Kelenteng Talang Cirebon, dari Masjid hingga Simbol Toleransi
Kerukunan umat beragama di Cirebon kembali dipanggungkan menjelang Imlek tahun ini lewat Kelenteng Talang. Permata toleransi yang harus terus dipertahankan.
Yohanes Suyono (58) menunduk di hadapan patung Dewa Kwan Tee Kun yang ada di Kelenteng Talang, Kota Cirebon, Jawa Barat, Rabu (26/1/2022). Matanya terpejam sembari melafalkan doa. Dua benda serupa batu lalu dijatuhkan. Salah satunya menampakkan berwarna kuning sedangkan lainnya berwarna merah. Inilah pertanda patung dewa siap dibersihkan.
“Kalau keduanya tertutup (warna merah) atau terbuka (kuning), patung dewa belum mengizinkan untuk dibersihkan,” kata petugas Kelenteng Talang itu. Itu artinya, arwah dewa masih berada di kelenteng sehingga patungnya tidak boleh dimandikan. Sebaliknya, jika salah satu batu terbuka dan lainnya tertutup, arwahnya sudah naik ke langit dan bakal kembali jelang Imlek.
Itu sebabnya, ritual memandikan patung dilakukan sepekan sebelum Tahun Baru Imlek 2573 Kongzili yang jatuh pada 1 Februari mendatang. Cara memandikan patung dewa tidak sembarangan. Petugas membasuh patung dewa dengan air bercampur bunga melati dan mawar. Kembang menyimbolkan keharuman.
Air kembang itu serupa dengan tradisi pencucian gamelan sekati menjelang Maulid Nabi Muhammad SAW di Keraton Kanoman, berjarak kurang 950 meter dari kelenteng. Bedanya, petugas kelenteng mencuci patung dewa dengan lap dan sikat gigi sedangkan nayaga di keraton membersihkan gamelan dengan kulit kelapa kering serta batu merah halus.
Seperti gamelan sekati, pembersihan patung dewa di Kelenteng Talang juga dilakukan sekali setahun. Siang itu, beberapa patung yang dibersihkan adalah Dewa Kwan Tee Kun yang dikenal sebagai panglima perang, Hok Teng Ceng Sin atau dewa bumi, serta Nabi Khongcu, nabi dan rasul terbesar dan terakhir Khonghucu.
“Pencucian patung ini budaya dan tradisi sejak lama. Maknanya, kita dituntut membersihkan jiwa dan batin menyambut tahun baru,” ungkap Yohanes. Sebelum pandemi Covid-19, tradisi tersebut cukup ramai oleh pengurus dan warga setempat. Namun, dua tahun terakhir, sejumlah acara dibatasi. Penampilan barongsai pun kini tidak ada.
Meski demikian, sejumlah ritual tetap dijalankan. Selain membersihkan patung dewa dan kelenteng, pengurus juga telah memasang lampion serta lilin besar. Lilin merah yang bermakna penerang menjalani hidup itu bakal menyala pada Senin (31/1/2022) malam atau sebelum pergantian tahun. Kali ini, ritual sembahyang itu dibatasi hingga pukul 22.00, tidak lagi pukul 24.00.
Acara tersebut tidak hanya menjadi ajang kumpul penganut agama Konghucu, tetapi juga warga beragama Kristen dan Islam. Sebelum pandemi, pergantian tahun acap kali diwarnai dengan makan bersama hingga kembang api. Berbagai pedagang kaki lima berjejer. Bukan kali ini saja Talang menjelma tempat pertemuan.
Yohanes mengisahkan, kelenteng yang dibangun sekitar abad ke-14 itu dulunya merupakan tempat singgah masyarakat Tiongkok, termasuk utusan Dinasti Ming. Sebab, lokasinya dekat dengan pelabuhan. “Makanya Talang itu berasal dari kata Toa atau besar dan Lang itu orang. Jadi, orang-orang besar dari Tiongkok datang ke sini,” katanya.
Baca juga : Toleransi Tetap Bersemi Meski Pandemi Mendera Kota Wali
Masjid di Talang
Salah satu yang berlabuh adalah pasukan Laksamana Cheng Ho sekitar tahun 1415. Kung Wu Ping, yang datang bersama Cheng Ho, lalu membangun mercusuar di atas bukit Gunung Jati, sekitar 6 kilometer dari Talang. Ia juga mengembangkan masyarakat Tionghoa Muslim Hanafi di daerah Sarindil, Sembung, dan Talang.
