Masyarakat Nelayan Kutai Kartanegara Jaga Kesehatan Warga dengan Rp 10.000
Nelayan di Kutai Kartanegara mengumpulkan iuran membantu warga sakit. Mereka membentuk Forum Masyarakat Sehat.
Oleh
SUCIPTO
·6 menit baca
Lantaran tinggal di tepi danau dan jauh dari rumah sakit, masyarakat nelayan di Kutai Kartanegara mengumpulkan iuran untuk membantu warga sakit dan harus dirujuk ke RS. Negara sudah menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat di sana. Namun, kemandirian warga ikut menyelamatkan nyawa orang di sekitarnya.
Juhar ingat betul air matanya menetes saat melayat ke rumah duka salah satu warganya yang meninggal pada akhir 2014. Saat itu, ia menjabat sebagai Kepala Desa Muara Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Salah satu warganya itu meninggal karena tak pergi ke rumah sakit meskipun sudah mendapat surat rujukan dari puskesmas pembantu di desa.
”Mereka tak punya ongkos untuk ke rumah sakit terdekat di Kecamatan Kota Bangun,” kata pria 65 tahun itu mengenang peristiwa memilukan tersebut, Sabtu (10/2/2024).
Warga yang sakit itu memang tergolong keluarga kurang mampu di kampungnya. Saat ia sakit, keluarganya pun tak memberi kabar ke tetangga sehingga warga lain tak mengetahui kondisinya.
Dari penelusuran Juhar, mendiang warganya itu sebenarnya terdaftar sebagai anggota Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Semestinya mereka tak perlu khawatir dengan biaya rumah sakit.
Saat gejala penyakit awal mulai dirasakan, kata Juhar, warga tersebut pergi ke puskesmas pembantu di desanya. Pihak puskesmas pembantu sudah memberi surat rujukan ke rumah sakit terdekat di Kecamatan Kota Bangun. Kendati demikian, pergi ke luar desa dan membawa orang sakit adalah persoalan rumit bagi warga di Desa Muara Enggelam.
Desa Muara Enggelam terletak di tepi Danau Melintang, salah satu danau terbesar di Kaltim. Warga Desa Muara Enggelam, mayoritas nelayan tradisional, tinggal di rumah kayu di atas air danau.
Rumah mereka ditopang kayu ulin setinggi tujuh meter. Rumah satu dan rumah lain disambungkan jembatan kayu ulin di atas air.
Desa itu tak tersambung dengan daratan. Untuk menuju desa terdekat, misalnya, warga mesti berperahu setidaknya satu jam. Itu butuh ongkos yang tak sedikit.
Untuk dirujuk ke rumah sakit di Kecamatan Kota Bangun, warga harus berperahu sekitar satu jam saat air danau tinggi. Jika air danau surut, waktu tempuh bisa 1,5-2 jam perjalanan.
Setelah itu, mereka mesti sewa mobil atau ojek ke rumah sakit. Perjalanan panjang itu sedikitnya butuh Rp 400.000. Itulah yang menjadi salah satu penyebab utama warganya itu tak bisa berangkat ke rumah sakit: ongkos.
”Dari sana, ternyata ada persoalan ekonomi. Kami dan warga bermusyawarah dan sepakat membentuk Forum Masyarakat Sehat pada 2015,” kata Juhar.
Forum itu dibentuk untuk menghimpun dana warga. Tujuan utamanya, membantu ongkos warga yang sakit dan dirujuk ke rumah sakit. Semula, nominal iuran Rp 5.000 per keluarga setiap bulan.
Namun, sejumlah warga berpendapat nominal itu terlalu kecil. Warga akhirnya sepakat iuran Rp 10.000 setiap bulan per keluarga. Iuran itu dikumpulkan setiap bulan sekalipun tak ada warga yang dirujuk ke rumah sakit di bulan itu.
Terus berkembang
Iuran dalam Forum Masyarakat Sehat itu terus dilanjutkan dan dirasakan manfaatnya oleh warga. Saat ada warga yang dirujuk ke rumah sakit, mereka akan langsung mendapat bantuan ongkos dari iuran yang dikumpulkan Forum Masyarakat Sehat.
”Jadi, kalau dirawat inap, keluarga tinggal memikirkan biaya konsumsi saja saat menjaga orang yang sakit,” kata Doni (33), warga setempat.
Saat Juhar purnatugas sebagai kepala desa pada medio 2023, inisiasi itu dilanjutkan warga bersama kepala desa baru, yakni Madi I (52).
Bagi Madi, pergantian rezim desa hanya persoalan pembagian kesempatan belajar memimpin di desa. Program untuk kemaslahatan warga mesti terus berjalan dan dikembangkan.
