Gema Pendidikan yang Terkubur Deru Hilirisasi di Bahodopi
Pelajar di sentra nikel Bahodopi, Morowali, Sulteng, bergelut dengan debu hingga tidak memadainya infrastruktur.
Riuh suara siswa yang bermain dan belajar di Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, tenggelam dalam deru kawasan industri nikel yang beroperasi di belakang sekolah. Di tengah lingkungan yang sesak dan berpolusi, serta gemerlap hilirisasi bernilai triliunan rupiah, mereka bergelut dengan keterbatasan.
Belum tengah hari, Selasa (6/2/2024), suasana ruang kelas I di Madrasah Tsanawiyah Al Jariyaah, Desa Labota, Bahodopi, Morowali, begitu riuh. Siswa-siswi bercanda, bercerita, di tengah pelajaran yang kosong. Sebagian keluar kelas tak tentu arah. Ada juga yang berlarian di koridor.
”Tadi belajar satu pelajaran sampai pukul 09.00. Dua pelajaran lainnya tidak ada gurunya,” kata Dewi (13), salah seorang siswi. Ia tidak tahu alasan guru tidak hadir. Kondisi seperti itu kerap terjadi di hari-hari sebelumnya.
Dewi adalah satu dari 170 siswa dari sekolah ini. Mereka berbagi satu ruangan untuk dua kelas setelah sejumlah ruangan dilalap api pada 2021. Siswa di kelas IA dan IB belajar dalam satu lokal. Begitu juga tingkatan lainnya.
Sekolah ini berjarak hanya 50 meter dari area PLTU di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Kawasan ini merupakan sentra hilirisasi nikel seluas 3.000 hektar. IMIP juga eksportir pengolahan nikel terbesar di Indonesia. Bangunan sekolah yang terbakar tersebut dibangun dan diresmikan oleh perusahaan ini pada 2019.
Seperti puluhan ribu pekerja di kawasan ini, ayah Dewi datang dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Ia memboyong Dewi dan ibunya sejak empat tahun lalu. Sejak saat itu, mereka menetap di sebuah lapak sekaligus tempat tinggal yang disewa ke penduduk setempat.
Meski memiliki banyak teman dan riang bermain, Dewi selalu mengingat kampung halaman. ”Lebih suka di sana (kampung) karena lebih bersih. Di sini sering sakit, batu-batuk,” ujarnya.
Asmarani (13), siswi lainnya, mengeluhkan hal yang sama. Meski baru dua tahun di wilayah ini, ia telah berulang kali sakit. Terakhir kali ia dibawa ke puskesmas karena dadanya terasa sesak. Batuk menjadi penyakit langganan.
”Tidak tahu kenapa sering batuk. Mungkin karena debu sama asap,” tuturnya.
Baca juga: Anak Sekolah di Morowali dan Kepungan Hilirisasi Nikel
Debu dan polusi di kawasan ini memenuhi udara setiap waktu. Di jalanan, kendaraan yang melintas, angin yang bertiup, menerbangkan debu tanpa jeda. Sementara itu, asap pembakaran di kawasan industri menguar sepanjang hari.
Eka Widiasai (29), guru di sekolah itu, menerangkan, beberapa tenaga pengajar sakit dan tidak masuk sekolah. Hal itu juga terjadi pada siswa-siswi yang selalu ada yang tidak hadir setiap hari.
”Selalu ada yang izin sakit. Mungkin karena pengaruh cuaca,” kata Eka.
Meski begitu, ia tidak menampik begitu banyaknya debu hingga polusi yang terjadi saat ini. Saat musim kemarau tiba, debu tebal memenuhi ruangan. Meski berulang kali dibersihkan, debu terus datang. Terkadang partikel debu berwarna hitam memenuhi lantai.
Ia khawatir kondisi ini bisa menimbulkan dampak kesehatan ke anak dan guru. Belum lagi dengan berbagai kejadian kecelakaan kerja yang berujung fatal. Pada akhir Desember 2023, ledakan tungku di kawasan perusahaan menewaskan 21 orang dan puluhan lainnya terluka.
”Harusnya sudah sekolah ini yang paling elite karena paling dekat dengan perusahaan. Kami juga sekolah tingkat menengah yang pertama kali berdiri di Bahodopi. Namun, mungkin karena ada masalah lahan jadi ada beberapa kendala,” katanya.
