Penutur Muda Diperbanyak untuk Mencegah Kemunduran Bahasa Daerah di Papua
Program revitalisasi bahasa daerah sejak dini sebagai ikhtiar menghasilkan penutur muda demi mencegah kepunahan.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sejumlah bahasa daerah di Papua rentan mengalami kemunduran karena semakin kehilangan penutur muda. Revitalisasi bahasa daerah melalui pendidikan sejak dini menjadi ikhtiar untuk mencegah kemunduran yang bisa berujung pada kepunahan tersebut.
Berdasarkan data Balai Bahasa Papua, saat ini ada 428 bahasa daerah yang hidup dan tersebar di wilayah Papua. Angka ini berarti sekitar 60 persen dari 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, di Papua ada dua bahasa daerah yang telah punah karena kehilangan penutur.
”Pada umumnya, dari survei yang kami lakukan, sebagian besar bahasa daerah di Papua masuk kategori kemunduran menuju terancam punah,” kata Ahli Kata dan Istilah Balai Bahasa Papua, Sitti Mariati, saat ditemui di Jayapura, Papua, Rabu (24/1/2024).
Selama ini, dengan berbagai tantangan yang dihadapi, bahasa daerah mengalami kemunduran menuju kategori terancam punah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memetakan kondisi bahasa daerah dalam beberapa kategori, yakni aman, stabil, mengalami kemunduran, terancam punah, dan punah.
Mariati mengungkapkan, kemunduran bahasa daerah yang kehilangan penutur muda dipengaruhi sejumlah faktor. Mayoritas penutur muda hanya paham, tetapi tidak fasih dalam penuturan bahasa daerah.
”Sejumlah bahasa memiliki karakteristik pengucapan yang sulit. Di sisi lain, tenaga pengajar yang fasih berbahasa daerah juga minim di sekolah-sekolah,” ujar Mariati.
Dalam riset yang dilakukan Balai Bahasa Papua, ada sejumlah bahasa dengan penutur yang semakin berkurang. Bahasa Kanum Sota, misalnya, hanya dituturkan lebih kurang 100 orang yang tinggal di Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
”Kasus serupa juga banyak terjadi dengan bahasa daerah lain di Papua yang memiliki penutur di bawah 500 orang,” ujar Mariati.
Akademisi bahasa dan sastra Universitas Cenderawasih, Meggy Merlin Mokay, mengungkapkan, kondisi semakin terpinggirkannya bahasa daerah seakan tidak terhindarkan di era saat ini. Lingkungan yang semakin heterogen membuat bahasa daerah kian ditinggalkan pula.
Mayoritas penutur muda hanya paham, tetapi tidak fasih dalam penuturan bahasa daerah.
Kendati demikian, kata Meggy, bahasa daerah tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Apalagi ada sejumlah bahasa daerah yang menjadi kekayaan Papua dan Nusantara kian kehilangan penutur aktif. Jangan sampai Papua kembali kehilangan bahasa daerah, seperti yang terjadi dengan bahasa Tandia dan bahasa Maes yang telah dinyatakan punah sejak beberapa tahun lalu.
”Dengan begitu, pengenalan bahasa daerah ini perlu menyentuh penutur muda. Jalan terbaik adalah dengan dikenalkan di sekolah dengan pendekatan yang tidak terlalu kaku. Hal tersebut akan membuat bahasa daerah akrab dengan mereka dan bisa terus dituturkan,” ucap Meggy.
Revitalisasi lewat pendidikan
Sejak 2022 melalui kurikulum Merdeka Belajar, Kemendikbudristek melalui Balai Bahasa mendorong revitalisasi bahasa daerah sebagai terobosan pelestarian bahasa daerah. Di Papua, Balai Bahasa juga konsisten menyelenggarakan revitalisasi bahasa bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat.
Kepala Balai Bahasa Papua Sukardi Gau menyebut, program ini menyediakan bahan ajar untuk berbagai jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Pembinaan bahasa ini dilakukan dengan pendekatan yang lebih fleksibel, seperti melalui puisi, pidato, cerita, nyanyian rakyat, dan komedi tunggal atau mop dalam istilah lokal.
Pada 2024, program ini diadakan untuk 10 bahasa daerah Papua yang berada pada kategori mengalami kemunduran. Bahasa daerah tersebut meliputi Tobati di Kota Jayapura, Sentani di Kabupaten Jayapura, Sobei di Kabupaten Sarmi, Biyaboa di Kabupaten Keerom, dan Imbuti di Merauke. Selain itu, ada pula bahasa Kamoro di Kabupaten Mimika, Hatam di Manokwari, Moi di Kabupaten Sorong, Biak di Kabupaten Biak Numfor, serta Balim di Kabupaten Jayawijaya.
Setiap akhir tahun pula akan diselenggarakan Festival Tunas Bahasa Ibu di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. ”Dalam festival tersebut dihadirkan berbagai lomba, seperti mendongeng hingga nyanyian rakyat yang akan diikuti oleh para siswa, guru, hingga komunitas,” ujar Sukardi.