Semarang Langganan Banjir, Pelibatan Masyarakat Dibutuhkan
Penanganan banjir dan rob di Kota Semarang, Jateng, dinilai minim melibatkan masyarakat. Masyarakat bakal dilibatkan.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Banjir dan rob masih menjadi bencana langganan yang mengintai masyarakat, khususnya, di Kota Semarang, Jawa Tengah. Ke depan, masyarakat harus dilibatkan untuk mencegah serta menekan dampak buruknya.
Direktur Bina Operasi dan Pemeliharaan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Muhammad Adek Rizaldi mengatakan, penanganan banjir dan rob terdiri dari dua jenis, yaitu struktural dan non-struktural. Penanganan struktural dilakukan lewat pekerjaan fisik, seperti pembangunan dan meninggikan tanggul serta normalisasi sungai.
Sementara itu, penanganan non-struktural dilakukan untuk mengembalikan fungsi daerah tangkapan. Seharusnya air hujan masuk ke dalam tanah atau ditangkap di wilayah hulu sebesar 70 persen. Sebesar 30 persen lainnya mengalir ke sungai. Kini, yang terjadi adalah sebaliknya.
”Untuk mengembalikan kondisi 70 persen terserap dan 30 persen mengalir ke sungai, kita perlu memperluas daerah serapan di hulu,” kata Adek di Kota Semarang, Rabu (31/1/2024).
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana Harya Muldianto menuturkan, untuk memperluas daerah tangkapan, diperlukan partisipasi masyarakat. Menurut dia, selama ini, penanganan banjir berbasis partisipatif, kata Harya, masih minim.
”Artinya, perlu ada keikutsertaan di luar pihak, misalnya komunitas atau kelompok masyarakat yang bisa kami ajak urun rembuk tentang bagaimana bisa mengurangi risiko genangan. Karena yang bermasalah di hulu, itu di luar kewenangan kami, tetapi masyarakat dan pemerintah daerah,” ucap Harya.
Ke depan, Harya akan melibatkan masyarakat mengembalikan kapasitas serapan di hulu. Langkah pertama yang bakal dilakukan adalah menggugah kesadaran mengembalikan fungsi hutan dan menanam kembali tanaman keras yang bisa menyerap banyak air.
”Kami akan menarik partisipasi masyarakat dengan sosialisasi lewat sekolah, organisasi masyarakat, ataupun forum-forum. Kami juga akan menyosialisasikan pentingnya mengelola suatu kawasan supaya tidak menimbulkan atau menambah dampak negatif terhadap perubahan tata guna lahan,” ujar Harya.
Guru Besar Fakultas Teknik Sipil Universitas Diponegoro Ignatius Sriyana menyebut, sekitar 60 persen wilayah hulu Kota Semarang dalam kondisi kritis. Untuk memperbaiki keadaan itu, semua orang harus dilibatkan, tidak boleh ada yang tertinggal.
”Kota Semarang dan sekitarnya harus dirawat secara utuh dari hulu sampai hilir. Selain itu, pembentukan wadah untuk berkolaborasi para pihak serta pembangunan kapasitas bagi komunitas juga perlu dilakukan,” ujar Sriyana.
Selain kritisnya kondisi hulu, Kepala Bidang Sumber Daya Air dan Drainase Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang Mochamad Hisam Ashari menyebut, persoalan saluran air atau drainase juga memicu terjadinya banjir. Menurut Hisam, aliran air di drainase kerap terhambat sampah yang dibuang sembarangan.
”Sampah membuat daya tampung saluran air atau drainase jadi berkurang. Jadi, saat ada hujan deras, air tidak bisa mengalir kemudian limpas menjadi banjir,” kata Hisam.
Tak hanya tersumbat sampah, sejumlah saluran drainase di Kota Semarang juga disebut Hisam banyak yang ditutup. Penutupan itu dilakukan biasanya karena di atasnya dibangun bangunan liar dan pembangunan jalan masuk. Untuk itu, Hisam mengimbau semua pihak agar tidak sembarangan menutup drainase.