Merawat Karst, Menjaga Peradaban
Menjaga karst dan goa di kawasan Taman Bumi Gunung Sewu dan Karangsambung-Karangbolong di Jawa Tengah jadi pekerjaan rumah bersama. Bentang alam ini menyimpan sejumlah manfaat, terutama menjaga keseimbangan ekosistem.
Usulan menjadikan Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, sebagai geopark dunia mesti jadi momentum memperkuat perlindungan pada bentang karst. Becermin dari Taman Bumi Gunung Sewu, tugas ini tak mudah. Padahal, kerusakan karst mengancam ekosistem makhluk hidup di sekitarnya.
Menyusuri goa-gaa di kawasan Museum Kars Indonesia di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Sabtu (12/6/2021), citra wisata taman bumi (geopark) berstatus dunia seolah meredup. Papan informasi sejarah goa tampak usang dan memudar. Suara gesekan daun tertiup angin hingga goresan pena petugas jaga pada kertas tiket jelas terdengar. Guguran daun kering berserakan di seputar kawasan taman bumi tersebut.
”Padahal dulu ramai. Sayang juga kalau tidak ada yang jaga. Ini, kan, situs bersejarah. Bagaimana nanti kalau ada orang-orang yang malah mau merusak?” ujar Rina Widyaningsih (17), warga Kecamatan Manyaran, Wonogiri, yang jadi pengunjung pertama bersama rekannya, saat hari menjelang sore.
Museum Kars Indonesia diresmikan pada 2009. Museum itu berdiri di antara sejumlah goa yang masuk sebagai situs geologi bersejarah dalam kawasan Taman Bumi Gunung Sewu. Ada lima goa di kompleks tersebut, yakni Goa Tembus, Goa Sodong, Goa Sapen, Goa Mrico, dan Goa Potro Bunder. Jarak kelima goa tersebut hanya 200 meter hingga 500 meter dari museum.
Kondisi itu memprihatinkan. Sebab, goa-goa tersebut termasuk situs kawasan Gunung Sewu yang sejak 2015 ditetapkan sebagai anggota Jaringan Taman Bumi Global (Global Geopark Network/GGN) oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
Koordinator Museum Kars Indonesia Dwi Eko Rukmini menyayangkan goa-goa yang tak terkelola dengan baik. Hendaknya pemerintah daerah turun tangan. Sudah berulang kali ia menyarankan goa-goa bersejarah itu diberi pemandu atau penjaga demi memastikan tidak ada perusakan atau pemanfaatan situs secara melenceng.
Baca juga: Cara Asyik Mengenal Lantai Samudra Purba
Selama ini, Museum Kars Indonesia dan goa-goa di sekitarnya dikelola dua pihak. Bagian museum dikelola Badan Geologi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sedangkan kawasan goa dikelola Pemerintah Kabupaten Wonogiri. Rukmini berharap, pengelolaan museum dan goa di sekitarnya terintegrasi. Untuk itu, pihaknya ingin segera menghibahkan museum tersebut kepada pemerintah daerah.
Kepala Bidang Pariwisata Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Wonogiri Agus Sriyanto menuturkan, pengelolaan kawasan terkendala keterbatasan anggaran. Untuk itu, pihaknya berharap banyak dari bantuan dana alokasi khusus (DAK) yang tahun ini rencananya cair.
Taman Bumi Gunung Sewu membentang di tiga kabupaten dan provinsi, yakni Kabupaten Gunung Kidul di Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Wonogiri di Jawa Tengah, dan Kabupaten Pacitan di Jawa Timur. Panjang kawasannya mencapai 85 kilometer yang terdiri atas perbukitan karst berbentuk conical hills. Total ada sekitar 40.000 bukit karst di kawasan tersebut.
Adapun taman bumi adalah konsep pembangunan kawasan memadukan konservasi, edukasi, dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat yang dikenalkan UNESCO. Unsur-unsur di dalam kawasan tersebut yakni geologi, biologi, dan budaya. Terdapat 120 taman bumi di 33 negara yang ditetapkan UNESCO menjadi anggota Jaringan Taman Bumi Global (Global Geopark Network/GGN). Taman Bumi Gunung Sewu ditetapkan salah satu anggota pada 2015.
Pengelolaan kawasan terkendala keterbatasan anggaran.
Kawasan Gunung Sewu memiliki 33 situs. Sebanyak 13 situs terdapat di Kabupaten Gunung Kidul, 13 situs di Kabupaten Pacitan, dan 7 situs di Wonogiri. Situs-situs itu berupa peninggalan geologi baik berupa bukit, goa, pantai, hingga museum.
Baca juga: Karangsambung-Karangbolong Disiapkan Menjadi Pusat Geodiversitas
Ancaman karst
Peliknya merawat kompleks goa di sekitar Museum Karst Indonesia di Wonogiri, yang sebenarnya hanya bagian kecil dari kawasan Taman Bumi Gunung Sewu, mesti jadi rujukan kala pemerintah mendorong Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong berstatus global.
Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong ditetapkan secara nasional pada 30 Novermber 2018. Taman bumi ini luasnya 543.599 kilometer persegi. Kawasan dengan ragam morfologi, mulai dari perbukitan, lembah, dataran, hingga pantai, ini mencakup 117 desa di 12 kecamatan di Kebumen.
Di taman bumi ini terdapat 59 situs utama, terdiri dari 41 situs geologi (geosite), 8 situs biologi, dan 10 situs budaya. Di Karangsambung sampai Karangbolong terdapat enam periode sejarah geologi sejak 117 juta tahun lalu. Kekayaan geologi di Karangsambung merupakan singkapan proses subduksi antara lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudra Hindia pada ratusan juta tahun silam.
