Geliat ”Start Up” Berorientasi Lingkungan dari Lombok
Start up dan usaha kecil menengah yang berorientasi lingkungan turut tumbuh di Lombok, NTB.
Perusahaan rintisan atau start up dan usaha kecil menengah terus berkembang di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Mereka tidak mengejar keuntungan semata, tetapi juga bergerak menjalankan usaha dengan berorientasi pada pelestarian lingkungan.
Para tamu undangan bertepuk tangan begitu sesi presentasi dari empat perwakilan start up dan usaha kecil menengah (UKM) selesai, Rabu (31/1/2024), sekitar pukul 11.00 Wita. Mereka memang pantas mendapatkan apresiasi itu. Selain karena tampil meyakinkan dan penuh percaya diri, seluruh presentasi disampaikan dalam bahasa Inggris. Baik saat menjelaskan detail usaha masing-masing, maupun menjawab pertanyaan di sela-sela presentasi.
Seusai presentasi, mereka kemudian mengajak para tamu undangan ke lapak masing-masing. Lalu dengan antusias, mereka menjelaskan kembali detail produk hingga mengajak tamu untuk mencobanya.
Pagi itu, empat UKM, yakni Conplas, Karya Pesisir, Oganic, dan Lamops, mempresentasikan perjalanan hingga pencapaian usaha mereka. Mereka presentasi di hadapan Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia, juga sejumlah lembaganya, seperti Badan Program Pembangunan PBB (UNDP), Program Lingkungan PBB (UNEP), Organisasi Pengembangan Industri PBB (Unido), dan Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef).
Keempat UKM yang berasal dari Lombok itu termasuk dalam 12 usaha rintisan dan UKM se-Indonesia yang terpilih dalam program Blue Finance Accelarator (BFA). Program pelatihan dan pemberdayaan untuk mengakses peluang investasi itu merupakan inisiatif bersama dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Asian Development Bank, dan UNDP. Program ini di bawah program bersama PBB Accelerating Sustainable Development Goals Investment (Assist) di Indonesia.
Empat UKM asal Lombok itu terpilih karena dinilai punya inisiatif mendukung pengembangan ekonomi biru atau ekonomi berkelanjutan. Conplas atau PT Konservasi Plastik Bumi Lestari yang diinisiasi sejak 2018, mengolah sampah plastik menjadi berbagai produk ramah lingkungan. Area workshop Conplas di Desa Murbaya, Lombok Tengah, sekitar 17 kilometer timur Mataram, ibu kota NTB, jadi lokasi kegiatan pagi itu.
”Kami berangkat dari gerakan kelompok pemuda bernama Bajang Peripih Doro di Murbaya. Kelompok ini bergerak mengumpulkan dan membersihkan sampah di kampung-kampung,” kata CEO Conplas Amrul Ikhsan.
Dalam perjalanannya, gerakan itu kemudian menjadi perusahaan rintisan. Mereka mengolah sampah plastik yang dikumpulkan dari berbagai tempat di Lombok, baik dari kampung-kampung, bank sampah, maupun sekolah-sekolah.
Produk yang dihasilkan berupa eco block atau hasil olahan plastik non-recycle dalam bentuk paving block dan pot block. Mereka juga membuat eco grace, semacam gemuk atau pelumas padat yang bisa digunakan pada suku cadang mesin produksi dan kendaraan.
Baca juga: Perempuan Pesisir NTB Menolak Jadi Penonton
Sejak mulai produksi dan komersialisasi, produk mereka diminati pembeli dari berbagai daerah di NTB, seperti Mataram, Lombok Barat, dan Lombok Utara. Pembeli datang dari kampus dan sekolah-sekolah, juga perseorangan.
”Kami baru jalan dua tahun. Tentu banyak hal yang akan terus dilakukan. Baik untuk memaksimalkan produksi, maupun mengedukasi masyarakat tentang menjaga lingkungan,” kata Amrul.
Sementara Oganic atau PT Organic Lombok adalah usaha bidang komestik. Menurut Apoteker dan Kepala Produksi Oganic Aulia Fikri Annisa, usaha itu dirintis pada 2018 sebagai distributor suplemen untuk kecantikan. Sejak 2021, Oganic yang berpusat di Kota Mataram menjadi industri hingga sekarang.
