Kerbau Rawa Pampangan, Pemantik Pelestarian Lingkungan
Kerbau rawa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat Pampangan.
Tradisi beternak kerbau rawa terus bertahan sejak era kerajaan hingga kini di sejumlah desa di Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan pun terbangun demi menjaga habitat rumpun kerbau lokal asli Indonesia tersebut.
Sebelum mentari menyongsong dari ufuk timur, Kamis (7/12/2023), Paisol (44) beranjak dari rumahnya di Desa Bangsal, Pampangan, untuk menuju kompleks kandang di Pulau Tapus. Gemuruh suara mesin perahu ketek memecah keheningan pagi saat menyusuri Sungai Lubuk Sekayan yang menghubungkan desa ke kompleks kandang tersebut.
Baca juga: Populasi Kerbau Rawa Terus Turun, Program Inseminasi Buatan Diperlukan
Sesampai di kandang, 50 ekor kerbau rawa ternaknya sudah menanti untuk keluar kandang. Namun, Paisol tidak lekas melepas mereka. Dia lebih dahulu membersihkan kotoran di kandang dengan menumpuknya di pundak sejumlah kerbau. ”Nanti, kotoran itu jatuh di sungai dan padangan (hamparan rumput liar) yang menjadi pupuk alami untuk menyuburkan kembali rerumputan,” ujar Paisol.
Setelah itu, barulah Paisol membuka pintu kandang. Seketika, kerbau-kerbau itu melompat dan berlarian keluar kandang. Suara langkah kaki dan teriakan kegirangan mengiringi perjalanan kawanan satwa bernama latin Bubalis carabauesis itu menuju pinggiran sungai.
Tanpa ragu, satu per satu kerbau masuk ke sungai. Mereka berenang dengan andal untuk menyeberangi sungai selebar lebih kurang 100 meter tersebut. Tak sampai lima menit, semuanya tiba di sisi sungai yang berbeda. Kerbau-kerbau itu pun lekas menuju padangan yang menjadi sumber pakan mereka sehari-hari.
”Kerbau rawa Pampangan suka sekali berenang. Kalau musim banjir (semua padangan tergenang air biasanya selama Januari-Maret), mereka bisa berenang berjam-jam dan menyelam untuk memakan rerumputan di dasar air,” ujar M Ali Hanapiah, Sekretaris Desa Bangsal yang mendampingi Kompas dan Pantau Gambut.
Kerbau rawa Pampangan suka sekali berenang. Kalau musim banjir, mereka bisa berenang berjam-jam dan menyelam untuk memakan rerumputan di dasar air.
Hadiah alam
Keberadaan kerbau rawa seolah hadiah dari alam untuk masyarakat Pampangan, terutama di Desa Bangsal. Mereka memiliki bakat alami untuk berenang dan menyelam. Karena itu, mereka mudah beradaptasi dengan lingkungan Pampangan yang mayoritas berupa lebak atau rawa dan tergenang air hampir sepanjang tahun kecuali saat kemarau ekstrem.
Mudah dalam beradaptasi membuat kerbau rawa relatif murah dan mudah diternakkan. Para peternak cukup melepas kerbau sesuai jadwal kebiasaan pada pukul 06.00-07.00 dan mereka akan keluar untuk mencari sendiri pakan di lingkungan sekitar. Menjelang mentari tenggelam, kerbau itu seolah memiliki alarm diri untuk bergegas kembali ke kandang.
”Kalau belum pulang, kita cukup teriak saja dan mereka pasti bergerak pulang,” kata Ali yang memelihara 15 ekor kerbau.
Bukan hanya itu, faktor utama yang membuat kerbau rawa begitu identik dengan Pampangan karena mereka bagian tak terpisahkan dari rantai kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Susu hewan pemamah biak itu menjadi sumber pendapatan harian peternak.
Peternak bisa mendapatkan sekitar 1 liter susu per ekor per hari. Susu itu pasti laku dijual karena ada perajin atau pembuat gulo puan yang membutuhkannya. Adapun gulo puan adalah produk turunan susu kerbau yang menjadi komoditas unggulan Desa Kuro dan Desa Bangsal, dua desa paling tua di Pampangan, yang konon ada sejak era Kesultanan Palembang Darussalam abad XVII-XIX.
Baca juga: Gambut Sumatera Selatan Kian Merana
Susu dihargai Rp 20.000 per liter. ”Uang dari jual susu itu yang digunakan untuk membeli kebutuhan keluarga sehari-hari. Kalau memang ada kebutuhan mendesak, seperti untuk menyekolahkan atau menikahkan anak, kerbaunya yang dijual,” tutur Gunadi (46), peternak Desa Bangsal yang memiliki 20 ekor kerbau.
Bagi perajin gulo puan, susu kerbau sangat berarti untuk merawat tradisi membuat panganan yang dijuluki ”Kudapan Para Raja Palembang” tersebut. Itu karena gulo puan hanya bisa dibuat dari susu kerbau rawa Pampangan, satwa yang ditetapkan oleh keputusan menteri pertanian sebagai rumpun kerbau lokal asli Indonesia pada 2013.
Proses produksi gulopuan relatif sederhana. Selain susu kerbau, bahan baku lain hanya gula pasir. Kedua bahan dicampur dan diaduk merata di wajan berapi sedang selama 1-2 jam. Meski demikian, kudapan yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada 2021 itu sangat disukai oleh masyarakat keturunan bangsawan Palembang dan keturunan Arab-Palembang hingga kini.
