Kapasitas Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat Perlu Ditingkatkan
Jumlah anggota Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat perlu ditambah dan kapasitasnya ditingkatkan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
LAMPUNG TIMUR, KOMPAS — Menapaki usia ke -18 tahun, Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam menjaga hutan. Selain keterbatasan jumlah personel, modus kejahatan kehutanan juga semakin beragam. Oleh karena itu, kapasitas anggota satuan tersebut harus terus ditingkatkan.
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, saat ini jumlah personel Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) semakin berkurang karena ada anggota yang pensiun atau meninggal.
”Jumlah awal 900 personel, sekarang hanya 476 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia,” kata Alue saat membacakan sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Apel Puncak Hari Ulang Tahun Ke-18 SPORC, Kamis (18/1/2024), di Taman Nasional Way Kambas, Kabupaten Lampung Timur, Lampung.
Alue memaparkan, jumlah anggota SPORC perlu ditingkatkan karena kawasan hutan yang harus dijaga amat luas. Untuk hutan konservasi saja, luas area hutan yang harus dijaga mencapai 21,9 juta hektar.
Oleh karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan meningkatkan jumlah personel SPORC lewat perekrutan dan pelatihan intensif. Saat ini, KLHK juga sedang menyiapkan sarana pusat peningkatan kapasitas sumber daya manusia bagi seluruh personel penegak hukum KLHK.
Pusat pelatihan seluas 200 hektar itu berlokasi di wilayah Sentul, Jawa Barat. Fasilitas tersebut dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kapasitas para personel SPORC.
Alue menuturkan, tahun ini, HUT Ke-18 SPORC mengusung tema ”SPORC Siaga, Rimba Terjaga”. Frasa ”SPORC Siaga” mencerminkan semangat kolaborasi dan kesiapsiagaan menjaga kawasan hutan dan kelestarian lingkungan hidup. Sementara itu, ”Rimba Terjaga” menggambarkan tanggung jawab bersama untuk melestarikan kawasan hutan dan ekosistemnya.
Untuk mencapai tujuan itu, para personel SPORC harus terus meningkatkan kapasitas karena tantangan dalam menjaga hutan semakin kompleks. Para pelaku juga mempunyai beragam modus dalam tindak kejahatan perburuan, pembalakan, dan pembakaran hutan.
Alue menyatakan, para personel SPORC harus menguasai daerah teritori di wilayah kerjanya. Selain itu, mereka juga harus memahami karakter wilayah dan tipologi kejahatan kehutanan yang marak terjadi.
”Penguasaan teritori, terutama anggota unit intelijen, bertujuan mencegah jangan sampai potensi ancaman berubah menjadi gangguan yang dapat mengubah fungsi dan manfaat hutan, seperti perambahan, kebakaran, perburuan, penambangan, dan konflik sosial,” katanya.
Jumlah awal 900 personel, sekarang hanya 476 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia.
Anggota SPORC juga harus mengetahui kondisi dan dinamika hutan, mampu mengidentifikasi potensi masalah, serta menemukan strategi yang tepat untuk mengatasi berbagai masalah kehutanan dan lingkungan.
Alue menambahkan, pendidikan dan kesadaran masyarakat menjadi kunci untuk membangun kepedulian dalam pelestarian hutan. Oleh karena itu, koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti pemerintah pusat dan daerah, akademisi, lembaga masyarakat, dan warga di sekitar kawasan hutan, sangat dibutuhkan.
Penegakan hukum
Alue juga menyebut, SPORC bersama aparat penegak hukum lain telah berupaya menindak kejahatan kehutanan. Dari tahun 2019 sampai saat ini, SPORC telah melakukan operasi tidak pidana kejahatan kehutanan sebanyak 1.152 kali. Penindakan itu mampu menjaga kawasan hutan seluas 14 juta hektar, mengamankan 939.275 meter kubik kayu, dan menyelamatkan 22.011 ekor satwa liar.
”Kita harus bersama-sama menjaga kawasan hutan agar lestari, bebas dari pembalakan liar, dan terhindar dari ancaman perubahan iklim,” katanya.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani menuturkan, para personel SPORC dibekali keterampilan khusus, seperti kemampuan bela diri, keterampilan intelijen, penguasaan tekologi, serta dukungan operasi.
”Mereka ini adalah pasukan khusus. Untuk itu, pemanfaatan teknologi sangat penting. Kami punya sistem satelit di sentra intelijen,” katanya.
Selain melakukan patroli secara intensif, personel SPORC juga dilatih memanfaatkan teknologi dalam upaya menjaga hutan, seperti mendeteksi titik panas lewat satelit. Mereka juga melacak aktivitas perdagangan satwa liar di media sosial hingga melacak jaringan dengan menyelidiki berbagai transaksi mencurigakan. Jaringan dengan polisi di luar negeri pun dibangun.
Menurut Rasio, salah satu kejahatan kehutanan yang menjadi perhatian khusus adalah pembakaran hutan. Itulah mengapa, upacara HUT Ke-18 SPORC digelar di Taman Nasional Way Kambas untuk menunjukkan komitmen menjaga kawasan taman nasional itu dari berbagai ancaman, khususnya pembakaran hutan dan perburuan.
”Kami bersama dengan pemangku kawasan menjadikan Taman Nasional Way Kambas ini sebagai perhatian bersama. Akan dilakukan peningkatan patroli,” kata Rasio.
Untuk memperkuat pengamanan hutan, KLHK juga mempunyai sekitar 7.000 personel polisi kehutanan, baik yang bertugas di KLHK maupun di tingkat provinsi. Sampai saat ini, jumlah kasus kejatan kehutanan yang telah ditindak sebanyak 1.467 kasus dengan ribuan tersangka.
Ke depan, KLHK juga berkomitmen mengusut tindak pidana pencucian uang yang dilakukan para pelaku kejahatan kehutanan. Hal itu diharapkan mampu memberikan efek jera bagi para pelaku.