Iming-iming Upah Besar di Morowali Berujung Nestapa
Upah sektoral mesti diberlakukan di kawasan industri nikel Morowali agar buruh menerima upah yang layak.
Sudah lebih dari setahun Alan Sahril (27) bekerja di salah satu perusahaan tambang di Morowali, Sulawesi Tengah. Cita-citanya sederhana, yakni membantu meringankan beban orangtua dan menabung untuk kelak bisa bikin usaha kecil-kecilan.
Sebelum menjadi pekerja tambang, dia bekerja di salah satu perusahaan di Kota Palu. Info gaji pekerja tambang yang Rp 6 juta per bulan di luar lembur membuatnya mantap meninggalkan pekerjaan di Palu dan memilih ke Morowali. Saat ini dia bekerja di divisi penyediaan dan pengangkutan material untuk tungku smelter.
”Yang tidak saya sangka, di sini biaya hidup cukup tinggi. Biaya kos dan biaya makan cukup menguras kantong. Jika tak pandai mengatur uang, tak ada yang bisa ditabung atau dikirim ke orangtua di Donggala,” kata Alan.
Dia membayar indekos Rp 1 juta per bulan. Kamar indekosnya tak seberapa besar dengan bangunan semipermanen, yakni lantai keramik dan dinding papan. Kamar indekos itu kosong dan dia harus melengkapinya dengan lemari dan kasur. Listrik juga harus dia bayar sendiri. Kamar mandi di luar dan digunakan bersama penghuni lain.
Baca juga: Industri Nikel Morowali Siap Andil dalam Prihram Kendaraan Listrik
”Ada yang Rp 600.000 per bulan, tetapi bentuknya barak dan kamar mandi umum yang letaknya di pinggir laut, di luar area kos. Kalau mau yang lebih memadai, tarifnya Rp 1,5 juta ke atas,” katanya.
Untuk makan, dia mendapat jatah dari perusahaan saat bekerja. Di luar jatah itu, dia membeli makanan sendiri. Seporsi nasi dan sepotong kecil ayam harganya Rp 25.000-Rp 40.000. Jika mau yang murah, nasi tempe seharga Rp 10.000-Rp 15.000.
”Jadinya saya tak lagi terlalu memikirkan soal gizi seimbang. Intinya bisa makan dan kenyang. Kadang untuk mengirit, saya dan beberapa teman memasak nasi lalu urunan beli lauk jadi dan makan bersama,” katanya.
Untuk mengirit uang listrik, Alan tak memasang televisi atau perangkat elektronik lain untuk hiburan di kamar indekosnya. Yang ada hanya lampu yang dinyalakan seperlunya. Selebihnya listrik hanya untuk mengisi daya telepon genggam.
Untuk keperluan bensin, dia lebih banyak membeli eceran seharga Rp 15.000-Rp 20.000 per liter. ”Hanya ada satu SPBU di sini. Biasanya buka pukul 08.00, tetapi kendaraan sudah mulai antre sejak malam. Jika kendaraan roda empat dan truk sudah antre, biasanya sepeda motor sulit untuk dapat. Maka dari itu, tak ada pilihan lain kecuali beli eceran,” katanya.
Dengan berbagai siasat mengatur keuangan, dia susah payah menabung sedikit demi sedikit. Lebih setahun kerja, dia mengaku baru punya tabungan belasan juta rupiah.
Sementara itu, Bani (60), warga Sampoddo, Kota Palopo, Sulawesi Selatan, bercerita bagaimana Anshar, anaknya yang bekerja di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), susah payah mengatur keuangan.
Baca juga: Mengejar Mimpi ke Morowali
”Bayar kos dan kebutuhan harian mahal. Istrinya harus mengatur keuangan agar gaji suaminya cukup. Beberapa kali saya datang menengok dia di Morowali. Dia jarang pulang karena biaya bus bisa sampai Rp 300.000. Saya saja kalau menengok dia biasa menumpang truk atau kendaraan yang membawa dagangan ke Morowali. Maka dari itu, saya tak menuntut dia mengirimkan uang setiap bulan. Saya cukup paham keadaannya,” katanya saat ditemui di warung kopi di tepi jalan di Sampoddo, Rabu (27/12/2023) dini hari.
Dalam perjalanan darat dari Makassar ke Morowali pascainsiden ledakan di PT ITSS yang menewaskan 21 pekerja, Kompas singgah di warung kopi sederhana di mana Bani berjualan.
Warung itu milik orang lain. Bani diizinkan untuk berjualan di warung tersebut. Di sanalah dia tinggal sekaligus berdagang kopi, teh, dan aneka panganan. Suaminya sudah lama meninggal. Satu anak perempuannya menjadi ibu rumah tangga dan berdagang kecil-kecilan. Adapun dari dua anak lelakinya, satu menjadi nelayan dan Anshar yang bekerja di Morowali.
