Semerbak Akar Wangi dari Petani Mandiri di Kaki Cikuray
Petani di kaki Gunung Cikuray, Garut, mengubah lahan telantar menjadi hamparan akar wangi yang bernilai ekonomi.
Semangat reforma agraria hadir dari ratusan penggarap lahan di sejumlah desa kaki Gunung Cikuray, Garut, Jawa Barat. Tanah telantar mereka sulap menjadi hamparan akar wangi bernilai tinggi. Mereka terus berjuang mempertahankan tanah itu untuk kesejahtaraan kini dan nanti.
Matahari masih mengintip dari ufuk timur saat Wasmin (60), warga Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Garut, beranjak dari rumah menuju kebunnya di kaki Gunung Cikuray, Sabtu (13/1/2024). Meskipun cuaca dingin masih menusuk tulang, peluh sudah mengalir deras dari pelipisnya.
Bersama istrinya, Wasmin harus berjalan menanjak lebih dari setengah jam untuk sampai ke hamparan kebunnya. Lahan yang dia garap tidak begitu luas, hanya sekitar 100 tumbak atau setara 1.400 meter persegi. Akar wangi (Vetiveria zizanioides) atau dikenal dengan vetiver menjadi komoditas unggulan di sana.
Dari lahan yang digarap Wasmin saja, sekali panen bisa mendapatkan sekitar 1,5 ton akar wangi. Untuk memaksimalkan lahan yang terbatas, di lahan itu juga ditanam sayuran dan tanaman hortikultura hingga rumput akar wangi semakin meninggi dan memenuhi lahan.
Jadi, dalam setahun, lahan yang digarap menghasilkan beberapa komoditas yang mengisi pundi-pundi penghasilan keluarganya. Tidak hanya Wasmin, ratusan petani pun menggunakan metode serupa di lahan-lahan yang mereka garap sejak akhir tahun 1990.
”Setiap hari seperti ini, tapi lebih baik daripada tidak ada lahan garapan. Kalau dulu, cari uang susah. Saya harus keluar dari kampung untuk jualan golok sampai ke Jakarta,” ujarnya sambil mengatur napas.
Baca juga : Semerbak Akar Wangi dalam Kreasi Para Mantan TKI
Meskipun harus melintasi lembah dan bukit, Wasmin merasa kehidupannya lebih baik dibandingkan dengan masa lalunya saat mengadu nasib di luar kota sejak tahun 1980-an.
Dia hanya pulang beberapa tahun sekali, lalu kembali berjualan hingga kerja serabutan. Kerja keras itu lantas tidak membuat keluarga Wisman lepas dari jerat kemiskinan karena penghasilan yang tidak menentu di tempat yang asing.
”Jualan di kota hasilnya tidak menentu. Saya malah meninggalkan anak istri di kampung. Saya mulai kembali saat krisis moneter, soalnya jualan tidak laku. Ternyata di sana ada lahan yang terbengkalai sehingga bisa dimanfaatkan,” kata Wasmin.
Lahan yang disebut Wisman ini dulunya dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Dayeuh Manggung. Total lahan yang digarap seluas 402 hektar dari total 1.200 hektar hak guna usaha (HGU) PTPN yang berakhir tahun 1997. Lahan eks kebun teh ini berada di tiga desa yang ada di kaki Gunung Cikuray Garut, yakni Desa Sukamukti, Dangiang, dan Mekarmukti, dan dikelola setidaknya oleh 600 keluarga petani.
Saya dulu sampai dicari ke ladang. Rumah saya dibongkar. Untungnya, saya tidak tertangkap karena waktu itu tidak di rumah dan bisa bersembunyi.
Lahan sengketa
Tak hanya Wisman yang tergerak kembali ke kampung halaman. Sekitar tahun 1997, sejumlah perantau dari desa-desa tersebut kembali dan turut membuka lahan. Runtuhnya Orde Baru membuat mereka memilih untuk tidak kembali ke Ibu Kota.
Akan tetapi, jalan untuk mencari rezeki baru dengan membuka lahan ini tidak mulus. Upaya untuk mendapatkan hak dalam menggarap lahan ini mendapatkan tentangan dari pengelola sebelumnya.
Konflik lahan ini semakin meruncing saat masyarakat mempertahankan aktivitas untuk menggarap lahan telantar itu. Bersama Serikat Petani Pasundan (SPP), ratusan petani bergerak untuk mengadakan berbagai pertemuan hingga aksi agar lahan garapan itu bisa dipergunakan.
Asanudin (57), warga Desa Sukamukti, menjadi salah satu penggerak warga untuk tetap bertahan menggarap lahan di sana sejak tahun 2000 bersama dengan SPP. Dia yang sebelumnya berjualan di luar kota memilih kembali pulang karena mendengar cerita istrinya.
”Istri saya sering mengeluh karena saat menggarap lahan sering mendapatkan tekanan dari pihak perkebunan. Padahal, lahan itu sudah telantar sehingga seharusnya bisa kami manfaatkan,” kata pria yang akrab dipanggil Asa ini.
Saat kembali ke Sukamukti, Asa bersama SPP mendorong penggunaan lahan tersebut untuk masyarakat desa. Bahkan, dia sempat menjadi incaran aparat keamanan karena dianggap menggerakkan masyarakat untuk tetap bertahan dan tidak mengalah dalam konflik tersebut.
”Saya dulu sampai dicari ke ladang. Rumah saya dibongkar. Untungnya, saya tidak tertangkap karena waktu itu tidak di rumah dan bisa bersembunyi,” kenangnya.
Tekanan dari aparat ini berlangsung tahun 2012. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), keterlibatan aparat bersenjata lengkap dari Brimob berlangsung hingga tahun 2014.