Di SDN 1 Labota, yang juga cukup dengan kawasan perusahaan, kondisi tidak jauh beda terjadi. Sekolah ini juga tidak terpaut jauh dari kawasan perusahaan. Cerobong besar berdiri di belakang sekolah dengan 487 siswa ini.
Baca juga: Iming-iming Upah Besar di Morowali Berujung Nestapa
Hermonis (40), wali kelas I, menuturkan, kasus anak sakit serupa hal yang wajib. Setiap hari selalu saja ada orangtua siswa yang meminta izin karena sang anak sedang sakit. Dampaknya, pembelajaran anak menjadi terhambat. Kondisi ini baru dialami sekitar tiga tahun terakhir.
”Jangankan siswa, guru-guru juga banyak yang sakit. Saya ini juga sakit kepala tetapi paksa biar masuk,” tuturnya.
Dampak kesehatan
Debu dan polusi adalah kendala yang terus membayangi aktivitas belajar mengajar dan masyarakat secara luas. Debu tebal terus datang dan disertai partikel hitam.
Tidak hanya itu, Hermonis bilang, bau busuk juga sering kali mengganggu. Mereka juga telah melaporkan hal ini ke perusahaan agar ada penanganan.
Beberapa bantuan telah diterima sekolah, mulai dari bantuan pembangunan pagar, gedung sekolah, dan fasilitas lainnya. Pihak sekolah juga lebih sering mengadu ke perusahaan dibandingkan ke pemerintah karena respons yang lebih cepat.
Namun, untuk persoalan lingkungan belum ada titik terang. ”Untuk kesehatan, itu yang utama karena menyangkut jangka panjang kondisi anak. Belum lagi kasus anak didik kami yang diserempet saat berangkat atau pulang sekolah, malah ada yang sampai patah tangan. Masalahnya banyak dan kompleks,” kata Hermonis.
Data yang dihimpun, pada 2022, untuk tingkat sekolah dasar di wilayah Bahodopi kekurangan ribuan peralatan sekolah, 94 ruang kelas, dan 133 guru. Sementara itu, untuk tingkat SMP, kekurangan 170 perlengkapan, 8 ruang kelas, dan 18 guru.
Baca juga: Kemiskinan Naik di Sentra Pengolahan Nikel, Efek Ganda Hilirisasi Belum Optimal
Kepala Dinas Pendidikan Morowali Amir Aminuddin menuturkan, untuk Bahodopi yang merupakan kawasan industri masih terjadi kekurangan, baik itu ruang kelas, guru, maupun perlengkapan lainnya. Salah satu faktor yang menyebabkan adalah fluktuasi penduduk karena banyaknya pekerja yang datang.
”Kalau Morowali secara keseluruhan sebenarnya relatif terpenuhi. Hanya di kawasan industri seperti Bahodopi yang belum,” katanya.
Untuk penambahan ruang kelas, selama ini terbentur kurangnya lahan. Sebab, lahan telah penuh dan sulit untuk ditambah. Di 2024, rencananya akan ada penambahan ruang kelas dengan pembuatan lantai dua di beberapa sekolah. Hal itu diputuskan setelah pihaknya melakukan pertemuan dengan Kemendikbudristek dan Bappenas. Pihaknya berharap pemerintah memberikan dorongan besar agar kolaborasi pusat, provinsi dan daerah semakin intens.
”Industri ini kan Proyek Strategis Nasional (PSN) karena itu bebannya jangan diberikan kepada kami di daerah semua. Harus ada kolaborasi yang kuat,” tuturnya.
Terkait masifnya debu yang mengganggu pembelajaran, Amir tidak menampik hal tersebut. Kondisi ini juga telah disampaikan ke instansi terkait untuk ditangani. Ia berharap agar ada perhatian serius untuk penanganan. ”Karena debu itu tidak seperti luka yang seminggu bisa sembuh, ini bisa panjang nantinya,” ujarnya.
Persoalannya, pendidikan itu dianggap pengeluaran, bukan sesuatu yang wajib dan investasi masa depan.