Setiap warga yang dirujuk harus meminta tanda tangan dokter sebagai bukti bahwa uang bantuan digunakan sesuai peruntukannya. Selain itu, agar bantuan merata, jika warga sudah mendapat bantuan Forum Masyarakat Sehat, warga tersebut baru bisa mengakses bantuan itu lagi tiga bulan kemudian.
Kini, Madi menjadi Kepala Desa Muara Enggelam dan Juhar menjadi Ketua Forum Masyarakat Desa. Mereka sepakat membangun desa bersama-sama dengan warga. Bahkan, pada tahun 2023, mereka ikut lomba inisiatif desa yang diadakan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara.
”Inisiatif Forum Masyarakat Sehat Desa Muara Enggelam juara satu dan dapat hadiah Rp 300 juta,” kata Madi melalui sambungan telepon.
Kucuran dana segar itu digunakan untuk mengembangkan Forum Masyarakat Sehat. Warga sepakat uang itu digunakan untuk membeli long boat—perahu kayu dengan panjang 10 meter bermesin 40 kali tenaga kuda—dan sebuah mobil tipe low cost green car.
Perahu dan mobil itu digunakan mengantar dan menjemput warga yang dirujuk ke rumah sakit. Dari desa ke dermaga, warga diantar menggunakan perahu. Dari dermaga ke rumah sakit, warga diantar mobil.
Untuk membayar pajak mobil setiap tahun, warga menyewakan mobil tersebut Rp 150.000 per hari kepada warga desa lain. Itu dilakukan agar uang iuran warga tak terpakai untuk biaya operasional kendaraan.
Saat ini, warga diberi bantuan Rp 200.000 dengan surat rujukan rawat jalan, Rp 400.000 bagi warga yang dirujuk ke RS di Kecamatan Kota Bangun, Rp 800.000 bagi warga yang dirujuk ke RS di Tenggarong, dan Rp 1 juta bagi yang dirujuk ke RS Kota Samarinda.
Setiap warga yang dirujuk harus meminta tanda tangan dokter sebagai bukti bahwa uang bantuan digunakan sesuai peruntukannya. Selain itu, agar bantuan merata, jika warga sudah mendapat bantuan Forum Masyarakat Sehat, warga tersebut baru bisa mengakses bantuan itu lagi tiga bulan kemudian.
Madi mengatakan, saat ini saldo iuran warga Rp 16 juta. Itu dilaporkan setiap bulan melalui pengeras suara di masjid desa.
Laporan pengeluaran dan pemasukan juga bisa dilihat di kantor desa. Dengan demikian, 800-an warga yang terdiri dari 195 keluarga dan empat RT bisa tahu kondisi keuangan Forum Masyarakat Sehat.
”Jadi, warga sudah sepaham, iuran ini bukan berharap warga sakit. Namun, iuran ini semangat utamanya adalah warga bantu warga,” katanya.
Penarikan iuran dilakukan penanggung jawab di setiap RT. Agar penanggung jawab itu tak menganggap kegiatan menarik iuran sebagai pekerjaan, ia diberi penghargaan dengan nominal Rp 150.000 dari dana desa setiap bulan.
Sejak peristiwa memilukan pada 2014 itu, hubungan antarwarga menguat. Bahkan, suatu ketika, ada sebuah kegiatan yang diadakan desa. Dalam sebuah rapat, pemerintah desa mengatakan biaya kegiatan ditanggung oleh dana desa. Namun, warga tak sepakat. Warga harus tetap ikut berpartisipasi iuran meskipun dengan nominal yang sedikit.
”Saya terharu,” kata Madi.
Akses jalan buruk
Inisiatif warga itu bukan tanpa masalah. Belum lama ini, Madi bercerita, keluarganya mengalami komplikasi dan dirujuk ke rumah sakit di Tenggarong, pusat pemerintahan Kutai Kartanegara. Dalam perjalanan di atas perahu, kerabatnya itu masih dalam kondisi sadar dan bisa bicara.
”Tapi, pas di darat menuju rumah sakit, dia sudah ndak sadar. Jalan daratnya itu rusak. Mungkin dia tidak kuat dan akhirnya meninggal,” katanya lirih.
Inisiatif berkelanjutan nelayan di Desa Muara Enggelam itu adalah bentuk kemandirian menghadapi minimnya akses transportasi untuk bisa mengakses fasilitas layanan kesehatan. Inisiatif itu perlu juga didukung dengan pembangunan jalan yang merata oleh pemerintah ke daerah-daerah terpencil agar pengalaman Madi dan keluarganya tak terulang.