Industri Nikel Morowali Siap Andil dalam Program Kendaraan Listrik
Industri pengolahan nikel di Morowali siap berkontribusi pada program kendaraan listrik melalui penyediaan bahan baku baterai. Namun, tata kelola tambang nikel mesti diperhatikan agar tak mencemari lingkungan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Pengelola kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, siap berkontribusi dalam program kendaraan listrik. Empat perusahaan di kawasan tersebut akan menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik yang kini jadi tren global karena rendah emisi. Namun, tata kelola lingkungan dan sosial dari dampak buruk perusahaan tambang nikel tetap harus diperhatikan.
”Empat perusahaan yang akan menghasilkan bahan baku baterai kendaraan listrik tersebut bagian dari dukungan terhadap program pemerintah yang mengembangkan kendaraan listrik nasional,” kata juru bicara PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Dedy Kurniawan, saat dihubungi dari Palu, Sulteng, Kamis (24/6/2021).
Salah satu dari empat perusahaan tersebut, yakni PT Huayue Nickel Cobalt, ditargetkan beroperasi akhir 2021. Perusahaan tersebut merupakan penanaman modal asing, yakni dari China. Tiga perusahaan lainnya diproyeksikan beroperasi pada 2023. Saat ini ketiganya masih mengurus izin dan persiapan infrastruktur.
Keempat perusahaan tersebut akan menghasilkan nikel kobalt yang merupakan bahan baku pembuatan baterai litium, komponen utama kendaraan listrik (electric vehicle). Bahan baku nikel kobalt didapat dari perusahaan-perusahaan pengolah nikel di dalam kawasan PT IMIP yang berjumlah 24 unit. Perusahaan-perusahaan tersebut selama ini telah menghasilkan baja karbon, baja canai panas (hot rolled coil/HRC), dan baja canai dingin (cold rolled coil/CRC), serta material untuk baja tahan karat (stainless steel). PT IMIP yang menguasai 2.000 hektar lahan beroperasi sejak 2016.
Saat ini, negara-negara maju berlomba memproduksi kendaraan listrik sebagai alternatif dan inisiatif global untuk transportasi rendah emisi karena tak memakai bahan bakar minyak yang selama ini menghasilkan gas buang tinggi. Indonesia yang memiliki cadangan nikel melimpah juga ingin berperan aktif dalam tren global tersebut. Indonesia melalui sejumlah badan usaha milik negara bahkan membentuk perusahaan penghasil baterai untuk mobil listrik.
PT IMIP, salah satu pengelola kawasan pengolahan nikel, memiliki peran strategis dalam pengembangan mobil listrik tersebut. Dengan suplai bahan baku material nikel dari perusahaan-perusahaan tambang di Morowali dan Morowali Utara, industri tersebut bisa menggaet perusahaan untuk mengolah nikel, termasuk menghasilkan bahan baku baterai mobil listrik.
Dedi mengatakan, untuk menyukseskan rencana tersebut, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengunjungi PT IMIP, Rabu (23/6/2021).
Ketiganya berdialog secara virtual dengan petinggi perusahaan yang akan mendirikan pabrik penghasil nikel kobalt di PT IMIP. PT IMIP saat ini mempekerjakan total 70.000 tenaga kerja lokal dan 5.000 tenaga kerja asing.
Tata kelola
Namun, di balik gegap gempita era kendaraan listrik, muncul sejumlah persoalan di lingkar tambang nikel, termasuk Morowali. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng menemukan dampak buruk pertambangan dan pengolahan nikel terhadap masyarakat lingkar tambang di Kabupaten Morowali, yakni pencemaran perairan pesisir.
Pencemaran tersebut diduga terjadi di wilayah pesisir sejumlah kecamatan, antara lain Bahodopi, Bungku Timur, Bungku Pesisir, Bungku Selatan, dan Menui Kepulauan. Pertambangan nikel di Morowali terkonsentrasi di tiga kecamatan, yakni Bahodopi, Bungku Timur, dan Bungku Pesisir. Ada 43 izin usaha pertambangan (IUP) dengan cakupan areal kelola 81.696 atau 24,5 persen dari luas daratan Morowali.
”Laut di daerah-daerah tersebut tercemar limbah sisa pertambangan (sisa galian orenikel) yang terbawa air pada musim hujan sehingga laut menjadi berwarna kecokelatan. Material tersebut kemudian mengendap menjadi lumpur di dasar laut mencemari ekosistem mangrove dan ekosistem laut,” kata Kepala Departemen Advokasi Walhi Sulteng Khaeruddin saat memaparkan studi tersebut secara virtual pada Rabu (23/6/2021).
Akibatnya, populasi ikan berkurang. Nelayan lalu kehilangan wilayah kelola laut. Mereka harus melaut jauh hingga 80 kilometer dari pesisir yang tentunya butuh biaya produksi besar. Padahal, mereka hanya nelayan tradisional.
Perusahaan harus memperbaiki tata kelola lingkungan pertambangan dan pengolahan nikel demi kelestarian lingkungan. Selain itu, perusahaan-perusahaan tambang harus memulihkan kondisi laut yang tercemar saat ini.
Sebagai bentuk tanggung jawab, Khaeruddin mengatakan, perusahaan harus memperbaiki tata kelola lingkungan pertambangan dan pengolahan nikel demi kelestarian lingkungan. Selain itu, perusahaan-perusahaan tambang harus memulihkan kondisi laut yang tercemar.
Bersama dengan pemerintah, lanjut Khaeruddin, perusahaan juga perlu memberdayakan nelayan setempat agar bisa melaut jauh dengan alat tangkap memadai. ”Kalau ini tak diintervensi, kami khawatir tak ada lagi yang akan tangkap ikan, dan itu bisa membawa krisis pangan perikanan di Morowali. Tentu ini kerugian besar,” katanya.
Direktur Eksekutif Walhi Nasional Nur Hidayati mengatakan, studi tersebut mengonfirmasi bahwa untuk menghasilkan energi rendah emisi, seperti kendaraan listrik, sistem produksinya tetap merusak. Misi ramah energi dari kendaraan listrik untuk mengurangi pemanasan global tak bisa diatasi dengan hanya mengganti komoditas. Dalam hal ini, dari bahan bakar minyak bertransisi ke kendaraan listrik.
”Ini tak mengubah apa-apa. Pertanyaan besarnya, bagaimana desain model politik dan ekonomi ke depan yang tak membahayakan generasi mendatang dan lingkungan,” ucapnya.