”Kami menghasilkan produk perawatan kulit atau skincare, tetapi bahan bakunya diambil dari petani lokal di NTB. Misalnya cokelat, kopi, hingga rumput laut,” kata Aulia.
Menurut Aulia, Oganic berkomitmen mendukung ekonomi lokal, baik lewat bahan baku dan merekrut karyawan dari warga lokal. Komitmen lainnya juga terkait pelestarian lingkungan.
”Produk kami yang sekarang didistribusikan ke sejumlah daerah di Indonesia, menggunakan formulasi ramah lingkungan. Misalnya, tidak menggunakan sodium lauryl sulfate atau kandungan yang berbahaya bagi tanah dan air,” kata Aulia.
Oganic juga memiliki program return packaging, yakni menerima bekas kemasan produk dari para pembeli. Kemasan yang diperoleh kemudian didaur ulang.
Pesisir
Adapun Karya Pesisir adalah koperasi dan fasilitator yang berbasis di Batulayar, Lombok Barat. Karya Pesisir lahir dari keinginan untuk memperbaiki kondisi lingkungan dan meningkatkan ekonomi daerah pesisir tanpa menghilangkan jati diri kawasan itu.
Pendiri sekaligus Konsultan Karya Pesisir R Terra Gandewa mengatakan, sering kali, saat berbicara tentang ekonomi nelayan, banyak usaha rintisan yang fokus pada harga pembelian ikan atau cara memancing.
”Bagi kami, nelayan adalah pekerjaan yang paling sulit karena banyak hal. Mereka harus bertarung dengan cuaca yang berubah-ubah, ombak, juga ancaman nelayan modern dengan kapal dan alat tangkap yang lebih bagus. Belum lagi masalah bahan bakar yang kadang mahal,” kata Terra.
Baca juga: Ikhtiar Bersama Menjaga Pulau-pulau Kecil
Menurut dia, meski tetap melaut, nelayan juga perlu didorong untuk mendapatkan sumber pendapat lain. Salah satunya dengan mendorong hadirnya UKM. Mereka juga perlu didampingi dalam mengelola aset di pesisir baik sumber daya alam, sumber daya manusia, hingga limbah.
Saat ini ada empat UKM yang menjadi dampingan Koperasi Karya Pesisir. Mulai dari UKM yang bergerak di pengolahan kulit kerang mutiara, usaha pengolahan kelapa, usaha pembuatan sabun ramah lingkungan, hingga usaha reparasi kapal.
Dalam pendampingan itu, mereka menganalisis kebutuhan UKM untuk bisa terus tumbuh. Misalnya jika butuh sumber daya manusia, Karya Pesisir akan melatih masyarakat setempat untuk mengisi kebutuhan itu. Begitu pun dengan pemasaran hingga pengembangan produk. Koperasi kemudian menarik 30 persen dari keuntungan UKM binaan.
”Tetapi itu juga kami kembalikan ke masyarakat. Katakan, BPJS hanya membayar biaya persalinan. Tetapi, tidak dengan susuk dan popok. Melalui Karya Pesisir, potongan yang kita tarik dipakai untuk itu,” kata Terra.
Sementara Lamops adalah UKM yang mengolah sampah kulit kerang menjadi kerajinan bernilai. Penanggung Jawab Desain dan Pemasaran Lamops Mutiara Safira Gita mengatakan, Lamops berdiri sejak 2001.
”Lombok ini kan memang sumbernya mutiara. Lalu saat itu, kami melihat sampah dari mutiara, yaitu kulit kerangnya belum bernilai, dibuang begitu saja oleh peternaknya. Kami kemudian mulai mengolahnya menjadi produk yang lebih bernilai,” kata Gita.
Menurut Gita, produk awal mereka adalah gantungan kunci hingga tatakan gelas. Lalu sejak 2006, mulai berkembang ke aksesoris untuk perhiasan dengan teknik yang lebih rumit. Kini, harganya juga ikut meningkat.
”Jika gantungan kunci dijual tidak sampai Rp 50.000, sekarang produk dengan teknik itu dijual antara Rp 3 juta dan Rp 4 juta,” kata Gita.
Selain menyerap limbah hingga lebih dari satu ton limbah dari peternak mutiara di berbagai titik di Lombok, masyarakat sekitar usaha mereka di Dusun Tegal, Meninting, Lombok Barat, juga ikut terdampak. Misalnya, dengan membuka lapangan pekerjaan.
