dahulu hanya orang berada atau penguasa yang bisa menikmatinya.
Meski berada sekitar 60 kilometer atau lebih kurang 2 jam ke arah tenggara dari Palembang, Sumatera Selatan, Desa Bangsal di Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, itu memiliki arti penting dalam sejarah kuliner di kalangan bangsawan keturunan penguasa kerajaan di Palembang. Desa Bangsal adalah tempat lahirnya gulo puan, camilan dari olahan susu kerbau rawa Pampangan yang dijuluki ”Kudapannya Raja-raja Palembang”.
Usai menerima pasokan susu kerbau sekitar 2,5 liter dari menantunya, Paisol (44), di salah satu rumah di Desa Bangsal, Kamis (7/12/2023), Masnah (60-an tahun) lekas menyiapkan wajan, kompor gas, gas LPG 3 kilogram, ember kecil, dan gula pasir 0,5 kg. Kemudian, Masnah mencampur susu kerbau dan gular pasir di ember kecil.
Baca juga: Kerbau Rawa Pampangan, Pemantik Pelestarian Lingkungan
Setelah itu, Masnah menuangkan adonan yang sudah tercampur rata tersebut ke dalam wajan. Dia pun mulai mengaduk adonan itu secara perlahan dengan spatula. Api kompor sengaja disetel antara kecil dan sedang karena proses masak harus dilakukan secara bertahap berkisar 1-2 jam. Di sela proses itu, Masnah menyempatkan berberes rumah dan menyiapkan makanan sehari-hari.
Setelah melihat adonan susu kerbau dan gula itu mulai mengental, Masnah kembali fokus mengaduknya secara perlahan. Dia terus mengaduk hingga campuran susu kerbau dan gula itu kering kasar dengan warna kecokelatan. Sekilas teksturnya mirip gula aren tetapi dengan warna lebih pucat.
Hasil masakan itulah yang disebut gulo puan. Camilan itu berasal dari dua suku kata, gulo yang artinya gula atau manis dan puan yang artinya susu. Maksudnya, gula susu atau manisan dari susu. Sebagaimana maknanya, gulo puan berfungsi sebagai pemanis untuk kudapan lain, seperti roti atau pisang goreng. Tak jarang, gulo puan menjadi teman untuk minum teh atau kopi. Ada juga yang memakan gulo puan begitu saja.
Masnah mengatakan, membuat gulo puan menjadi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun kepada para perempuan di Desa Bangsal. Setidaknya, Masnah mendapatkan ilmu membuat gulo puan dari ibunya dan neneknya. ”Ibu dan nenek saya belajar membuat gulo puan dari nenek puyang (leluhur yang lebih tua),” ujar ibu lima anak tersebut.
Perempuan disarankan bisa membuat gulo puan karena praktis dan tidak butuh waktu terlalu lama.
Modal menikah
Masnah diajarkan membuat gulo puan menjelang pernikahannya dengan Junaidi (70an) pada 1979. Salah satu tujuannya agar bisa menambah pemasukan keluarga atau membantu suami tanpa mengganggu tanggung jawab istri dalam keluarga.
”Kalau di Palembang, perempuan yang mau menikah harus bisa membuat songket agar bisa membantu suami. Kalau di sini, perempuan disarankan bisa membuat gulo puan karena praktis dan tidak butuh waktu terlalu lama sehingga bisa diselingi dengan mengerjakan urusan rumah tangga lainnya,” ujarnya.
Secara penghasilan, gulo puan cukup menjanjikan. Sebagai contoh, untuk menghasilkan 1 kg gulo puan, bahan yang dibutuhkan adalah 2,5 liter susu kerbau seharga Rp 62.500 (Rp 25.000 per liter) dan 0,5 kg gula pasir seharga Rp 8.000 (Rp 16.000 per kg). Selain itu, gas LPG 3 kg seharga lebih kurang Rp 20.000 per tabung tetapi bisa digunakan memasak dalam dua hingga tujuh hari ke depan.
Dengan modal produksi sekitar Rp 70.500, harga jual 1 kg gulo puan bisa menembus Rp 120.000 yang artinya ada keuntungan lebih kurang Rp 49.500. Itu belum dihitung keuntungan dari penjualan produk turunan yang dihasilkan saat memasak gulo puan, yakni minyak samin seharga Rp 200.000 per kg dan mentega seharga Rp 80.000 per kg. Namun, butuh proses masak berulang kali atau dalam jumlah besar untuk menghasilkan 1 kg minyak samin dan 1 kg mentega.
Baca juga: Populasi Kerbau Rawa Terus Turun, Program Inseminasi Buatan Diperlukan
”Keuntungan dari gulo puan itu ditabung untuk kebutuhan mendesak, seperti kebutuhan anak sekolah, sedekah menikahkan anak, atau memberi cucu. Keuntungannya lumayan membantu penghasilan suami yang sehari-hari berkebun (karet) dan bertani (padi),” kata Masnah.
Ditunggu konsumen
Menurut Direktur Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Teratai Indah Husin, gulo puan itu pasti laku karena sebelum diproduksi sudah dipesan oleh agen ataupun konsumen di Palembang. Lagi pula, produksi gulo puan dimonopoli atau hanya dibuat oleh perajin di Desa Bangsal dan tetangganya, Desa Kuro dan Desa Pulau Layang, serta salah satu desa di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin. Namun, Desa Bangsal dan Desa Kuro adalah tempat asal gulo puan.
