Mahasiswa Papua di Luar Negeri Terancam Putus Kuliah, Beasiswa Otsus Harus Dievaluasi
Ratusan mahasiswa Papua di luar negeri dilaporkan terancam putus kuliah karena keterlambatan penyaluran beasiswa otsus.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Ratusan mahasiswa Papua yang menempuh studi di luar negeri terancam putus kuliah karena keterlambatan penyaluran beasiswa otonomi khusus Papua. Pengelolaan beasiswa bernama Siswa Unggul Papua itu harus dievaluasi agar masalah serupa tak berulang di kemudian hari.
Ketua Ikatan Mahasiswa Papua (Imapa) Amerika Serikat-Kanada Erik Maiseni mengatakan, pengelolaan beasiswa Siswa Unggul Papua (SUP) sangat mengecewakan. Mahasiswa yang tengah kuliah di Moody Bible Institute, Washington, Amerika Serikat, itu ikut menjadi korban keterlambatan penyaluran beasiswa itu.
”Sangat disayangkan melihat kondisi saat ini. Padahal, beasiswa ini sangat penting sebagai investasi sumber daya manusia di Papua. Sekarang banyak mahasiswa kemungkinan cuti dan beberapa bahkan terancam dideportasi,” kata Erik saat dihubungi dari Jayapura, Papua, Senin (15/1/2024).
Erik merupakan mahasiswa semester empat jurusan mekanik dan penerbangan di Moody Bible Institute. Dia menyebut, keterlambatan pembayaran uang kuliah kepada kampus telah terjadi sejak semester musim gugur atau semester genap 2023 serta semester musim semi atau semester ganjil 2024.
Akibat keterlambatan pembayaran itu, Erik mengaku sempat tidak diperbolehkan mengikuti perkuliahan. Namun, dengan sejumlah permohonan, Erik masih bisa melanjutkan kuliah. ”Kitong ini kadang sampai sangat malu karena sering dipanggil di administrasi. Kitong hanya bisa menjelaskan kalau dinamika politik di Papua itu rumit sekali,” ujarnya.
Erik menambahkan, akibat masalah ini, banyak mahasiswa Papua lain yang terancam harus mengambil cuti dan dipulangkan ke Indonesia. Kondisi itu, antara lain, dialami 18 mahasiswa yang tengah menempuh studi di Corban University, Oregon, AS.
”Selama ini mahasiswa hidup merana dan tidak fokus lagi dalam belajar. Mereka harus bekerja hingga di dua tempat untuk menutupi biaya hidup yang tidak dibayarkan pemerintah,” ucapnya.
Nathalia Grace Pouw (21), mahasiswi di Corban University, mengatakan, pihak kampusnya sudah tidak bisa menoleransi tunggakan uang kuliah dalam dua semester. Tunggakan semakin bertambah karena pihak kampus juga sempat memberikan uang saku untuk biaya hidup bagi mahasiswa Papua.
Namun, untuk semester terbaru ini, kata Nathalia, pihak kampus telah memberikan jangka waktu agar pemerintah menyelesaikan tunggakan tersebut. Jika tunggakan itu tak bisa diselesaikan dalam waktu yang ditentukan, Nathalia bersama 17 mahasiswa lain terancam dipulangkan ke Indonesia.
Padahal, Nathalia telah kuliah hingga semester delapan dan tengah menanti kelulusan. Mahasiswi jurusan konseling dan psikologi ini akan menjalani proyek akhir akademik atau capstone pada Mei 2024.
”Kami akan dipulangkan dan dianggap cuti selama satu semester. Sebenarnya, selama cuti tersebut, kampus masih menunggu agar pemerintah untuk menyelesaikan tunggakan dalam lima bulan ke depan. Jika tidak diselesaikan, berarti kami tidak lagi dihitung sebagai mahasiswa di sana,” ujar Nathalia.
Kitongini kadang sampai sangat malu karena sering dipanggil di administrasi. Kitonghanya bisa menjelaskan kalau dinamika politik di Papua itu rumit sekali.
Menagih janji
Sejak pertama kali masalah ini bergulir pada Juni 2023, para orangtua mahasiswa penerima SUP telah melakukan sejumlah aksi untuk menagih komitmen dari Pemprov Papua. Yang terbaru, mereka melakukan aksi dengan menginap di Kantor Gubernur Papua sejak Selasa (9/1/2024).
”Sampai hari ini kami masih menginap di sini untuk menanti komitmen dari Pemprov Papua. Kami akan terus di sini sampai pemerintah mau menemui kami,” kata Ketua Forum Komunikasi Orangtua Mahasiswa Penerima Beasiswa Otsus Papua John Reba, Minggu (14/1/2024).
Dalam catatan forum komunikasi orangtua itu, masalah pembayaran beasiswa berupa uang kuliah serta biaya hidup terjadi bagi mahasiswa yang berkuliah di dalam dan di luar negeri. Mahasiswa Papua yang mengalami masalah ini terdiri dari 1.347 orang yang berkuliah di dalam negeri dan 276 orang berkuliah di luar negeri.
Dalam beberapa kesempatan, Pemprov Papua menyebut keterlambatan pembayaran itu terjadi karena sejumlah alasan, seperti basis data yang bermasalah, status daerah otonomi baru, serta adanya aturan yang menyatakan dana otsus kini langsung diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota.
Berdasarkan Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri yang diterima Kompas pada Senin (15/1/2024), pemerintah berjanji menyelesaikan tunggakan beasiswa sebelum 18 Januari 2024. Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo telah mengumpulkan perwakilan dari Pemprov Papua dan pemerintah kabupaten/kota di Papua untuk menyelesaikan masalah itu.
”Pemerintah provinsi se-wilayah Papua yang tidak menyelesaikan tunggakan Beasiswa SUP 2023 sampai dengan tanggal 18 Januari 2024, maka akan dilakukan pemotongan dana transfer (intercept) melalui Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan,” demikian bunyi salah satu poin dalam berita acara yang ditandatangani pada 11 Januari 2024 tersebut.
Sementara itu, Penjabat Sekretaris Daerah Papua Derek Hegemur dijadwalkan melakukan rapat pada Selasa (16/1/2024) untuk menyelesaikan tunggakan beasiswa SUP. Rapat tersebut juga akan diikuti pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Tanah Papua.
Butuh perbaikan
Kendati pemerintah telah berjanji menyelesaikan tunggakan pembayaran beasiswa SUP, Erik menyatakan, pengelolaan beasiswa tersebut harus dievaluasi total. Hal itu untuk memastikan masalah serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Erik juga khawatir, masalah ini akan membuat anak-anak Papua enggan bersekolah hingga ke luar negeri. Padahal, sejak awal, program ini diharapkan bisa menghasilkan sumber daya manusia yang unggul untuk mendorong pembangunan di Papua.
”Hal yang tidak kalah penting, kejadian ini tentu mencoreng nama Papua dan Indonesia di dunia pendidikan internasional. Jangan sampai ke depan tidak ada lagi yang bersedia menampung anak Papua,” katanya.