Diduga malapraktik, bayi tujuh hari meninggal usai dioperasi. RSUD Doris Sylvanus, Palangkaraya, sebut sesuai prosedur.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Pihak Rumah Sakit Umum Daerah Doris Sylvanus, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menilai bayi yang meninggal usai dioperasi alami komplikasi penyakit. Mereka yakin prosedur sudah dilakukan maksimal dan akan mengikuti prosedur hukum.
Sebelumnya, AB bayi yang baru berusia tujuh hari terpaksa dioperasi karena alami kelainan bawaan pada ususnya sehingga tak bisa buang air besar. Bayi itu meninggal sembilan hari pascaoperasi (Kompas, 4 Februari 2024).
Peristiwa itu membuat orangtua AB melaporkan pihak rumah sakit ke Polda Kalteng atas dugaan malapraktik. Kuasa hukum keluarga AB, Parlin Bayu Hutabarat, mengatakan, upaya hukum ini penting untuk membuktikan kejanggalan yang dirasakan orangtua dari AB.
”Ada kejanggalan dalam kematian bayi ini sehingga perlu ditindak lebih jauh. Jika memang terbukti, berarti ada yang tidak kompeten di sini dan itu perlu dipidana,” kata Parlin usai membuat laporan di Polda Kalteng, Senin (5/2/2024).
Menanggapi hal itu, Wakil Direktur RSUD Doris Sylvanus Devi Novianti mengatakan, pihaknya akan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Ia masih yakin dokter dan tenaga kesehatan yang menangani kasus ini telah maksimal menolong bayi.
Saat Kompas bertanya soal penyebab utama kematian bayi pascaoperasi, Devi tak bisa mengungkapkannya. Menurut dia, penyebab kematian bayi ini banyak dan kompleks untuk dijelaskan.
”Diagnosisnya enggak hanya satu. Kalau saya lihat, itu banyak sekali, ada lebih dari 10 (penyebab) yang ada pada bayi dan kami berupaya mengoreksinya,” kata Devi.
Kondisi AB, kata Devi, pada saat dirujuk ke RSUD Doris Sylvanus sudah dalam keadaan gawat dan butuh tindakan cepat sehingga perlu dilakukan operasi. AB terkena penyakit megacolon congenital atau disebut juga hirschsprung.
Dalam laman informasi kesehatan RSUP Dr Sardjito, megacolon congenital merupakan penyakit tidak adanya ganglion saraf parasimpatis pada lapisan mukosa dan submukosa usus besar mulai anus hingga usus di atasnya. Kondisi itu membuat AB tidak bisa BAB.
Jadi, kalau enggak marah-marah, anak saya enggak dicek.
Walakin, kata Devi, megacolon congenital terjadi lantaran AB menderita penyakit bawaan lahir yang disebut atresia ileum atau kegagalan pembentukan usus halus yang terjadi sejak lahir. Rumah sakit kemudian melakukan operasi dengan memotong dan menyambungkan kembali usus yang masih normal.
”Tetapi enggak hanya itu, bayi tersebut juga punya kelainan jantung,” ujarnya.
Devi menambahkan, pascaoperasi, bayi sempat bereaksi normal dan sudah bisa buang air besar (BAB). Ia juga membenarkan jika dokter menyarankan untuk memberi ASI pada bayi karena menunjukkan kepulihan. Setelah operasi, bayi masuk ke rungan high care unit (HCU) dengan pengawasan tenaga kesehatan.
”Dua hingga tiga sekali dicek, kok. Kalau ada kejadian tertentu, petugas juga siap,” katanya.
Menurut Devi, banyaknya penyakit bawaan juga komorbid dan infeksi jadi penyebabnya. ”Anak ini berakhir dengan infeksi berat dan lebih menyeluruh, bukan karena operasinya aja,” kata Devi.
Afner Juliwarno (31), ayah dari AB, mencatat setidaknya lima kali selang oksigen lepas begitu juga monitor jantung. Beberapa kali ia juga harus berteriak, marah-marah ke petugas, agar anaknya dilihat keadaannya.
”Jadi, kalau enggak marah-marah, anak saya enggak dicek,” kata Afner.
Afner tak terima. Menurut dia, banyak kelalaian yang terjadi. Ia menduga terjadi infeksi pada perut yang dioperasi. Sebab, ia mencium bau yang tak sedap bersumber dari perut tempat dilakukan bedah.
”Saya melihat ada kejanggalan. Maka dari itu, ini perlu dilaporkan agar semuanya jelas,” kata Afner.