Di Palembang, gulo puan biasa dijajakan oleh agen di halaman Masjid Agung Palembang di sela shalat Jumat dan selalu jadi rebutan konsumen. Tidak jarang, gulo puan dipesan oleh agen ataupun konsumen di luar Sumsel. Gulo puan yang ”diekspor” itu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat keturunan Palembang di luar Sumsel atau masyarakat luar Sumsel yang penasaran mencicipinya.
”Penggemar gulo puan umumnya orang-orang keturunan bangsawan Palembang atau orang Arab-Palembang yang tinggal di Sumsel ataupun luar Sumsel. Permintaannya cukup tinggi yang sering kali membuat kami kewalahan memenuhinya. Itu karena produksi gulo puan sangat dipengaruhi hasil susu kerbau yang ditentukan faktor cuaca, susu kerbau minim saat musim kemarau dan berlimpah saat musim hujan,” tutur Husin.
Baca juga: Gambut Sumatera Selatan Kian Merana
BUMDes turut membantu meningkatkan nilai jual gulo puan. Salah satu terobosan mereka adalah membenahi cara pengemasan dari sebelumnya hanya menggunakan plastik bening atau kantong kresek menjadi kemasan khusus dengan beragam ukuran dan diberi label. Melalui Dinas Koperasi, UKM, dan Perindustrian Ogan Komering Ilir, dua tahun lalu, BUMDes membantu gulo puan mendapatkan label halal guna meningkatkan nilai jual.
Segenap usaha itu membuat harga jual gulo puan terangkat dari Rp 90.000-100.000 per kg menjadi Rp 120.000 per kg. ”Bersama perangkat desa lainnya, kami juga berusaha agar gulo puan bisa menghasilkan produk turunan lain yang menyesuaikan perkembangan selera pasar, seperti yogurt, fla/puding, permen, dan sabun atau produk kecantikan,” ujar Husin.
Merekam sejarah
Kepala Desa Bangsal Angkut Join menuturkan, gulo puan adalah kudapan yang ikut merekam sejarah Desa Bangsal hingga saat ini. Desa Bangsal adalah desa tertua kedua di Pampangan setelah Desa Kuro. Keberadaan dua desa itu tidak lepas dari kehadiran utusan penguasa dari Palembang yang diyakini di era Kesultanan Palembang Darussalam (abad XVII-XIX).
Para utusan itu diduga diperintahkan untuk berburu rusa di kawasan Pampangan yang notabene berasal dari kata pelampangan atau tempat berburu. Karena merasa nyaman, mereka akhirnya memilih tinggal di sana sehingga lahirlah Desa Kuro yang menjadi kemargaan pertama di Pampangan. Versi lainnya, utusan itu diduga mundur untuk menghindari konflik yang ada di Palembang.
Baca juga: Harga Mahal Daging Kerbau Impor
Belakangan, berdiri Desa Bangsal yang diyakini menjadi bangsal atau tempat menambatkan kapal ataupun perahu para utusan itu saat pertama kali tiba di Pampangan usai menyusuri sungai dari Palembang. Selama di sana, para utusan mengenal gulo puan yang sudah lama dibuat oleh perajin di Desa Kuro dan Desa Bangsal.
Dahulu, kerbau hanya dimiliki orang-orang berada dan produk dari hasil susu kerbau, yaitu gulo puan juga cuma bisa dinikmati orang-orang berada. Para utusan itu diduga membawa gulo puan itu untuk dipersembahkan kepada penguasa di Palembang dan digemari hingga sekarang.
Konon, penguasa di Palembang memerintahkan para perajin gulo puan menjaga tradisi membuat kudapan tersebut. Perintah itu terus dipertahankan walau tidak ada lagi sistem kerajaan. ”Itu yang mungkin membuat gulo puan dikenal sebagai kudapannya raja-raja Palembang,” kata Angkut.
Terancam punah
Hanya saja, tradisi membuat gulo puan kian terancam seiring dengan berkurangnya populasi kerbau rawa di Pampangan karena menyusutnya padangan atau hamparan rumput liar untuk pakan ternak. Itu akibat alih fungsi lahan oleh pembukaan perkebunan sawit sejak 1999 dan program cetak sawah mulai 2009/2010.
Sejak dahulu, masyarakat di Pampangan mampu bertahan hidup dengan kearifan lokal yang ada, antara lain dari hasil susu kerbau.
”Sejak dahulu, masyarakat di Pampangan mampu bertahan hidup dengan kearifan lokal yang ada, antara lain dari hasil susu kerbau, seperti gulo puan. Harusnya, pemerintah menjaga kekhasan itu dengan mengintervensi pengembangan pembangunan yang sesuai kearifan tersebut,” tegas Riza Darma Putra, fasilitator dari Yayasan Masyarakat Berdaya sekaligus dosen komunikasi Universitas Pancasila, Jakarta.
Pemerhati sejarah Palembang, Yudhy Syarofie, menyampaikan, gulo puan adalah salah satu dari sedikitnya total 280 jenis kuliner asli Palembang. Dewasa ini, hanya 30 persen dari total kuliner tersebut yang masih eksis. Sisanya, nyaris punah dan sudah punah. Salah satu faktornya adalah bahan baku yang langka atau tidak ada sama sekali.
Boleh jadi, gulo puan tinggal kenangan di masa depan kalau tidak dirawat bersama-sama oleh masyarakat dan pemerintah. Kalau terjadi, itu sangat disayangkan karena gulo puan menyimpan cita rasa yang dahulu hanya bisa dikecap oleh raja-raja Palembang.