Banjir Merendam Sebagian Kalteng, Warga Bertahan di Lantai Dua Rumahnya
Banjir di Kalimantan Tengah terus memburuk. Kerusakan lingkungan dinilai sebagai salah satu faktor yang memengaruhi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Banjir merendam Muara Teweh, ibu kota Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, dan enam daerah lain. Ketinggian air mencapai 2 meter, membuat sebagian warga bertahan hidup di lantai dua rumah mereka.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Kalteng, ada tujuh daerah yang terdampak banjir. Selain Barito Utara, banjir terjadi di Kapuas, Murung Raya, Barito Selatan, Kotawaringin Barat, Gunung Mas, dan Kota Palangkaraya. Setidaknya 118 desa dan kelurahan terdampak. Total 44.270 orang terdampak bencana ini.
Banjir di tujuh kabupaten itu juga merendam 8.064 rumah dan 284 bangunan fasilitas umum, seperti sekolah, puskesmas, dan tempat ibadah. Ketinggian banjir maksimal tercatat sekitar 2 meter.
Iwan (39), warga Muara Teweh, mengatakan belum mengungsi meski tinggi banjir sudah merendam setengah rumahnya. Alasannya, dirinya khawatir ada pencuri yang datang ke kediamannya.
”Saya menyiasati banjir dengan menaikkan lantai kayu untuk tempat tidur bersama keluarga. Hal itu juga dilakukan untuk menjaga barang-barang elektronik tidak terkena air,” kata Iwan.
Akan tetapi, dia sadar tinggal diantara banjir tidak ideal. Dia berharap, pemerintah daerah segera membuat posko pengungsian warga terdampak banjir. ”Biar saya jaga rumah, keluarga bisa ke posko,” ucap Iwan saat dihubungi dari Palangkaraya, Minggu (21/1/2024).
Di Murung Raya, daerah tetangga Barito Utara, banjir bahkan sudah terjadi hampir sepekan. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Murung Raya Fitrianul Fahriman menjelaskan, luapan air Sungai Barito berdampak kepada 31.178 orang.
Fitrianul bahkan menilai, banjir di Murung Raya kali ini adalah yang terburuk sejak 12 tahun terakhir. Banjir sudah melanda 44 desa di enam kecamatan.
“Memang Murung Raya itu wilayah perbukitan, tapi wilayah yang dilanda banjir itu memang di sekitar sungai,” katanya.
Sementara itu, Sungai Kahayan di Palangkaraya juga mulai meluap. Di Jalan Pelatuk, Kecamatan Jekan Raya, misalnya, air mulai masuk ke pekarangan rumah pada Minggu. Namun, banjir belum merendam rumah.
Kusnianto (58) warga Pelatuk, mengatakan, air sudah masuk ke lantai rumahnya, tapi surut pada Minggu pagi. ”Kalau di Gunung Mas banjir, ditambah hujan semalaman, pasti di sini banjir duluan,” ujarnya.
Konversi hutan itu menjadi salah satu faktor bencana banjir terjadi, ini tidak boleh dilupakan.
Kepala Pelaksana BPBPK Kalteng Ahmad Toyib menyebutkan, tiga kabupaten sudah menetapkan status tanggap darurat banjir. Daerah itu adalah Barito Utara, Murung Raya, dan Kapuas.
Toyib menambahkan, pihaknya bakal mengadakan rapat dalam waktu dekat untuk menaikkan status tanggap darurat provinsi. Namun, kebijakan itu butuh persetujuan pimpinan yang lebih tinggi.
Prakirawan Stasiun Meteorologi Palangkaraya, Muhamad Ihsan Sidiq, menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan banjir di Kalteng. Secara umum, banjir disebabkan luapan sungai akibat intensitas hujan tinggi.
Sebelumnya, dilaporkan intensitas hujan di sejumlah wilayah di Kalteng 300-500 milimeter setiap hari. Intensitas itu, kata Ihsan, salah satunya disebabkan fenomena Madden Julian Oscillation (MJO).
MJO, lanjut Ihsan, merupakan aktivitas intramusiman yang terjadi di wilayah tropis. Fenomena alam ini bisa dikenali dengan adanya aktivitas konveksi (awan hujan) yang bergerak ke arah timur dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik.
”Fenomena ini menyebabkan peningkatan potensi pertumbuhan awan hujan di wilayah yang dilaluinya, Kalteng salah satunya,” ungkap Ihsan.
Konversi hutan
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata menjelaskan, banjir terjadi di waktu yang relatif sama setiap tahun. Lokasi dan wilayahnya, lanjutnya, juga serupa.
”Sayangnya, sampai saat ini belum ada kebijakan serius untuk upaya pencegahan dan mitigasi bencana banjir. Hal ini bisa dilihat dari kajian yang kami buat di mana lokasi banjir saat ini merupakan wilayah yang mengalami kerusakan lingkungan,” tutur Bayu.
Ia mengambil contoh di Barito Utara dan Murung Raya, dua daerah di Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito. Sungai Barito membentang sepanjang 909 kilometer membelah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.
Di DAS Barito, kata Bayu, kerusakan lahan terjadi lantaran hilangnya tutupan hutan dan dikonversi menjadi lahan perkebunan seluas 121.555 hektar, pertambangan seluas 23.045 hektar, dan hutan tanaman industri seluas 53.834 hektar.
”Konversi hutan itu menjadi salah satu faktor bencana banjir terjadi, nah ini tidak boleh dilupakan,” ucap Bayu.