Perkawinan anak bukan solusi, melainkan justru menjerumuskan anak perempuan pada masalah yang lebih kompleks.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Jumlah kasus pernikahan anak, terutama di daerah terpencil, di Lampung terbilang tinggi dalam tiga tahun terakhir. Padahal, pernikahan anak bukan solusi. Praktik itu justru menjerumuskan anak pada masalah yang jauh lebih besar.
Berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Bandar Lampung yang dihimpun Lembaga Advokasi Perempuan Perkumpulan Damar, selama periode 2017-2019, jumlah permohonan dispensasi kawin untuk anak sebanyak 233 pemohon.
Tahun 2020, jumlahnya meningkat signifikan menjadi 714 pemohon. Di tahun 2021, jumlahnya tidak terpaut jauh, sebanyak 708 pemohon.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Damar Eka Tiara Chandrananda menuturkan, dari penelitian yang dilakukan September-November 2023, muncul ragam alasan yang melatarbelakangi pernikahan anak. Penelitian dilakukan di pelosok Tanggamus, Pesisir Barat, dan Lampung Selatan.
”Alasan utamanya ekonomi. Namun, ada juga yang terpengaruh pola asuh, media sosial, pola pikir soal tubuh, hingga budaya yang kental akan pengaruh usia perkawinan ideal,” kata Eka di Bandar Lampung, Sabtu (27/1/2024).
Perkumpulan Damar juga menemukan fakta mengejutkan lain. Di Kabupaten Lampung Selatan, misalnya, tiga anak perempuan dari satu keluarga menikah di usia kurang dari 19 tahun. Pernikahan juga sering kali dilakukan siri. Alasannya, keluarga tidak ingin direpotkan dengan urusan administrasi pengajuan dispensasi nikah.
Pernikahan tersebut juga dipicu budaya di keluarga yang menganggap pernikahan anak sudah menjadi kebiasaan. Sebelumnya, orangtua ketiga anak ini juga menikah di usia 13 tahun.
Sementara itu, di Pesisir Barat ditemukan perempuan yang sudah tiga kali menikah meski masih tergolong usia anak. Dia bahkan pernah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang di usia 16 tahun.
Akan tetapi, peneliti juga menemukan anak-anak yang bersemangat melanjutkan pendidikan dan tidak ingin terjerat dalam lingkaran perkawinan anak. Keinginan yang kuat dan penguatan dari keluarga turut memengaruhi pola pikir dari anak tersebut.
Koordinator Divisi Perempuan Perkumpulan Damar Lampung Sely Fitriani menuturkan, perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Anak dirampas pendidikan, kesehatan, dan terpapar berbagai risiko yang membahayakan. Jika tidak dicegah, risiko itu akan terus berlipat sehingga merugikan masyarakat secara keseluruhan.
Untuk itu, pihaknya juga telah menggagas lokakarya untuk membahas persoalan tersebut dengan sejumlah pihak. Selain di tiga kabupaten yang menjadi lokasi penelitian, lokakarya juga digelar di Bandar Lampung melibatkan berbagai lembaga di tingkat provinsi.
”Kami mendiskusikan hasil penelitian tersebut bersama para peserta sebagai studi kasus berdasarkan data dan temuan untuk pencegahan dan penanganan korban pernikahan dini. Harapannya, semua pihak dapat bertindak mencegah perkawinan anak,” kata Sely.
Menurut dia, pencegahan perkawinan anak bisa dilakukan pemerintah dengan cara mengkaji kembali dan menolak permohonan dispensasi pernikahan. Alasannya, perkawinan bukan solusi, melainkan justru menjerumuskan anak pada masalah lebih besar.
”Perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu, pengetahuan yang minim dan ketidaksiapan organ reproduksi juga membuat anak yang dilahirkan prematur atau kekurangan gizi hingga memicu tengkes,” katanya.
Asisten Bidang Administrasi dan Umum Pemprov Lampung Senen Mustakim mengatakan, pemda telah mengeluarkan regulasi untuk mencegah perkawinan anak. Salah satunya menerbitkan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 55 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan pada Usia Anak.
Selain itu, pemerintah juga mengupayakan penguatan ekonomi keluarga, meningkatkan pendidikan anak-anak di pelosok Lampung, memperkuat peran pemerintah desa, hingga berkolaborasi dengan berbagai lembaga pemerhati perempuan dan anak.