Petani baru bisa bernapas lega setelah tahun 2017 karena tidak ada lagi tekanan. Saat tidak ada lagi hambatan, akar wangi dan tanaman budidaya yang tumbuh di lahan garapan itu pun semakin menyebarkan kebaikan untuk masyarakat.
Baca juga : Konflik Agraria Meningkat Sepanjang 2022, Kemauan Politik Kunci Penyelesaian
Kesejahteraan
Meskipun warga bisa menggarap tanpa tekanan, lahan di sana masih berstatus sengketa. Menurut Koordinator KPA Jabar Yani Srimulyani, warga yang menggarap di kawasan eks HGU ini masih belum mendapatkan redistribusi lahan. Padahal, di tangan warga, lahan yang ada menjadi produktif dan menyejahterakan mereka.
”Sejauh ini lahan masih dalam sengketa, tetapi secara de facto, masyarakat sudah menggarap lahan sejak lama, sekitar 25 tahun. Secara kesejarahan juga lahan yang diklaim perkebunan dulunya adalah garapan masyarakat turun-temurun,” ujarnya.
Oleh karena itu, Yani meyakini warga desa berhak mendapatkan kesejahteraan dari lahan yang terbentang di kaki Gunung Cikuray ini. Bahkan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kehidupan warga penggarap pun telah naik menjadi lebih baik.
”Dulu, waktu saya mulai mendampingi warga di awal-awal tahun 2000, sebagian besar di sini masih rumah panggung yang tidak permanen. Lahan yang digarap ini telah memperbaiki kehidupan mereka,” tuturnya.
Hayat (55) adalah salah satu warga Sukamukti yang turut merasakan manisnya lahan garapan. Dia mengolah 100 tumbak atau setara 1.400 meter persegi lahan untuk menanam akar wangi dan komoditas lainnya.
Bahkan, Hayat menjadi salah satu pemilik alat penyulingan dengan kemampuan produksi hingga 3 kuintal minyak akar wangi per bulan. Dalam beberapa tahun terakhir, harganya mencapai Rp 2 juta per kilogram.
Hayat menjual akar wangi ini ke sejumlah pembeli di Bandung, Bogor, hingga Tangerang. Sebagian dari pembeli ini akan menjual kembali ke luar negeri, seperti Perancis dan Amerika Serikat. Akar wangi biasanya digunakan untuk bahan pembuatan parfum.
”Semenjak pandemi, harganya turun sampai setengahnya. Dulu, harganya Rp 5 juta per kg. Mungkin karena permintaan dari luar negeri berkurang. Tapi, permintaan masih tetap ada sehingga kami terus memproduksi,” ujarnya.
Sekarang, saya tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga bisa mempekerjakan warga lain.
Bagi Hayat, hidupnya jauh lebih baik saat mengolah lahan pertanian dibandingkan dengan dulu hidup di jalan. Dia sempat meninggalkan istri dan anaknya untuk berjualan di Bandung hingga Jakarta karena tidak ada lahan yang bisa digarap.
”Dulu, tidak terpikirkan bisa seperti ini. Waktu muda, saya meninggalkan istri dan anak di kampung dan jualan golok. Sekarang, saya tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga bisa mempekerjakan warga lain,” kata Hayat saat ditemui di tempat penyulingan akar wangi miliknya di Desa Sukahati yang bersebelahan dengan Sukamukti.
Kurniawan (29), anak dari Hayat, mengenang masa kecilnya yang kurang merasakan kehadiran sosok ayah. Kala itu, Hayat hanya pulang beberapa tahun sekali dan hanya singgah sementara waktu sebelum kembali mengadu nasib ke kota.
”Sekarang, bapak sudah tidak perlu lagi keluar. Saya juga ditugaskan mengelola pabrik penyulingan sehingga tidak perlu merantau dan bisa fokus merawat anak dan istri di rumah. Bahkan, penghasilan dari penyulingan bisa disisihkan untuk menyekolahkan anak,” ujarnya semringah.
Ihwal pemanfaatan lahan di kawasan itu oleh masyarakat, serta program reforma agraria, Kompas juga telah mengajukan permohonan wawancara ke PT Perkebunan Nusantara III (Persero), induk (holding) perusahaan perkebunan milik negara. Namun, hingga Minggu (21/1/2024) petang, Kompas belum mendapatkan jawaban dari PTPN.
Harapan
Dengan kesejahteraan yang didapatkan dari lahan garapan, tak heran jika para petani di kaki Gunung Cikuray ini berharap memiliki pemimpin yang bersedia memperjuangkan hak-hak mereka. Apalagi, saat sengketa usai dan kepemilikan lahan menjadi jelas, mereka bisa mengolah bumi lebih maksimal tanpa harus khawatir mendapatkan tekanan dari pihak lain.
Sabar (64), salah satu penggarap dari Desa Dangiang, Kecamatan Cilawu, merasakan peliknya hidup dikejar-kejar aparat karena memanfaatkan lahan di masa lalu. Oleh karena itu, dia menitipkan harapan kepada pemimpin baru yang terpilih dalam Pemilu 2024 agar mampu memberikan kepastian terhadap hak-hak para penggarap lahan.
”Dulu saya dikejar-kejar hanya karena menggarap lahan yang telantar. Sekarang, saya berharap pemimpin yang terpilih nanti, siapa pun orangnya, bisa memperhatikan kami. Kami tidak minta apa-apa, hanya ingin hak atas lahan yang kami garap puluhan tahun ini,” ujarnya.
Karena dari lahan yang digarap, para petani mampu meningkatkan kesejahteraan mereka. Seperti akar wangi hingga tanaman yang tumbuh subur di kaki Gunung Cikuray yang memberikan kehidupan lebih baik.
Baca juga : Vetiver, Si Rumput yang Lagi Naik Panggung