Antisipasi Dini Lonjakan Harga Pascabanjir di Jambi
BI Jambi mengusulkan operasi pasar berkala dan terstruktur serta mendatangkan komoditas yang diperlukan sejak dini.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Banjir yang melanda sebagian wilayah Jambi berdampak menekan produksi bahan pangan lokal. Oleh karena itu, perlu dilakukan antisipasi dini untuk menghindari lonjakan harga yang memicu inflasi.
Kepala Bank Indonesia Perwakilan Jambi Hermanto mengatakan, intervensi harus segera dilakukan pemerintah daerah di Jambi. Intervensi itu sebelum lonjakan harga terjadi di pasar.
”Jangan sampai telanjur tinggi harganya di pasar, perlu segera dilakukan antisipasi,” ujarnya dalam temu media di Jambi, Minggu (21/1/2024).
Apalagi, kebutuhan pangan diprediksi bakal meningkat menjelang masa Ramadhan. Meningkatnya kebutuhan perlu diimbangi dengan pasokan. Jika tidak, kondisi itu dapat memicu lonjakan harga.
Dalam sebulan terakhir, banjir melanda sentra-sentra pangan Jambi, mulai dari Kerinci, Bungo, Batanghari, hingga Muaro Jambi. Panen dini hingga gagal panen pun terjadi. Komoditas yang terancam berkurang pasokan lokalnya adalah cabai merah dan beras.
Terkait itu, pihaknya telah menyampaikan rekomendasi kepada seluruh pemda di Jambi, di antaranya mengusulkan agar operasi pasar dilakukan dini, berkala, dan terstruktur, serta di lokasi-lokasi strategis. Selain itu, perlu mendatangkan komoditas yang diperlukan dari luar daerah sehingga jangan sampai terjadi kekurangan pasokan.
Pihaknya juga mendorong implementasi smart farming dapat diterapkan meluas di daerah. Penerapan ini dapat mencegah gagal panen akibat banjir.
Dalam catatan BI Jambi, sejumlah komoditas pangan memberi sumbangan terbesar inflasi Jambi pada 2023. Komoditas yang dimaksud cabai merah, bawang merah, beras, daging ayam, dan ikan nila. Bahkan, cabai merah kerap menjadi penyumbang tertinggi dari seluruh komoditas. Tingginya harga cabai merah bahkan mencatatkan Kota Jambi sebagai pencetak rekor tertinggi inflasi nasional pada 2022, yakni 8,55 persen (yoy).
Hermanto menjelaskan, produksi pangan lokal memang belum mencukupi untuk menjamin ketahanan pangan Jambi. Daerah itu masih bergantung pada pasokan dari daerah lain. Karena itu, untuk mengurangi risiko volatilitas harga, pemda perlu memastikan sejak dini bahwa ketersediaannya mencukupi.
”Di lapangan perlu intervensi, misalnya tambah pasokan beras di masyarakat, khususnya bagi masyarakat miskin,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Hermanto menyampaikan diri pamit kepada para jurnalis karena akan pindah tugas ke Yogyakarta. Ia digantikan oleh Warsono.
Jangan sampai telanjur tinggi harganya di pasar, perlu segera dilakukan antisipasi.
Kepada media, Warsono menyebut pengendalian inflasi memerlukan kolaborasi para pihak. Ke depan, perlu dibangun pula Neraca Pangan Jambi. Tujuannya agar daerah bisa terus mengetahui ketersediaan dan kebutuhan pangannya.
”Dengan adanya neraca pangan, kita akan tahu kapan kebijakan pengendalian harga dilakukan. Ini bisa disebut sebagai early warning system inflasi,” katanya.
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Pantun Bukit, mengatakan, cabai merah dan daging telah dipetakan sebagai penyumbang tertinggi fluktuasi inflasi di Jambi. Fluktuasi terjadi karena belum terjaganya keseimbangan permintaan dan pemenuhan kebutuhan di pasar. Belum lagi banyak spekulan bermain dengan harga.
Ia mengusulkan, agar inflasi tak melonjak, pemerintah perlu sejak dini menjaga suplai dan permintaan. Pemonitoran dan intervensi pasar perlu terus dilakukan demi menghindari spekulasi harga.