Sayangnya, seperti halnya Karangsambung, ekosistem karst Gombong Selatan yang menjadi bagian situs geologi Karangbolong pun tak lepas dari ancaman. Padahal, kawasan ini tak sekadar hamparan bukit kapur, tetapi juga penyeimbang ekosistem kelangsungan aneka makhluk hidup di sekitarnya.
Akhir Februari silam, di antara gemericik air dan sejuknya hawa sekitar Sendang Pelus, Desa Rogodadi, Kecamatan Buayan, Kebumen, suara denting linggis beradu dengan bebatuan terdengar dari kejauhan. Deru sepeda motor petambang batu hilir mudik. Sekitar 300 meter dari Sendang Pelus yang berada di kaki bukit karst ini, aktivitas tambang batu kapur masih dijumpai.
”Lima meter kubik batu buat fondasi harganya Rp 450.000,” kata Sarijan (59), petambang batu di sekitar batu lubang.
Batu lubang merupakan istilah warga setempat menunjuk lubang yang berada di bawah bukit kapur. Sejumlah ceruk mulai dari ukuran 1 meter x 2 meter hingga belasan meter tampak di kawasan bukit batu ini. Di sekitarnya tampak tali dan tangga untuk memasang dinamit guna menghancurkan batu. ”Dari atas pakai dinamit. Lalu diambil batu yang keras untuk fondasi, sisanya dipakai untuk menimbun supaya rata lagi,” ujar Sarijan yang sudah menambang batu sejak usia 14 tahun.
Tonton juga: Lantai Samudra yang Tersingkap di Kebumen
Ancaman kerusakan lain tersaji di Desa Candirenggo, Kecamatan Ayah, di belakang Goa Petruk. Di sini terdapat pembongkaran bukit karst untuk dibangun jalan hingga 2 kilometer menuju sejumlah obyek wisata.
”Pembukaan jalan ini merusak karst yang bisa menyimpan air tanah dan berpotensi longsor. Karst ini ibaratnya spons yang bisa menyimpan air puluhan tahun bahkan lebih,” tutur Marsinus Yosa, aktivis lingkungan dan juga warga setempat.
Yosa, yang juga pemandu wisata dan instruktur susur goa, menyampaikan, di bentang alam karst Gombong Selatan terdapat 362 goa, 190 mata air permanen, dan 982 bukit. Di sini juga terdapat sekitar 90 tumbuhan yang hampir punah, contohnya pohon pucung.
Pembukaan jalan ini merusak karst yang bisa menyimpan air tanah dan berpotensi longsor. Karst ini ibaratnya spons yang bisa menyimpan air puluhan tahun bahkan lebih. (Marsinus Yosa)
Salah satu tempat yang masih cukup alami dan eksotik di kawasan karst Gombong Selatan adalah Tebing Kandangan. Kawasan seluas sekitar 10 hektar ini berbentuk seperti lembah dikepung tebing kapur setinggi 150 meter. ”Disebut Tebing Kandangan karena dulu banyak binatang seperti lutung, babi hutan, monyet, elang, alap-alap, dan kolibri. Dulu ini kubah goa, tetapi runtuh. Begitu runtuh, lorongnya tertutup tanah. Di bawah tanah ini masih ada goa dan sungai bawah tanah sepanjang 350 meter. Ini perlu dijaga,” ujar Yosa.
Baca juga: Taman Bumi Berpotensi Jadi Napas Pemberdayaan Masyarakat
Penyeimbang ekosistem
Putut Wijanarko, peneliti yang tergabung dalam komisi riset Badan Pengelola Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong, menyampaikan, karst Gombong Selatan yang punya banyak goa menjadi ekosistem banyak satwa yang berfungsi menopang pertanian sekitar. ”Misalnya di kawasan Kandangan ini ada Tyto alba, salah satu spesies burung hantu besar. Dia bisa makan tikus. Ada juga kelelawar insektifor, pemakan serangga,” katanya.
Pada 1995, Putut mengamati kelelawar insektifor itu ternyata memakan wereng. Di Goa Petruk, misalnya, ada sekitar 150.000 ekor kelelawar pemakan serangga. Sekali makan, satu kelelawar bisa memakan 10 gram wereng. ”Kelelawar ini dalam semalam makan dua kali. Jika ditotal, semalam mereka semua bisa memakan 15 ton wereng,” ujarnya.
Untuk itu, kata Putut, bentang alam ini secara tidak langsung melindungi petani di delapan kabupaten karena daya jelajah kelelawar tersebut bisa mencapai 30 kilometer. Wilayah itu mencakup Kebumen, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Purworejo, dan Kulon Progo (DIY).
”Fungsi-fungsi inilah yang kadang tidak disadari. Misalnya, kelelawar bisa membantu pembuahan bunga durian. Jika tidak ada bentang alam ini dan tidak ada kelelawar, maka bunga durian di Banyumas sulit berbuah. Pada akhirnya petani gagal panen,” ujarnya.
Sekretaris Kelompok Tenaga Ahli Badan Pengelola Taman Bumi Karangsambung-Karangbolong Chusni Ansori menyampaikan, kawasan taman bumi akan bermakna kalau punya dampak ekonomi berkelanjutan dan konservasi yang terjaga. Untuk itu dibutuhkan sinergi dari lima komponen, yaitu kelompok peneliti atau akademisi, pemerintah, media, swasta, dan komunitas warga. Seluruh pihak juga harus punya semangat senada.
Sebab, dalam konsep taman bumi, pelestarian bukit karst dan goa di kawasan Gunung Sewu ataupun Karangsambung-Karangbolong bukan saja untuk kepentingan wisata. Merawat bentangan karst pada akhirnya menjaga keberlanjutan peradaban manusia.