Tradisi Malam Imlek di Cirebon, dari Kumpul Keluarga hingga Atraksi Barongsai
Makan bersama keluarga, mengenakan pakaian baru, bersembahyang, dan menyaksikan barongsai menjadi tradisi malam Imlek.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Sejumlah tradisi mewarnai malam tahun baru Imlek 2575 Kongzili di Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (9/2/2024). Mulai dari makan bersama keluarga dengan hidangan khusus, mengenakan pakaian baru, bersembahyang, hingga menyaksikan barongsai.
Jeremy Huang Wijaya, pengamat budaya Tionghoa, mengatakan, semarak menyambut Imlek mulai terasa seminggu hingga 10 hari sebelum perayaan. Masyarakat Tionghoa, misalnya, membersihkan rumahnya, terutama bagian dapur. Ruangan itu dianggap berjasa bagi kehidupan keluarga.
”Pada malam Imlek hingga tujuh hari selanjutnya, warga dianjurkan tidak bersih-bersih (secara keseluruhan) karena dipercaya ada rezeki yang akan masuk,” ucap Jeremy. Anjuran ini juga bermakna agar seseorang beristirahat dari menyapu setidaknya sekali dalam setahun.
Meski demikian, pada malam Imlek, warga Tionghoa dianjurkan membersihkan diri dan mencukur rambut untuk menghadap patung dewa. Mereka juga sebaiknya mengenakan pakaian baru berwarna merah yang identik dengan keceriaan dan kuning yang bermakna kegemilangan.
”Warna merah juga dianggap menghilangkan roh-roh pengganggu. Makhluk raksasa juga takut dengan warna itu,” ucapnya. Adapun warna kuning kerap disimbolkan dengan emas yang menunjukkan kecermelangan hidup.
Malam Imlek juga menjadi ruang berkumpul dan makan bersama keluarga. Apalagi, sepekan sebelumnya, warga Tionghoa biasanya puasa dari makanan berbahan daging. Mereka hanya menikmati sayuran dan makanan selain daging. Hidangan saat malam Imlek pun mempunyai kekhasan.
Makanannya memiliki tiga unsur, yakni darat, air, dan udara. Kalau darat, ada daging sapi atau babi. Kalau udara, ada bebek, ayam, atau burung dara. Kalau air, biasanya ikan bandeng atau kakap. Ikan melambangkan keberuntungan.
”Makanannya memiliki tiga unsur, yakni darat, air, dan udara. Kalau darat, ada daging sapi atau babi. Kalau udara, ada bebek, ayam, atau burung dara. Kalau air, biasanya ikan bandeng atau kakap. Ikan melambangkan keberuntungan,” ungkap Jeremy.
Makan bersama biasanya berlangsung di rumah orangtua atau yang paling dituakan dalam keluarga. Tradisi ini menggambarkan pentingnya yang muda berkunjung ke tempat orangtua. Di sana, mereka biasanya berdoa di hadapan foto orangtua atau leluhur yang telah wafat.
Setelah memanjatkan doa di rumah keluarga, warga Tionghoa kemudian datang ke kelenteng dan wihara untuk bersembahyang di hadapan patung dewa-dewi. Di sana, mereka menyalakan lilin yang telah dipesan sebelumnya. Lilin berwarna merah tersebut ada yang berukuran raksasa, lebih dari semeter.
”Menyalakan lilin itu tandanya harapan supaya rezekinya terus ada dan jalan hidupnya senatiasa diterangi,” ucap Jeremy. Di Kota Cirebon, tradisi ini, antara lain, berlangsung di Wihara Dewi Welas Asih di Jalan Kantor, Panjunan, serta Kelenteng Talang di dekat Keraton Kanoman.
Tradisi lainnya pada malam Imlek adalah atraksi barongsai dan liong. Tidak hanya umat Tionghoa, warga Muslim dan Kristen pun kerap hadir menyaksikan pertunjukan tersebut. Namun, menurut Jeremy, penampilan itu tidak hanya bermakna hiburan bagi warga.
”Barongsai dan liong itu untuk mengusir makhluk jahat yang selalu mengganggu orang-orang dan mengambil rezeki. Bunyi petasan juga untuk mengusirnya,” ucapnya.
Richard D Perkasa, pengurus Wihara Dewi Welas Asih Cirebon, mengatakan, atraksi barongsai dan liong bakal menghibur pengunjung pada pukul 22.00. Pertunjukan tersebut berlangsung di halaman wihara sehingga warga diminta memarkir kendaraannya di pelabuhan.
”Ini acara sederhana untuk menyambut Imlek,” ucapnya.