Mahasiswa FH UB: Komitmen Negara Menegakkan Agenda Reformasi Mulai Hilang
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya mengeluarkan pernyataan sikap terkait demokrasi di Tanah Air.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·4 menit baca
MALANG, KOMPAS — Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, mengeluarkan pernyataan sikap terkait demokrasi di Tanah Air belakangan ini. Mereka berharap anak-anak muda lain turut bersuara.
Pernyataan sikap beberapa mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH UB) tersebut dibacakan Wakil Presiden BEM FH UB Azka Rasyad Alfatdi dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UB Michael Purnomo, Sabtu (3/2/2024). Mereka menyoroti negara yang dinilai mulai kehilangan komitmennya dalam menegakkan amanat reformasi.
”Negara ini tampak terlihat kehilangan komitmennya dalam menegakkan amanat reformasi karena haus akan melanggengkan kekuasaannya melalui cara-cara yang nihil etika sehingga ini menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat. Sebagai kepala negara, seharusnya Presiden Joko Widodo dapat bersikap selayaknya negarawan, bukan malah memberikan keberpihakan,” kata Azka.
Menurut Azka, hari itu mereka membuat pernyataan sikap yang ditunjukkan kepada Presiden Joko Widodo. Mahasiswa berharap Jokowi dan para pejabat di pemerintahan bisa mengembalikan koridor demokrasi di Indonesia saat ini dengan memperhatikan beberapa poin seruan mereka.
Poin seruan mereka, di antaranya, mengecam segala tindakan Presiden Joko Widodo yang didasarkan atas kepentingan pribadi dengan menggunakan alat dan sumber daya negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Lalu, menuntut agar kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui Pemilu 2024 dijalankan tanpa intimidasi dan intervensi dari alat kekuasaan negara. Di samping itu, mendesak agar seluruh jajaran kabinet yang terlibat secara langsung dalam pemilu untuk segera mengundurkan diri dan tidak menggunakan alat kuasanya dalam rangka mendukung salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Mereka juga menuntut agar aparatur sipil negara, baik di pusat maupun di daerah, menjaga netralitas selama pelaksanaan pemilu, menuntut agar revisi Undang-Undang Pemilu yang berkenaan dengan keterlibatan presiden dan alat kuasa lainnya secara langsung dalam pemilu untuk secepatnya disahkan, serta mengajak seluruh elemen masyarakat bersama-sama membangun kesadaran kolektif akan kebutuhan untuk memperbaiki tatanan demokrasi dan koridor konstitusi di Indonesia.
”Kami tergerak bersuara bahwa pada hari ini. Kami melihat cita-cita reformasi, yaitu bagaimana kita menegakkan hukum, diabaikan oleh Presiden Joko Widodo dan pemimpin negeri saat ini. Kami percaya bahwa dengan tindakan kami sebagai mahasiswa, akan menjadi pemantik bagi anak muda dan intelektual pada umumnya. Ini salah satu tugas kami sebagai mahasiswa yang harus ikut mencerdaskan masyarakat,” kata Azka.
Mahasiswa FH UB melihat, saat ini hukum justru dipolitisasi para penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. ”Itu sebabnya kami bersikap sebagai mahasiswa fakultas hukum. Kami juga belum menemukan mahasiswa di Jatim, khususnya di UB, yang bersikap terkait demokrasi di akhir-akhir pemerintahan Presiden Jokowi ini. Ini tanggung jawab kita bersama untuk mengambil peran penting dalam jalannya demokrasi di Indonesia,” kata Azka.
Hingga saat ini pernyataan mahasiswa UB ini merupakan pernyataan sikap terbuka pertama di Jatim terkait demokrasi di Tanah Air yang dinilai perlu diselamatkan.
Azka menambahkan bahwa UB punya andil penting dalam menjaga kedaulatan negara ini. ”Anak muda pun harus bersuara dan tidak hanya main di medsos. Sudah seharusnya mahasiswa bersikap, bicara sesuai kapasitas dan intelektualitasnya. Dan ini harus disuarakan, bukan omong doang, like and dislike. Dengan kita kuliah, kita punya kemampuan intelektual mumpuni untuk bersikap secara ilmiah,” kata Azka.
Adapun Michael Purnomo, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum UB, mengatakan, sebagai mahasiswa fakultas tertua di UB, bahkan lahirnya FH UB lebih dahulu ketimbang Universitas Brawijaya, mereka punya tanggung jawab moral untuk turut memberikan pendapat pada jalannya kehidupan berdemokrasi di Tanah Air.
”Mahasiwa FH bukan fakultas undang-undang. Kami berlajar hukum dan kami melihat perkembangan di masyarakat, di mana hukum di Tanah Air sedang dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Yang harus diketahui, di Indonesia, selain ada hukum tak tertulis, juga ada hukum tak tertulis, seperti norma etika. Itu sebabnya etika itu penting. Banyak pejabat negara sibuk kampanye, tetapi mereka mengesampingkan tugas mereka. Hal lain, misalnya, soal bansos, di mana bansos era pandemi jumlahnya lebih sedikit ketimbang pada 2024 ini. Ini bagaimana bisa terjadi,” kata Michael.
Oleh karena itu, Michael mengajak pejabat negara berani mengundurkan diri saat mereka berkampanye. ”Itu masalah etika. Misalnya presiden boleh kampanye asal tidak gunakan failitas negara. Namun, bagaimana presiden tidak menggunakan fasilitas negara karena fasilitas pengamanan, misalnya, melekat pada presiden dan tidak bisa dilepaskan dari pribadi presiden,” katanya.
Hingga saat ini, pernyataan mahasiswa UB ini merupakan pernyataan sikap terbuka pertama di Jatim terkait demokrasi di Tanah Air yang dinilai perlu diselamatkan.