Eksploitasi buruh
Morowali dan Morowali Utara adalah dua kabupaten di Sulawesi Tengah yang menjadi tujuan para pencari kerja. Di dua kabupaten ini terdapat banyak perusahaan tambang dan industri pengolahan nikel.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sulteng Arnold Firdaus mengatakan, daerah Morowali hingga Morowali Utara menjadi magnet tenaga kerja. Di kawasan IMIP, sejauh ini ada sekitar 72.000 tenaga kerja. Dari jumlah tersebut, 87 persen adalah pekerja lokal dan selebihnya pekerja asing.
”Untuk pekerja lokalnya itu sebagian besar dari luar daerah, baik dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, hingga Jawa. Untuk pekerja dari Sulteng mungkin berkisar 20 persen,” tutur Arnold, Kamis (28/12/2023).
Jumlah pekerja itu belum termasuk ribuan pekerja di perusahaan lainnya. Di Morowali Utara, ada PT Gunbuster Nickel Industry yang memiliki tenaga kerja hingga 15.000 orang dan akan terus bertambah seiring pembangunan yang digenjot perusahaan.
Baca juga: Morowali, Magnet Pencari Kerja
Pencari kerja setiap saat datang walau tak semua terserap. Situasi itu menimbulkan persoalan, seperti problem sosial dan lingkungan.
Direktur Eksekutif MELT (Mineral, Energi, and Labour Transformation) Arianto Sangadji, yang banyak meneliti di Morowali, mengatakan, apa yang terjadi di Morowali dan Morowali Utara saat ini adalah praktik eksploitasi buruh yang ekstrem.
Berbasis UMP, buruh tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup layak untuk dirinya. Standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang buruk juga merupakan indikasi lain dari upah murah karena perusahaan-perusahaan hanya berburu profit tinggi tanpa menghitung keselamatan pekerja sebagai ongkos produksi.
Dia mengatakan, dengan perkiraan rerata profit margin (sebelum PPh badan) sekitar 16 persen, paling tidak total profit yang dikeruk oleh seluruh perusahaan smelter dari Morowali dan Morowali Utara diperkirakan mencapai Rp 38,4 triliun pada tahun 2022.
Dengan menghitung intensitas kerja dan risiko tinggi kerja di industri logam dasar seperti nikel, idealnya UMSK Morowali saat ini Rp 7 juta-Rp 8 juta.
”Total 84.000 buruh domestik di industri nikel di Morowali dan Morowali Utara. Rerata total upah buruh sekitar Rp 6,04 triliun pada 2022. Membandingkan total profit perusahaan-perusahaan smelter dengan total upah buruh, maka derajat pengisapan buruh di kedua daerah itu sangat ekstrem, yakni 629 persen,” katanya.
Derajat eksploitasi ekstrem bisa ditekan jika pemerintah memberlakukan upah minimum sektoral kabupaten (UMSK). Dengan menghitung intensitas kerja dan risiko tinggi kerja di industri logam dasar seperti nikel, idealnya UMSK Morowali saat ini Rp 7 juta-Rp 8 juta. Ini di luar tunjangan, bonus produksi, lembur, dan sebagainya.
Selain persoalan buruh, industri nikel juga menunjukkan wajah kontradiktif di daerah penghasil nikel ini. Dengan adanya industri nikel, pertumbuhan ekonomi di Morowali tumbuh 28 persen pada tahun 2022. Ironisnya, tingkat kemiskinan juga masih tergolong tinggi. Pada 2022, tingkat kemiskinan di Morowali berada di level 12,58 persen.
”Artinya, pertumbuhan ekonomi di Morowali tidak dinikmati oleh warga Morowali. Ini terjadi karena tingkat pengisapan ekonomi keluar dari Morowali sangat ekstrem. Pada 2022, sebanyak 95,65 persen PDRB di Kabupaten Morowali terisap keluar. Yang tertinggal di Morowali hanya 4,35 persen. Kenapa? Karena seluruh perusahaan yang menguasai industri nikel adalah perusahaan-perusahaan multinasional. Perusahaan tambang, kontraktor tambang, supplier semua datang dari luar Morowali,” tuturnya.
Baca juga: Saat Tambang Belum Mampu Tekan Angka Kemiskinan di Sulteng
Pertumbuhan masif industri nikel di Morowali juga meninggalkan beban sosial ekologi yang kompleks. Pencemaran air dan banjir tahunan merusak aktivitas warga setempat. Ini karena praktik penambangan yang buruk dan merajalelanya penambangan lahan koridor. Akibatnya, lahan pertanian dan areal penangkapan ikan terganggu. Industri nikel menyingkirkan dan memiskinkan kaum tani dan nelayan.
Salah satu jalan keluar yang bisa diambil, kata dia, adalah pemerintah mesti memberlakukan royalti ke produk nikel olahan (nickel pig iron, nickel matte, mixed hydroxide precipitate), bukan ke nickel ore. Royalti tidak lagi dibebankan ke petambang, tetapi di industri pengolahan dengan tarif 7-10 persen dari nilai jual nikel olahan per ton. Dengan demikian, pemerintah daerah akan mendapatkan bagi hasil penerimaan negara bukan pajak jauh lebih besar.
