Kawasan Gili di Lombok Utara, menjadi sebagian dari pulau-pulau kecil di Tanah Air yang dilanda abrasi. Pencegahan dari darat dan laut secara bersama-sama dan konsisten, sangat mendesak dilakukan.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·6 menit baca
Puluhan siswa Sekolah Dasar Negeri 3 Gili Indah, di Gili Meno, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, terlihat asyik menenteng bibit cemara laut di tangan masing-masing. Mereka berlarian di atas pasir putih yang lembut. Jam menunjukkan pukul 08.30 Wita. Matahari mulai meninggi, tetapi semangat anak-anak SDN 3 Gili Indah itu tidak surut.
Pagi itu, 14 Juli 2023, anak-anak tersebut menanam bibit cemara laut ke titik-titik penanaman. Tiap menemukan titik penanaman, mereka berhenti dan berjongkok. Mereka lalu membuat lubang dengan tangan. Ketika lubang dirasa cukup, mereka memasukkan bibit cemara laut, dan menimbunnya dengan pasir. Seusai menanam, mereka kembali mengambil bibit cemara dan mengulangnya sampai 100 bibit pohon tertanam di pesisir pantai di sisi timur Gili Meno tersebut.
Pagi itu, tidak hanya pelajar sekolah dasar, puluhan orang dari berbagai latar belakang, ikut dalam kegiatan penanaman anakan cemara laut di sisi timur Gili Meno. Meno adalah salah satu pulau kecil di kawasan tiga gili. Selain itu, ada Gili Trawangan dan Gili Air. Gili Meno secara administratif berada di Kecamatan Pemenang.
Ketiga pulau kecil itu menjadi destinasi wisata unggulan Pulau Lombok. Pada puncak liburan atau high season sekitar Juli-September setiap tahun, ribuan wisatawan mancanegara datang setiap hari ke sana.
Di tengah menggeliatnya pariwisata yang berdampak bagi perekonomian masyarakat dan daerah, ketiga pulau kecil itu terancam. Dampak perubahan iklim berupa naiknya permukaan air laut kian menggerus kawasan pesisir di sana.
”Di Tiga Gili, termasuk Meno, hampir setiap tahun terkena abrasi. Di Meno, bisa tiga kali di awal, pertengahan, dan akhir tahun,” kata Masrun, Kepala Dusun Gili Meno.
Upaya mencegah abrasi pun terus dilakukan di kawasan Gili. Berbagai pihak yang menggantungkan hidup dari Gili ikut bergerak. Baik antisipasi di daratan ataupun perairan.
Menurut Masrun, penanaman vegetasi adalah salah satu yang dilakukan. Misalnya jika ada kegiatan tertentu di Meno, mereka menyisipkan program penanaman. Seperti penanaman cemara laut, pagi itu, yang merupakan salah satu kegiatan program Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI) Asian Development Bank yang dilaksanakan oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Tidak hanya menanam vegetasi, mereka juga meningkatkan kapasitas masyarakat di kawasan tersebut. Misalnya, mengadakan pelatihan penanggulangan abrasi pada 2019. Pelatihan itu melibatkan para pengusaha di kawasan Meno.
Hasil pelatihan itu, kata Masrun, para pengusaha terutama yang usahanya rawan abrasi di sisi timur dan utara pulau, menanggulangi sementara dengan melepas batu kali atau bronjong.
”Langkah itu bisa mengurangi abrasi di tempat mereka. Tetapi, pada saat yang sama, membuat abrasi di pantai sebelahnya sehingga tidak selesai-selesai,” kata Masrun.
Wisatawan yang akan berlibur di Gili Trawangan, naik ke private speed boat dalam kondisi gelombang tinggi di Pelabuhan Bangsal, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, seperti terlihat pada Minggu (1/1/2022) siang.
Terumbu karang
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB Muslim menjelaskan, abrasi yang terlihat hari ini termasuk di kawasan Gili, menunjukkan tidak ada lagi yang menghambat atau memperlambat kecepatan tingkat rambatan gelombang dan arus susur pantai.
Hal itu memperlihatkan tiga ekosistem, yakni terumbu karang, padang lamun, dan vegetasi pantai yang bertugas memperlambat laju gelombang, khususnya arus susur pantai, sedang tidak baik-baik saja.
Oleh karena itu, menurut Masrun, selain antisipasi dengan penanaman vegetasi dan pemasangan penahan gelombang sementara, rehabilitasi terumbu karang juga mulai dilakukan. Hal itu dilakukan bersama berbagai komunitas di Gili.
Aditya Tubagus Maulana dari PT Duta Cipta Mandiri selaku konsultan kegiatan COREMAP-CTI mengatakan, rehabilitasi terumbu karang sudah dilakukan di tiga gili dengan luasan 2,7 hektar.