”Oleh karena itu, kami melatih dan merekrut warga sekitar untuk terlibat di Lamops,” kata Gita.
Haerul Anwar (29), salah satu karyawan Lamops, bergabung di usaha itu selama enam tahun. Ia bertugas di bagian produksi dengan gaji Rp 2,5 juta per bulan.
”Sebelumnya, saya kerja jadi kuli bangunan di kampung. Lalu ada usaha ini dan pemuda di sana dilatih. Termasuk saya. Setelah bisa, direkrut dan bekerja sampai sekarang,” kata Haerul.
Baca juga: Amiruddin, Bekas Pengebom Ikan yang Kini Menyelamatkan Karang
Tantangan
Sebagai usaha rintisan ataupun UKM, keberadaan mereka membawa manfaat. Selain bagi masyarakat sekitar, juga lingkungan. Tetapi di sisi lain, tantangan bagi keberlanjutan usaha mereka tetap ada.
Conplas, kata Amrul, terus menerima permintaan dari pembeli. Namun, karena mesin masih kecil, produksi mereka masih terbatas. ”Pendanaan juga jadi kendala. Di samping kesadaran masyarakat untuk semakin peduli pada sampah sehingga mau memilahnya sejak awal. Ini yang kami terus edukasi,” kata Amrul.
Karya Pesisir juga menghadapi kendala pendanaan. Menurut Terra, masih sulit menemukan mitra dengan orientasi yang sama.
”Kami pernah menerima tawaran investor dengan nilai fantastis. Mereka mau mendanai kami sesuai kebutuhan, tetapi minta saham. Kami tidak mau karena takutnya akan memengaruhi desa,” kata Terra. Tak pelak, ia pun menggunakan dana pribadi. Walaupun dampak Koperasi Karya Pesisir belum besar, tetapi setidaknya masih tetap berjalan.
”Kami percaya, ketika menanam yang baik, maka akan dapat yang baik juga. Sekarang jalan saja dulu, nikmati proses. Pada suatu saat pasti akan ada mitra yang sesuai atau cocok sama kami,” kata Terra.
”Kami percaya, ketika menanam yang baik, maka akan dapat yang baik juga. Sekarang jalan saja dulu, nikmati proses. Pada suatu saat pasti akan ada mitra yang sesuai atau cocok sama kami. ”
Sementara Lamops, kata Gita, berhadapan dengan persoalan SDM. Apalagi Lamops membuat produk yang membutuhkan perajin andal, sekaligus sabar dan teliti. Menyiasati hal itu, pelatihan kepada masyarakat terutama pemuda lokal atau masyarakat pesisir terus diberikan.
Adapun Oganic dihadapkan pada tantangan pada pemasaran. Menurut Aulia, dalam pemasaran, Oganic memang sudah mulai digitalisasi, tetapi masih kalah bersaing dengan industri besar. ”Kalau industri besar, pemasarannya bisa jor-joran,” kata Aulia.
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Provinsi NTB Ahmad Masyhuri mengatakan, hingga saat ini ada lebih dari 660.000 UKM di NTB yang bergerak di berbagai sektor. Pemerintah Provinsi NTB terus memberikan dukungan bagi peningkatan kapasitas UKM.
UNDP Deputy Resident Representative Sujala Pant mengatakan, kontribusi UKM di Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional mencapai sekitar 60 persen.
”Itu merupakan angka yang sangat tinggi. Apalagi memiliki bisnis yang memiliki dimensi keberlanjutan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat,” kata Sujala.
Agar bisa bersaing, kata Sujala, UKM di Indonesia memang harus memiliki produk yang menonjol. Jika produk itu memberi manfaat baik pada masyarakat maupun keberlanjutan, akan menjadi poin lebih sekaligus pertimbangan bagi pembeli.
Menurut Sujala, dukungan terhadap pengembangan UKM di Indonesia terus diberikan dengan melihat kebutuhan UKM tersebut. Ia juga berharap, pembelajaran dari program Blue Finance Accelarator bisa diperluas ke wilayah lain di Indonesia.
”Tentu saja kami selalu ingin menjaga agar prosesnya tetap dinamis. Jadi, kami belajar satu hal di fase ini dan kemudian di fase berikutnya. Kami mungkin harus mengubah beberapa hal. Namun, hal ini sangat tergantung juga pada umpan balik yang kami dapatkan dari para penerima manfaat,” kata Sujala.