Kampung Sembung dijadikan tempat perawatan mercusuar sedangkan kampung Sarindil menghasilkan kayu jati untuk pembuatan kapal. Adapun masyarakat kampung Talang ditugaskan menjaga pelabuhan. Ketiga kampung itu juga menyediakan bahan makanan untuk perbekalan kapal dari Tiongkok.
Kala itu, Kelenteng Talang masih berupa bilik kamar. Sebagai pemeluk Islam, pasukan Cheng Ho menjadikan tempat itu sebagai masjid. Bahkan, ruang utama yang kini jadi altar kelenteng dulunya merupakan tempat imam shalat. “Setelah itu, muslim Hanafi ke Gunung Jati. Tionghoa Muslim enggak apa-apa waktu itu (masjid) jadi kelenteng,” lanjutnya.
Sejumlah sumber menuliskan, seorang Muslim Tionghoa, Tan Sam Cai, kemudian membangun Kelenteng Talang sekitar 1450. Dokumen kelenteng menyebutkan, ketika ia wafat, masyarakat setempat menggelar upacara kenaikan arwah untuk menghormatinya. Patung Tan Sam Cai bahkan hingga kini masih berdiri kokoh di salah satu altar kelenteng.
“Jadi, toleransi itu sudah dari dulu terjadi di Cirebon,” ucap Yohanes yang juga pengurus bagian humas di Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Kota Cirebon. Sesuai ajaran Khonghucu, katanya, manusia lahir membawa nilai cinta kasih, kesusilaan, kebajikan, dan kebenaran. Itu sebabnya, manusia dianjurkan menghargai antarsesama.
“Kita orang beragama harus baik sama agama apa pun. Kalau tidak baik, patut dipertanyakan agamanya. Di Cirebon, hubungan antaragama harmonis,” kata Wakil Ketua MAKIN Kota Cirebon Subagyo. Mantan Ketua Pengurus Besar Nadhlatul Ulama KH Said Aqil Siroj hingga presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, misalnya, pernah berkunjung ke sana.
Bahkan, Sinta Nuriyah Wahid, istri Gus Dur, bersama Pemuda Lintas Iman (Pelita) menggelar sahur dan buka puasa bersama di Kelenteng Talang. Selawat pun berkumandang di kelenteng. Tokoh lintas agama juga turut hadir. Benteng agama, etnis, dan kelompok runtuh waktu itu, berganti dengan toleransi.
“Berkegiatan di rumah ibadah berbeda itu cara kami agar anak muda itu terbiasa melihat perbedaan,” ujar Devida (37), mantan Ketua Pelita. Ajang tersebut, lanjutnya, juga berupaya menghapus stigma negatif terhadap masyarakat keturunan Tionghoa. Misalnya, orang China menguasai perekonomian dan lainnya.
Diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa pernah terjadi ketika Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 1967 diterbitkan. Perpres itu melarang penyelenggaraan kegiatan adat-istiadat komunitas Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Baru. Kondisi ini, lanjutnya, “memotong” regenerasi masyarakat Tionghoa yang beragama Konghucu.
“Sekarang, generasi muda Tionghoa di Cirebon sebagian besar beragama di luar Konghucu. Meski demikian, mereka tetap menjalankan tradisi, seperti Cap Go Meh dan lainnya. Orang sudah paham mana tradisi dan ibadah agama,” ungkapnya. Tradisi dan budaya tersebut itulah turut menjaga hubungan antarumat beragama.
Pemerhati budaya Tionghoa Cirebon, Jerremy Huang, mengatakan, Kelenteng Talang menjadi bukti eratnya hubungan umat Islam dengan Tionghoa di Cirebon. Kayu wuwungan di Kelenteng Jamblang, misalnya, berasal dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa atas izin Sunan Gunung Jati, sultan Cirebon ada ke-15. Tokoh penyebar Islam itu juga beristri Putri Ong Tien.
Sebaliknya, masyarakat Tionghoa memberikan sumbangsih terhadap umat Muslim di Cirebon. Pada 1917, Mayor Tan Tjin Kie membangun Masjid Nona atau kini dikenal sebagai Masjid Baiturrahman Sukadana di Kecamatan Pabuaran. “Komunitas Tionghoa juga turut berkontribusi pada perputaran ekonomi saat depresi ekonomi 1930-an,” katanya.
Bagaimana pun, Kelenteng Talang telah menjadi saksi keharmonisan umat beragama. Menyambut Tahun Baru Imlek 2573, kelenteng tertua di Cirebon ini tetap menjaga potret toleransi di Cirebon.
Baca juga :