Gulo puan biasanya dijual di halaman Masjid Agung Palembang setiap hari Jumat. Nilai jualnya cukup tinggi, mencapai Rp 120.000 per kilogram. ”Keahlian membuat gulo puan diwariskan saat anak perempuan akan menikah. Hasil penjualan biasanya untuk membantu suami membeli kebutuhan sehari-hari dan sisanya ditabung,” ujar perajin gulo puan di Desa Bangsal, Masnah (60-an).
Baca juga: Harga Mahal Daging Kerbau Impor
Kotoran kerbau rawa pun tidak terbuang begitu saja. Dari pelatihan yang diberikan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove serta Universitas Sriwijaya pada 2020, kelompok peternak mampu mengolah kotoran kerbau menjadi pupuk organik yang teruji bisa membantu mengoptimalkan pertumbuhan tanaman hortikultura. Karena belum memiliki izin jual, pupuk itu diberikan gratis kepada warga.
Kotoran juga bisa disulap menjadi biogas. Walau tidak berlangsung lama karena keterbatasan peralatan, biogas sempat digunakan untuk memasak dan menyalakan penerangan di Balai Pelatihan Ulak Kuto, Desa Bangsal.
”Beberapa tahun terakhir, keunikan kerbau rawa dan alam di Pampangan mulai menyedot wisatawan dari dalam maupun luar Sumsel. Kami melihat pariwisata bisa menjadi sumber pendapatan masa depan di sini,” kata Kepala Desa Bangsal Angkut Join.
Melestarikan lingkungan
Berkah dari kerbau rawa memantik masyarakat untuk menjaga lingkungan habitat satwa yang pada 2016 ditetapkan oleh Badan Standardisasi Indonesia sebagai bibit unggul tersebut. Saat berkunjung selama dua hari di Desa Bangsal, suasana asri begitu terasa. Padahal, desa itu hanya berjarak 60 kilometer atau 1 jam 30 menit ke arah tenggara dari Palembang.
Di Desa Bangsal dan desa-desa di sekitarnya, udara masih bersih, banyak pohon hijau, dan sungai berair jernih. Menurut data Pantau Gambut, Desa Bangsal terbebas dari kebakaran lahan saat masa puncak munculnya titik api di Sumsel pada September-Oktober 2023.
”Kalau ada yang membuka lahan dengan membakar, kerbau-kerbau di sini bisa mati. Selain rerumputan, kerbau-kerbaunya pun bisa hangus terbakar,” tegas Angkut.
Baca juga: Daging Kerbau Impor Diedarkan Terbatas untuk Efektifkan Pengendalian Harga
Angkut mengatakan, dari total lebih kurang 560 jiwa penduduk Bangsal, sekitar 40 persen berprofesi sebagai peternak kerbau yang diwariskan secara turun-temurun. Jumlah kerbau di Desa Bangsal mencapai 310 ekor atau terbanyak kedua dari total 1.466 ekor di enam desa di Pampangan per 28 November 2023. Sisanya, profesi masyarakat di sana adalah perajin gulo puan, petani, pekebun, dan nelayan.
Maka itu, masyarakat Desa Bangsal memiliki kesadaran tinggi bahwa kelestarian lingkungan sangat memengaruhi keseimbangan hidup mereka. Saat rawa beralih fungsi, itu bisa membunuh keberlanjutan peradaban kerbau rawa yang diyakini ada di Desa Bangsal ataupun Pampangan jauh sebelum era Kesultanan Palembang Darussalam.
Tak pelak, masyarakat Desa Kuro dan Desa Bangsal tidak termakan bujuk rayu saat investor mulai masuk untuk membangun perkebunan sawit pada 1999. Mereka juga menolak keras program cetak sawah yang dilakukan pemerintah di desa-desa penyanggah mulai 2009/2010.
Kedua hal itu turut memengaruhi populasi kerbau di Pampangan. Cetak sawah, misalnya, program itu membuat padangan menyusut sehingga populasi kerbau menghilang hingga 40 persen dalam 13 tahun terakhir. ”Kalau tidak ada padangan, bagaimana kerbau mau hidup. Apalagi kebutuhan pakan kerbau mencapai 50 kilogram per ekor per hari,” tutur Angkut.
Baca juga: Sensasi Soto Kerbau Khas Kudus
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Ogan Komering Ilir Hadi Oktarisman menuturkan, upaya merawat tradisi beternak kerbau rawa di Pampangan butuh keterlibatan lintas sektor. Oleh karena itu, perlu kolaborasi, khususnya antara pemerintah kabupaten dan provinsi serta swasta, untuk mempertahankan tradisi tersebut.
”Kita harus bisa meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan dari kerbau, mulai dari nilai jual susu, gulo puan, hingga dagingnya. Kalau masyarakat merasakan manfaat yang lebih besar, mereka pasti tidak terpengaruh untuk beralih ke sektor lain, seperti pertanian dan perkebunan,” ucap Hadi.
Riza Darma Putra, fasilitator dari Yayasan Masyarakat Berdaya sekaligus dosen komunikasi Universitas Pancasila, Jakarta, menyampaikan, Pampangan punya modal untuk terus merawat tradisi beternak kerbau rawa.
Setidaknya, masih ada masyarakat dan tokoh-tokoh penggerak yang ingin mempertahankan peradaban tersebut. Tinggal pemerintah yang harus hadir untuk memastikan tradisi itu berlanjut. Rencana modernisasi penting, tetapi tidak boleh mengubah ekosistem yang ada.