Tanggap Darurat Diperpanjang, Pastikan Bantuan Pengungsi Lewotobi Tepat Sasaran
Masa tanggap darurat erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur diperpanjang. Bantuan bagi pengungsi dibutuhkan
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Masa tanggap darurat erupsi Gunung Lewotobi Lak-laki diperpanjang sampai 24 Januari 2024. Bantuan kemanusiaan yang mengalir diharapkan tepat sasaran.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) Ambrosius Kodo mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Flores Timur telah memperpanjang masa tanggap darurat sampai 24 Januari 2024. Jika kondisi erupsi Lewotobi Laki-laki belum mereda, status tanggap darurat kemungkinan akan diperpanjang.
”Untuk itu, semua bantuan dari donatur harus dipastikan tepat sasaran,” kata Ambrosius, di Kupang, Selasa (16/1/2024).
Pihaknya berharap erupsi gunung itu cepat mereda. ”Dengan demikian, masyarakat segera hidup normal kembali dan beraktivitas seperti biasa, selama musim hujan ini,” ucapnya.
Pemerintah provinsi (pemprov) telah mengirim bantuan 10.000 masker, 3,7 ton beras, dan Rp 150 juta dana operasional. Dana itu untuk membiayai pergeseran pasukan TNI/Polri dari Kupang ke lokasi bencana menggunakan feri dan sejumlah dukungan lain. Bantuan juga datang dari organisasi profesi, kelompok mahasiswa, dan pendonor lainnya.
Namun, bantuan kemanusiaan masih dibutuhkan selama Lewotobi Laki-laki erupsi. Apalagi, bencana ini sulit diprediksi kapan berakhir.
Hampir 4.000 warga saat ini masih berada di pengungsian. Pemkab Flores Timur pun telah membuka dua nomor rekening bank untuk penyaluran dana dari para pendonor. Ia berharap inisiatif warga membantu pengungsi erupsi Lewotobi Laki-laki tersalurkan kepada para korban. Sumbangan itu bisa meringankan beban para korban, juga pemerintah daerah setempat.
Pihaknya terus memantau kondisi pengungsi di lapangan, sesuai laporan dari Pemkab Flores Timur. Saat ini, musim tanam. Sebagian besar pengungsi adalah petani. Kemungkinan mereka tetap bekerja di kebun, sore hari pulang ke lokasi pengungsian. Ini yang perlu diingatkan sehingga selalu waspada saat beraktivitas di kebun.
Camat Ile Bura Kabupaten Flores Timur Petrus Pehan Tukan mengatakan, pengungsi masih berada di posko pengungsian di Konga dan Boru. Siang hari, mereka ke ladang jagung membersihkan rumput yang mulai tinggi. Sore hari, mereka kembali ke posko. Anak-anak tetap belajar di tenda posko.
”Tentu kita masih membutuhkan bantuan dari pendonor. Sampai kapan berada di lokasi pengungsian pun kami tak tahu. Letusan masih terjadi. Saat ini, pengungsi sudah memasuki pekan kedua di tenda posko,” katanya.
Ia mengatakan, hujan belum turun merata. Beberapa petani belum menanam. Namun, dengan hujan yang sudah turun tiga hari terakhir, mereka diharapkan segera menanam, terutama jagung, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Sejak Desember 2023, hujan turun belum merata. Enam desa di Kecamatan Ile Buru berada di pesisir, tetapi tidak semua warga tertarik menjadi nelayan. Mereka kebanyakan memilih sebagai petani.
Anton Tukan (54), petani di Desa Dulipali, mengatakan, hujan beberapa hari terakhir telah membersihkan abu vulkanik yang menyirami tanaman, termasuk sayur-sayur di kebun. Ia tidak bertanam padi ladang. Lahan seluas 2.000 meter persegi itu semata-mata ditanami jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, pisang, dan jenis tanaman lain yang bisa dikonsumsi.
Ayah empat anak ini mengatakan, sebagian besar lahannya belum dibersihkan. Rumput sudah hampir sama tinggi dengan tanaman. Ia bersama istrinya, Petronela Perada (48), mencoba membersihkan lahan itu dari rerumputan.
”Kami tetap waspada. Jika terjadi erupsi gunung, kami berlindung di pondok yang ada di tengah ladang. Namun, dikhawatirkan, jika terjadi lava pijar, gubuk yang terbuat dari ilalang akan terbakar. Karena itu, sebelum berangkat ke kebun, kami selalu menyampaikan ke kepala posko atau warga lain yang ada di posko,” tutur Anton.
Salah satu lokasi pengungsi dari Desa Duli Pali, Kecamatan Talibura, Flores Timur, korban letusan Gunung Api Lewotobi di Flores Timur, Senin (1/1/2024).
Dosen Sosiologi Universitas Nusa Cendana Kupang, Lasarus Jehamat, mengatakan, pemprov dan pemkab/pemerintah kota di NTT tidak bisa menunggu bencana datang lalu beraksi. Perlu ada persiapan dini sebelum bencana datang. Daerah ini langganan berbagai bencana sepanjang tahun.
Perlu dibentuk konsorsium dompet kebencanaan dengan melibatkan semua pihak, seperti guru, pelajar, mahasiswa, BUMN, BUMD, ASN, lembaga agama, dan masyarakat. ”Pentahelix dari pelajar dan mahasiswa saja. Kalau tiap hari Rp 1.000 per orang, itu cukup banyak. Belum lagi yang lain-lain,” kata Jehamat.
Ia mengatakan, konsorsium sebaiknya tersebar di Pulau Flores, Timor, dan Pulau Sumba. Para pihak agar bergerak bersama. Jika terjadi bencana di Flores, seperti letusan gunung berapi atau jenis bencana lain, sudah ada kesiapan dana kemanusiaan. Demikian pula bencana rawan pangan dan tengkes (stunting) di Pulau Timor, atau bencana hama belalang dan kekeringan di Pulau Sumba.
Pengelolaan dana kemanusiaan harus transparan, jujur, dan bertanggung jawab. Dana diaudit lembaga independen setiap akhir tahun. Hasil audit disampaikan kepada semua masyarakat untuk diketahui bersama sehingga tidak ada kecurigaan.