Belum merata
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menjelaskan, meski pemerintah memiliki data lengkap terkait kebutuhan dan kualitas pendidikan di daerah, pemerataan belum juga dilakukan. Termasuk juga di kawasan industrialisasi seperti di Morowali.
Hal ini tak lepas dari kurangnya keseriusan pemerintah dalam implementasi kebijakan hingga level daerah. Saat melihat kondisi disparitas yang tinggi, seharusnya pemerintah pusat menekan daerah untuk mengambil langkah nyata sesuai tugas dan tanggung jawab yang diemban.
”Persoalannya, pendidikan itu dianggap pengeluaran, bukan sesuatu yang wajib dan investasi masa depan. Padahal, jika itu kawasan industri, tentu membutuhkan sumber daya yang berkualitas. Namun, saat pendidikan tidak diperhatikan, hal itu sepertinya sulit dicapai,” kata Ubaid.
Kurangnya perhatian pada pendidikan, ia mengatakan, tecermin pada disparitas yang terus tinggi di daerah. Kawasan industri malah didorong untuk pengembangan sekolah yang berorientasi pada swasta. Jika kondisi ini terus berlarut, ia percaya disparitas makin tinggi ke depannya. ”Kualitas pendidikan akan semakin buruk dan anak-anak yang menjadi korbannya,” katanya.
Ahmad Ashof Birry, Direktur Program Trend Asia, mengungkapkan, pendidikan dan kesehatan di Bahodopi merupakan ekses dari hilirisasi yang tidak inklusif. Saat ini hanya terbangun pabrik tetapi tidak dengan pembangunan lingkungan dan manusia.
Hal ini terjadi akibat tidak adanya perencanaan yang panjang dalam rencana hilirisasi pemerintah. Warga hanya menjadi penonton, bahkan menanggung beban akan kesehatan, sosial, ekonomi, dan pendidikan yang tidak kunjung membaik.
”Warga betul-betul tidak mempunyai kesempatan dan kekuatan untuk bertahan, bahkan untuk mendapat hal dasar, baik pendidikan dan kesehatan. Mereka dibiarkan untuk menanggung beban atau pindah,” ujarnya.
Bagi Dewi dan juga pelajar lainnya, mereka hanya ingin meraih impian di masa depan. Ia bilang, ”Mau sekolah sampai SMA, jadi tentara, biar bisa bahagiakan orangtua.”
Media Relations Head PT IMIP Dedy Kurniawan pada Minggu (11/2/2024) menerangkan, sejak perusahaan berjalan, berbagai program pendidikan telah dijalankan. Sedari awal, perusahaan mendatangkan guru bantu sekitar 40-an orang untuk memenuhi kekurangan tenaga pengajar di wilayah.
Selain itu, ada juga program pembangunan ruang kelas, toilet, pagar, sekolah baru, hingga politeknik. Terakhir, perusahaan turut membangun rumah literasi yang bisa diakses masyarakat.
“Tahun ini kami akan membangun satu unit SMP dan SMA. Itu salah satu upaya kami memenuhi fasilitas belajar-mengajar. Karena seiring banyaknya pekerja, maka tentu anak sekolah juga bertambah,” ujarnya.
Terkait debu dan polusi, Dedi melanjutkan, memang masih menjadi keluhan di masyarakat. Debu khususnya dari penyimpanan batubara dan PLTU. Berbagai langkah penanganan dilakukan, mulai pemindahan lokasi penyimpanan, hingga rencana pembangunan dinding penghalau.
Terkait debu dan polusi memang masih dikeluhkan masyarakat. Debu khususnya dari penyimpanan batubara dan PLTU.
Sejauh ini, pihaknya telah memindahkan satu SD yang tenaga pengajarnya sangat terdampak, khususnya polusi suara. Itu berdasarkan permintaan dan kesepakatan bersama.
Debu dan polusi yang mengganggu, kata dia, tidak berasal dari cerobong pembakaran nikel yang beroperasi di kawasan. “Karena kami telah memakai filter electrostatic precipitator (ESP) di setiap cerobong, dan itu semua terus dipantau secara real time,” ujarnya.
Catatan: Ada penambahan keterangan dari Media Relations Head PT IMIP, Dedy Kurniawan, pada naskah artikel ini, Minggu (11/2/2024) pukul 16.32 WIB.