Dampak Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki Meluas, Pengungsi Bertambah
Daerah terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki kian luas. Jumlah pengungsi bertambah menjadi 6.536 jiwa.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, memasuki hari ke-22 pada Sabtu (13/1/2024). Semburan material vulkanik semakin masif dan wilayah terdampak meluas menjadi tujuh desa. Jumlah pengungsi pun bertambah menjadi 6.536 jiwa.
Petugas Pos Pemantauan Gunung Lewotobi, Anselmus B Lamanepa, melaporkan, pada Sabtu sekitar pukul 11.56 Wita, terjadi erupsi dengan tinggi kolom abu mencapai sekitar 1.500 meter di atas puncak gunung.
Kolom abu teramati berwarna putih hingga kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah utara dan timur laut. Erupsi ini terekam dengan amplitudo maksimum 47,3 milimeter dan durasi 8 menit 20 detik.
Radius bahaya erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki pun diperluas menjadi 5 kilometer dari puncak sehingga permukiman yang berada dalam radius itu harus dikosongkan untuk sementara waktu. Adapun status gunung api itu berada pada level tertinggi, yakni Awas.
Sementara itu, guguran lava ke arah timur laut yang semula berjarak 2 kilometer kini menjadi 3 kilometer. Di sisi timur laut Gunung Lewotobi Laki-laki terdapat banyak permukiman sepanjang Desa Nobo sampai Desa Nurabelen.
Berdasar pantauan Kompas pada Sabtu pagi, guguran lava menghanguskan pohon yang dilewati. Tampak kebakaran terjadi di jalur luncuran. ”Seandainya erupsi ini terjadi pada musim kemarau, pasti akan terjadi kebakaran lebih hebat di gunung,” kata Mathias Demon (60), warga setempat.
Menurut Mathias, erupsi kali ini terbilang lama jika dibandingkan dengan erupsi yang pernah ia alami sebelumnya. Erupsi terakhir terjadi pada tahun 2002. Kala itu terjadi satu kali erupsi besar, kemudian proses erupsi berhenti dalam waktu sekitar satu minggu.
Terkait erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki, Penjabat Bupati Flores Timur Doris Alexander Rihi telah mengganti status siaga darurat menjadi status tanggap darurat. Status tanggap darurat berlaku selama 14 hari mulai 10 Januari 2024. ”Nanti akan dievaluasi dan dikaji lagi dengan memperhatikan kondisi aktivitas gunung,” katanya.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Flores Timur menyebutkan, wilayah yang terdampak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki meluas. Sebelumnya, erupsi hanya berdampak pada lima desa. Namun, saat ini, ada tujuh desa yang terdampak.
Desa-desa yang terdampak itu antara lain Desa Nawakote, Klatanlo, Hokeng Jaya, dan Boru di Kecamatan Wulanggitang. Desa terdampak lain adalah Desa Dulipali, Nobo, dan Nurabelen di Kecamatan Ile Bura.
Para pengungsi tersebar di sejumlah pos komando yang ditetapkan pemerintah, seperti di Kantor Desa Konga dan Kantor Camat Wulanggitang. Selebihnya, banyak pengungsi yang menginap di rumah warga, seperti di Desa Pululera, Boru Kedang, dan Hewa.
Lebih dari tiga minggu terdampak abu vulkanik dan tinggal di pengungsian, banyak warga mulai terserang berbagai jenis penyakit. Berdasarkan data pos kesehatan terpadu, warga yang sakit sebanyak 1.216 orang. Sebagian besar terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), yakni 931 orang. Selain itu, ada yang juga terkena penyakit lambung dan radang tenggorokan.
Salah seorang petugas kesehatan, Mariam Making, menuturkan, satu pengungsi terpaksa dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Larantuka karena mengalami sesak napas. ”Salah satu penyebabnya adalah paparan abu vulkanik ditambah kondisi lingkungan di pengungsian,” ucapnya.
Menurut Mariam, pos kesehatan membutuhkan tambahan alat pengencer dahak. Saat ini, hanya ada satu alat tersebut. Adapun stok obat-obatan di pos tersebut relatif memadai. Obat didatangkan dari sejumlah puskesmas terdekat yang tidak terdampak serta dari dinas kesehatan kabupaten.
Lebih dari tiga minggu terdampak abu vulkanik dan tinggal pengungsian, banyak warga mulai terserang berbagai jenis penyakit.
Mariam pun mengimbau para pengungsi selalu menjaga kesehatan dengan tetap mengenakan masker. Mereka juga diimbau menjaga kebersihan di lokasi pengungsian, misalnya membuang sampah pada tempatnya. Petugas pun mengantisipasi potensi adanya penyakit ikutan, seperti malaria dan diare.
Martha Keron (40), salah seorang pengungsi di Desa Boru, berharap menu makanan yang disediakan bisa lebih bervariasi. Dia menyebut, banyak pengungsi bosan dengan mi serta telur yang dihidangkan setiap hari. ”Mendingan kami pulang ke rumah saja. Di pengungsian ini lebih sengsara,” katanya.