Bayi di Palangkaraya Meninggal Seusai Dioperasi, Orangtua Lapor Polisi
Orangtua bayi itu menduga ada malapraktik dalam penanganan anak mereka. Kasus ini lalu dilaporkan ke polisi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Seorang bayi laki-laki di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, meninggal setelah menjalani operasi di bagian perut saat berusia 7 hari. Orangtua bayi berinisial AB itu melaporkan peristiwa tersebut ke polisi karena menduga ada malapraktik dalam penanganan anak mereka.
Ayah AB, Afner Juliwarno (31), Minggu (4/2/2024), di Palangkaraya, mengatakan, anaknya itu lahir pada 9 Januari 2024 di Rumah Sakit Islam PKU Muhammadiyah, Palangkaraya. Pada hari itu juga, dokter yang menangani meminta AB dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Doris Sylvanus, Palangkaraya.
Saat itu, AB mengalami muntah-muntah ketika diberikan susu menggunakan dot. Ibunda AB saat itu belum bisa memberikan air susu ibu (ASI) lantaran air susunya belum keluar.
Setelah sampai di RSUD Doris Sylvanus, AB didiagnosis tidak bisa buang air besar. Afner menambahkan, sesudah itu, dokter meminta persetujuannya untuk melakukan operasi pada AB. Dokter mendiagnosis AB terkena penyakit megacolon congenital atau disebut juga hirschsprung.
Berdasarkan laman informasi kesehatan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Yogyakarta, megacolon congenital merupakan penyakit tidak adanya ganglion saraf parasimpatis pada lapisan mukosa dan submukosa usus besar, mulai anus hingga usus di atasnya. Kondisi itu membuat AB tidak bisa buang air besar.
Afner pun menyetujui permintaan operasi tersebut. AB lalu menjalani operasi pada Selasa (16/1/2024). ”Dokter bilang enggak ada alternatif lain, hanya operasi. Meskipun saya ragu anak umur tujuh hari, kok, dioperasi,” katanya.
Menurut Afner, operasi tersebut berjalan lancar. Namun, setelah itu, Afner mulai melihat keanehan. Sebab, sesudah operasi, anaknya tidak dimasukkan ke dalam inkubator atau ruang unit perawatan intensif (ICU). AB hanya ditempatkan di kamar biasa sehingga Afner dan istrinya bisa tetap melihat bahkan menyentuhnya.
”Saya catat setidaknya ada lima kali selang oksigennya lepas dan monitor jantung mati, tetapi tunggu diprotes baru datang (perawat dan dokter) dan diurus,” kata Afner.
Afner memaparkan, pada Senin (22/1/2024), dokter datang untuk memeriksa AB. Saat itu, kondisi AB sedang rewel, tapi sudah membuka mata dan mulai berinteraksi. Dokter lalu mengatakan AB mulai membaik dan meminta istri Afner untuk menyusui AB. Hal itu pun dituruti oleh istri Afner.
Namun, sehari setelahnya, kondisi AB berubah. Pada Selasa (23/1/2024) malam, Afner melihat selang oksigen AB lepas lagi. ”Perban di perutnya juga lepas. Saat itu, saya minta tolong adik lapor ke direktur rumah sakit. Itu juga saya marah-marah dulu baru anak saya dilihat,” kata Afner.
Afner menambahkan, pada Rabu (24/1/2024) siang, dirinya mencium bau tidak sedap saat mencium anaknya. AB kemudian dibawa ke ruang ICU. Saat itu, Afner diperintah dokter jaga untuk mengambil cairan albumin dan mencari transfusi darah.
Waktu itu, Afner juga sempat melihat darah keluar dari selang yang terpasang ke tubuh AB. ”Kata dokter, anak saya kurang trombosit juga,” ujarnya.
Keesokan harinya atau Kamis (25/1/2024), Afner menyebut AB meninggal. Dari foto yang diambil Afner, tubuh mungil AB terlihat menguning dan perutnya membesar.
”Saya marah sama dokter kenapa enggak pascaoperasi langsung di ICU dan inkubator. Dokternya malah kaget. Dia bilang anak saya masuk inkubator setelah operasi, padahal faktanya enggak,” kata Afner.
Saya catat setidaknya ada lima kali selang oksigennya lepas dan monitor jantung mati.
Setelah kejadian itu, Afner memutuskan untuk melapor ke polisi karena menduga ada malapraktik dalam penanganan anaknya. Pada Senin (29/1/2024), dia telah membuat laporan pengaduan masyarakat ke Polda Kalteng.
Dia pun berencana membuat laporan resmi bersama kuasa hukum ke Polda Kalteng pada Senin (5/2/2024). ”Saya melihat ada kelalaian, makanya ini harus diperkarakan,” ujarnya.
Kuasa hukum Afner, Parlin Bayu Hutabarat, menjelaskan, berdasarkan pengamatan pada kondisi bayi, keterangan dari orangtua, dan dokumen terkait, ada beberapa kejanggalan dalam kematian AB. Oleh karena itu, dia menduga ada kelalaian dalam penanganan terhadap AB.
”Bayi ini meninggal dalam kondisi yang janggal. Makanya kami minta ini diselidiki dan disidik. Kalau memang salah, harus pidana,” kata Parlin yang berasal dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Genta Keadilan.
Wakil Direktur RSUD Doris Sylvanus, Devi Novianti, mengungkapkan, tim dokter rumah sakit itu sudah maksimal mengambil tindakan medis untuk membantu pasien tersebut. Devi menyebut, pasien itu menderita kelainan bawaan sehingga diperlukan operasi di bagian perut.
”Ini ada kelainan bawaan dan infeksi yang meluas. Kami sudah melakukan upaya-upaya untuk menangani pasien sesuai standar pelayanan medis. Kalau menurut kami, ini miskomunikasi,” kata Devi.