Pertaruhan Besar di Pegunungan Sewu
Aspek ekonomi dan ekologi dalam pembangunan pariwisata di Gunungkidul harus berjalan beriringan.
Di tengah kencangnya derap perekonomian pariwisata, Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, menghadapi tantangan besar dalam memastikan kelestarian ekosistem karst. Karst merupakan struktur utama bentang alam daerah itu yang kaya manfaat ekologi dan ekonomi.
Nama yang disandang Gunungkidul menjadi epitome bagi daerah pegunungan di kidul (selatan) DIY tersebut. Secara geografis, daerah itu adalah bagian Pegunungan Sewu. Namun, ini bukanlah gunung biasa, melainkan rangkaian bukit-bukit karst yang disusun oleh batuan gamping atau kapur.
Kondisi tersebut membuat vegetasi sulit tumbuh di permukaan. Karena itulah, Gunungkidul selalu dibayangi citra gersang dan tandus. Namun, sesungguhnya lapisan batuan yang berpori itu adalah “bank” air alami. Di bawah lapisan karst tersebut mengalir sumber-sumber mata air hingga sungai bawah tanah.
Dari segi topografi, ekosistem karst ini pula yang membuat tampilan alam Gunungkidul begitu menakjubkan. Bukit-bukit cadas menjulang dengan bermacam formasi, seperti kerucut, kubah, hingga memanjang. Goa-goa dan ceruk pun terbentuk.
Di beberapa tempat, bukit-bukit ini bertemu dengan Samudera Hindia sehingga membentuk garis pantai yang dipagari tebing-tebing curam. Sebagian bukit bahkan menjadi “pulau” karang yang menambah dahsyat pemandangan. Proses pelapukan karst selama jutaan tahun juga menciptakan pantai-pantai berpasir putih.
Karena arti penting karst itu, pemerintah menetapkan Pegunungan Sewu menjadi kawasan lindung geologi sebagai bagian kawasan lindung nasional. Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunung Sewu ditetapkan melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 3045 K/40/MEM/2014 pada 4 Juli 2014.
Baca juga: Merawat Karst, Menjaga Peradaban
Selain di Gunungkidul, KBAK Gunung Sewu membentang di tiga daerah lain, yakni Bantul (DIY), Wonogiri (Jawa Tengah), dan Pacitan (Jawa Timur). Namun, dari keempat kabupaten itu, proporsi terbesar berada di Gunungkidul.
Dari 1.100,17 kilometer persegi luas KBAK Gunung Sewu, sebanyak 757,13 km persegi atau sekitar 69 persen masuk wilayah Gunungkidul. Luasan itu mencakup 53 persen luas kabupaten tersebut.
Pada 2015, Gunung Sewu juga ditetapkan sebagai Global Geopark atau taman bumi dunia oleh organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya PBB (UNESCO). Hal ini berarti UNESCO mengakui arti penting Gunung Sewu secara geologis.
Kecantikan alam itu pula yang menarik jutaan orang berkunjung setiap tahun ke Gunungkidul. Industri pariwisata pun tumbuh pesat selama setidaknya 10 tahun terakhir, terutama di sepanjang wilayah pantai.
Di satu sisi, ini membawa berkah ekonomi bagi banyak warga yang terlibat langsung maupun tak langsung dalam aktivitas wisata. Namun, di sisi lain, ini berpotensi menjadi bumerang bagi keberlanjutan ekosistem karst. Salah satu yang jadi sorotan adalah maraknya pembangunan hotel, villa, beach club, atau sejenisnya.
Namun, tidak boleh diubah bentang alamnya. Misalnya, kalau bukit, tidak boleh dikepras.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta melalui rilisnya pada 15 Januari 2024 menyebut, pembangunan sejumlah fasilitas akomodasi dan amenitas wisata di Kecamatan Tanjungsari dan Tepus mengancam kawasan karst. Kedua kecamatan itu merupakan pusat pertumbuhan pariwisata pantai Gunungkidul.
