Rudapaksa Anak Perempuan di Surabaya Dipicu Ketiadaan Privasi dan Perlindungan
Rudapaksa anak perempuan 13 tahun di Surabaya oleh empat anggota keluarga jadi potret lemahnya privasi dan perlindungan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Rudapaksa terhadap anak perempuan berusia 13 tahun di Surabaya, Jawa Timur, harus menjadi keprihatinan masyarakat. Tanpa penanganan, kasus ini meninggalkan trauma mendalam bagi korban.
Korban berinisial B (13), bungsu dari dua bersaudara, siswi kelas 7 SMP, dan bertempat tinggal di rumah dua lantai di Tegalsari, Surabaya. Kediaman dengan luas lahan 24 meter persegi itu dihuni keluarga B yang berjumlah 4 orang, serta paman B yang masih lajang, dan paman ipar B yang menduda. Rumah itu berada di kawasan padat permukiman dengan akses gang selebar 1,5 meter sehingga cuma bisa dilewati dengan sepeda motor.
B adalah korban rudapaksa oleh kakaknya berinisial MNA (17), ayah berinisial ME (43), paman berinisial I (43), dan paman ipar berinisial JW (49). Kakaknya adalah siswa kelas 10 SMA. Ayahnya buruh bangunan. I adalah buruh swasta, sedangkan JW bekerja informal dan menduda sejak kematian istri setahun lalu.
”Tiga tersangka dalam penahanan, sedangkan satu tersangka karena masih di bawah umur dititipkan dan dikenai wajib lapor,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Ajun Komisaris Besar Hendro Sukmono, Senin (22/1/2024). Yang dititipkan di rumah shelter Pemerintah Kota Surabaya dan dikenai wajib lapor ialah MNA atau kakak korban.
Hendro mengatakan, penyelidikan kasus bermula dari laporan korban dan ibunda NR (40) didampingi keluarga NR kepada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polrestabes Surabaya. Laporan diterima pada Minggu (14/1/2024).
Dari laporan itu, diketahui bahwa kejahatan seksual terhadap B terjadi sejak 2021. Saat itu, korban masih bersekolah di sekolah dasar.
Sebelum membawa korban dan ibunda untuk melapor, keluarga NR menerima pengaduan korban yang mengungsi akibat trauma ke rusunawa Simokerto. Pengaduan itu mendorong keluarga NR memanggil keempat pelaku dan terkejut bahwa kejadian itu diakui oleh mereka. Dari sana, keluarga bersama korban dan ibunda melapor ke Unit PPA.
Hendro melanjutkan, laporan ditindaklanjuti dengan pemanggilan dan pemeriksaan intensif kepada empat terlapor. Dari keterangan saksi dan alat bukti, empat terlapor ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka dijerat dengan pelanggaran Pasal 82 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2016 sebagai undang-undang yang merupakan perubahan kedua atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pelanggaran Pasal 82 itu berkonsekuensi penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda maksimal Rp 5 miliar.
Dari pemeriksaan terungkap bahwa pendorong kejahatan itu ialah ketiadaan privasi bagi korban. Selain itu, para pelaku gagal menahan hasrat biologis, berperilaku buruk, dan merasa berhak atas hidup korban.
Para pelaku melakukan rudapaksa setiap kali ketika korban ditinggal ibunda yang sempat menjalani beberapa kali rawat inap dan terapi di rumah sakit. NR menderita ”kelumpuhan” salah satu lengan.
Kasus ini meninggalkan trauma mendalam bagi korban. Semoga kami dapat membantunya mengatasi trauma.
Karena tanpa perlindungan ibunda, B menjadi sasaran pelampiasan kakak, ayah, dan dua pamannya. Pemicu keempat tersangka tega berbuat rudapaksa juga karena tidak mampu mengendalikan hasrat seksual. Mereka kerap terpapar konten pornografi. Mereka juga mengonsumsi minuman beralkohol. Akibatnya, mereka yang seharusnya melindungi B dari potensi kejahatan malah menjadikannya korban.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Surabaya Ida Widayanti mengatakan, pihaknya telah mengungsikan korban dan ibunda ke salah satu rumah shelter untuk perlindungan dan pendampingan psikologi. Keduanya didampingi sampai merasa tidak memerlukan bantuan lagi dan siap melanjutkan hidup dengan kembali ke masyarakat.
”Kasus ini meninggalkan trauma mendalam bagi korban. Semoga kami dapat membantunya mengatasi trauma,” kata Ida.
Dihubungi terpisah, kriminolog Universitas Surabaya, Elfina Sahetapy, berpendapat, kejahatan seksual terhadap B mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap anak perempuan oleh keluarga dan lingkungan. Selain itu, ia mengingatkan bahwa anak perlu mendapat ruang privasi demi rasa aman dan nyaman selama tumbuh kembang.
Di rumah yang kecil, kata Elfina, ruang privasi minim bahkan tidak ada. Aktivitas intim atau seksual orangtua terlihat oleh anggota keluarga lainnya. Sesama anggota keluarga saling melihat secara tak sengaja bagian tubuh yang sensitif atau meningkatkan rangsangan seksual. Dipicu hal lain misalnya konten pornografi, pengaruh mabuk, situasi sepi, dan atau niat buruk kemudian menjadi tindak pidana terhadap anak perempuan.
Elfina melanjutkan, kasus yang menimpa B menguatkan keprihatinannya pada kenyataan bahwa kejahatan terhadap anak terjadi dalam lingkup keluarga. Padahal, keluarga dipandang sebagai tempat terbaik untuk tumbuh kembang anak. Kasus-kasus kejahatan seksual oleh anggota keluarga menguatkan fakta risiko keselamatan dan keamanan jiwa seorang anak setara dengan yang berada di tempat konflik (perang) atau lingkungan sosial lainnya.
”Menakutkan karena predator seksual itu muncul dari keluarga,” kata Elfina.