Arianto mengingatkan, pemerintah harus bersiap saat 15-20 tahun ke depan, cadangan nikel habis. ”Saat itu terjadi, mau diapakan tenaga kerja yang ada. Bagaimana dengan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang telanjur ditinggalkan. Jika itu tak dipikirkan, pemerintah dan masyarakat tentu saja akan menanggung beban yang berat di berbagai lini,” katanya.
Tekan kemiskinan
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan pada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto menilai, hilirisasi nikel di Indonesia berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. Ia mencontohkan, penurunan persentase penduduk miskin di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, jauh lebih besar dibandingkan penurunan penduduk miskan di Provinsi Sulawesi Tengah.
Menurut Seto, untuk menilai dampak hilirisasi di Morowali secara komprehensif, perlu melihat tren data dari 2015 sewaktu program hilirisasi dimulai. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Morowali pada 2015 tercatat 15,8 persen, lebih tinggi dibanding Sulteng yang sebanyak 14,66 persen.
Untuk menilai dampak hilirisasi di Morowali secara komprehensif, perlu melihat tren data dari 2015 sewaktu program hilirisasi dimulai.
Tahun 2023, persentase penduduk miskin di Morowali menjadi 12,31 persen, atau turun sekitar 3,49 persen dari posisi di 2015. Sementara itu, kemiskinan di Sulteng sebesar 12,41 persen, atau turun sekitar 2,25 persen dibandingkan 2015.
“Dampak dari suatu program harus dilihat dari sebelum program, dan ketika program ini berjalan. Dapat terlihat hilirisasi yang dilakukan berdampak kepada penurunan penduduk miskin,” ujar Seto saat dihubungi di Jakarta, Senin (6/2/2024).
Dampak hilirisasi yang menciptakan lapangan kerja, lanjutnya, juga dinilai mampu menurunkan tingkat kesenjangan. Ini tecermin dari penurunan koefisien gini yang menggambarkan statistik ketimpangan ekonomi masyarakat.
Tahun 2015, koefisien gini di Morowali adalah 0,377, atau lebih tinggi dibandingkan Sulteng yang 0,374. Pada 2023, koefisien gini untuk Morowali menjadi 0,281 atau turun sebesar 0,096. Sementara itu, di Sulteng tercatat sebesar 0,304, atau turun 0,07 dengan penurunan lebih kecil dibandingkan Morowali.
Baca juga: Pertanian yang Digempur Tambang di Morowali
“Jadi, dari data ini bisa terlihat bagaimana dampak hilirisasi menurunkan tingkat kesenjangan melalui penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi di sektor lain,” kata Seto.
Pada periode 2015-2022, pertumbuhan sektor makanan-minuman dan akomodasi di Indonesia sebesar 4 persen, di Sulteng 5,3 persen, dan di Morowali 10,3 persen. Pertumbuhan sektor akomodasi dan makanan-minuman, sebagai salah satu proksi untuk menghitung pertumbuhan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), di Morowali itu dinilai jauh lebih cepat dibanding rata-rata pertumbuhan Indonesia dan Sulteng.
Seto menambahkan, pemerintah terus berupaya mengembangkan hilirisasi nikel agar menjadi suatu eksosistem baterai lithium. Dicontohkan, sedang dibangun dua fasilitas pemurnian lithium di Sulteng, meskipun tidak ada tambang lithium di wilayah tersebut. Selain itu, dibangun pula fasilitas produksi anoda di Sulteng, sedangkan produksi lanjutannya dibangun di Jawa supaya lebih dekat dengan pabrik baterai lithium yang ada di Jawa.
Pembenahan upah
Meski demikian, imbuh Seto, pekerjaan rumah yang masih perlu dibereskan untuk masalah hilirisasi mineral dalam negeri adalah terkait ketenagakerjaan. Ada dua hal pokok masalah terkait ketenagakerjaan. Pertama, pengaturan dari pemerintah terkait upah minimum regional. Pengaturan upah perlu didukung survey terkait biaya hidup.
Yang kedua adalah perbaikan tingkat pendidikan dan kualitas pendidikan masyarakat lokal untuk kebutuhan masa depan. Saat ini, masih kerap terjadi warga lokal kalah bersaing dengan warga pendatang. Disamping itu, dibutuhkan pula pembenahan fasilitas kesehatan.
“Kita harus bergerak lebih ke hulu lagi dalam hal jenjang pendidikan. Pekerjaan rumah dari pemerintah adalah peningkatan kualitas pendidikan dalam jangka panjang. Sedangkan dalam jangka pendek perlu dikaji ulang mengenai upah minimum regional demi memastikan para pekerja dengan pendapatan yang diperoleh bisa mengejar untuk pemenuhan biaya hidup,” ujarnya.
Catatan: Naskah artikel yang diterbitkan pada Senin (5/2/2024) pukul 09.00 WIB ini mendapat pengayaan dengan tambahan keterangan dan narasumber dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada Selasa (6/2/2024) pukul 21.00 WIB.