Wisatawan berjalan di atas pasir putih Pulau Paserang di Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan Gili Balu, Kecamatan Poto Tano, Kabupaten Sumatera Barat, Senin (17/7/2023). Pulau Paserang dan tujuh pulau kecil lain di Gili Balu, memiliki potensi wisata bahari yang sangat besar dan kini dikembangkan pemerintah daerah bersama berbagai pihak di kawasan tersebut.
Rehabilitasi dilakukan dengan menggunakan 1.000 ripstar (kerangka dari besi yang dilapisi pasir dan dibenamkan di dasar laut) dan 1.500 fishdom (terumbu karang buatan). Total bibit terumbu karang sebanyak 10.000 dengan sekitar 12 jenis terumbu karang.
”Rehabilitasi dilakukan dengan melibatkan komunitas masyarakat. Mereka terlebih dahulu dilatih terkait metode rehabilitasi terumbu karang. Setelah itu, komunitas tersebut juga memonitor karang yang sudah ditanam. Sejak November 2022 hingga sekarang, sudah enam kali. Lebih banyak dari idealnya setahun dua kali,” kata Aditya.
Pengurus Kelompok Masyarakat Pengawas Gili Matra Amirduin Daeng Ngemba mengatakan, masyarakat di Gili menyadari bahwa karang menjadi bagian penting bagi kawasan itu. Terutama jika dikaitkan dengan kegiatan pariwisata.
”Tujuan wisatawan ke sini kan untuk itu (melihat karang dengan habitat lautnya). Itu yang kami jual di sini. Tetapi kita tidak mau orientasinya cari uang saja. Tentu juga harus peduli dan tidak menonton saja jika ada kerusakan (pada karang),” kata Amirudin.
Gerakan bersama untuk menjaga keberlangsungan pulau-pulau kecil harus terus ditumbuhkan. Apalagi pulau-pulau kecil hampir menghadapi ancaman yang sama.
Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang Imam Fauzi mengatakan, abrasi tidak hanya terjadi di Tiga Gili.
”Pulau-pulau kecil punya ekosistem spesifik yang tidak bisa dipisahkan antara darat dan laut. Kejadian abrasi, juga kami alami di tempat lain. Di Kapoposang, Pangkep, Sulawesi Selatan, misalnya, sudah terkena abrasi parah. Pantainya sudah mundur beberapa meter, sudah mendekati rumah penduduk,” kata Imam.
Menurut Imam, abrasi tidak hanya terjadi akibat kenaikan air laut sebagai dampak perubahan iklim. Akan tetapi, juga dipicu oleh aktivitas manusia. Misalnya, kegiatan pariwisata di gili dengan memanfaatkan daerah sepadan pantai yang harusnya akses terbuka, ternyata dimanfaatkan untuk sarana seperti restoran kecil hingga tempat berjemur.
Wisatawan menunggu kapal cepat yang akan membawa mereka kembali ke Bali di Pelabuhan Gili Trawangan, Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Kamis (10/8/2023).
”Di Kapoposang, dulu karang depan rumah warga bagus. Tetapi aktivitas bom ikan sangat marak. Setelah kejadian itu, karang rusak dan mulai terjadi abrasi sampai sekarang,” kata Imam.
Seperti di kawasan gili, proses rehabilitasi karang juga telah dilakukan di Kapoposang. Menurut Imam, setelah berjalan empat tahun, karang-karang di sana sudah mulai tumbuh kembali.
Upaya-upaya merehabilitasi ekosistem tentu tidak cukup. Pihak terkait harus konsisten dan diperlukan ketegasan dalam penataan ruang.
”Saat penentuan tata ruang, harus memperhitungkan masalah lingkungan hidup, daya dukung dan daya tampung kawasan tersebut. Termasuk pulau-pulau kecil,” kata Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti.
Sri menambahkan, secara nasional, Indonesia punya rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dokumen tersebut sudah diturunkan hingga tingkat kabupaten. Itu harusnya menjadi kesepakatan yang bisa dijalankan mulai dari kabupaten hingga nasional untuk aksi terhadap dampak perubahan iklim.
”Langkah kecil kita (menanam vegetasi cemara laut di Meno), adalah upaya untuk memperpanjang usia pulau-pulau kecil ini,” kata Sri.
Dampak perubahan iklim tengah berlangsung dan mengancam pulau-pulau kecil di Tanah Air. Termasuk di kawasan Gili, Lombok. Pulau-pulau kecil itu, kini ”memanggil” siapa saja untuk ikut serta, dalam ikhtiar menjaga masa depannya.