Sebelum itu, Walhi Yogyakarta juga menyoroti rencana seorang pesohor yang akan membangun beach club di Pantai Krakal, Tanjungsari. Hal itu dinilai dapat mengganggu kawasan perlindungan air tanah yang vital bagi masyarakat setempat.
Peneliti Pusat Studi Karst Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta Nandra Eko Nugroho mengatakan, jika merujuk pada ketentuan dalam KBAK, kawasan itu boleh dikelola dan dimanfaatkan. “Namun, tidak boleh diubah bentang alamnya. Misalnya, kalau bukit, tidak boleh dikepras,” ujarnya.
Karena itu, dia pun meminta Pemerintah Kabupaten Gunungkidul berhati-hati dalam pembangunan pariwisata dan menjalankan ketentuan yang diatur mengenai KBAK. Apalagi, karst yang paling bagus adalah yang dekat pantai, sehingga kerugian ekologisnya akan lebih besar jika sampai rusak.
Dia menjelaskan, kalau bukit karst rusak, maka volume air hujan yang masuk ke bawah tanah akan berkurang sehingga membuat debit air tanah anjlok. Selain itu, air hujan yang tadinya ditampung karst akan melimpas ke permukaan sebagai banjir.
Baca juga: Taman Bumi Berpotensi Jadi Napas Pemberdayaan Masyarakat
Pembangunan di atas karst, kata dia, juga berisiko bagi keselamatan bangunan. “Bentuk formasi batuan karst itu seperti sarang semut yang berongga (tidak padat). Jadi, kalau terjadi pembebanan di atas, bisa kolaps (runtuh),” ucapnya.
Nandra pun berpandangan, Gunungkidul lebih cocok mengembangkan pariwisata minat khusus yang sesuai untuk kawasan karst. Ini, misalnya, seperti yang dilakukan Vietnam. Dengan begitu, risiko kerusakan karst bisa ditekan.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Gunungkidul Hary Sukmono mengungkapkan, pihaknya berkomitmen menegakkan aturan pembangunan sesuai ketentuan KBAK. Pemkab Gunungkidul memiliki tim gabungan yang melibatkan aparat bidang perizinan, tata ruang, dan lingkungan hidup untuk mengawasi pembangunan di kawasan karst.
Meski begitu, menurut Hary, lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup perlu pengaturan lebih lanjut. Aturan itu mensyaratkan pembangunan di kawasan lindung geologi, termasuk KBAK Gunung Sewu, wajib dilengkapi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Kalau punya pilihan, kami memilih pembangunan yang tak merusak bentang alam karena itu yang jadi keunggulan pariwisata kita.
“Masalahnya, dengan luasan KBAK yang sebesar 53 persen luas wilayah Gunungkidul, apakah semua wajib Amdal? Ini buat kami pemerintah daerah, asas keadilannya belum kita dapatkan,” ujar Hary.
Dia pun berharap pengaturan lebih lanjut itu dapat memetakan lebih rinci titik-titik karst yang vital secara ekologis, terutama terkait fungsi hidrologinya, sehingga harus diproteksi total. Adapun yang di luar itu dapat lebih dilonggarkan aturan pemanfaatannya, sehingga aktivitas perekonomian bisa berjalan beriringan.
Sekretaris Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Tepus, Suheri, mengatakan, pembangunan fasilitas akomodasi dan amenitas pariwisata menjadi dilema tersendiri. Desa di Kecamatan Tepus itu mengandalkan pariwisata sebagai motor penggerak ekonomi masyarakat.
Menurut dia, di satu sisi, pariwisata jelas memerlukan fasilitas-fasilitas pendukung tersebut. Namun, di sisi lain, jika merusak kawasan karst yang menjadi daya tarik utama wisata desa itu, tentu akan membuat minat wisatawan berkurang.
“Mungkin perlu dibatasi, yang boleh dibangun yang mana, yang tidak boleh yang mana. Kalau punya pilihan, kami memilih pembangunan yang tak merusak bentang alam karena itu yang jadi keunggulan pariwisata kita,” kata Suheri yang juga menjabat sebagai Ketua Desa Wisata Tepus itu.
Baca juga: Saatnya Warga di Garda Terdepan Pengelolaan Geowisata