Mereka yang Kehilangan Mata Pencarian karena Konflik Tanah Berlarut
Reformasi agraria di HGU dan bekas HGU PTPN tak kunjung ada titik terang. Masyarakat malah kehilangan mata pencarian.
Program redistribusi lahan yang tertuang dalam Nawacita Jilid II Presiden Joko Widodo seharusnya menjadi titik terang penyelesaian konflik agraria di lahan bekas hak guna usaha (HGU) ataupun di HGU aktif PT Perkebunan Nusantara. Konflik lahan antara masyarakat penggarap dan perusahaan sudah puluhan tahun tanpa titik terang.
Salah satu konflik agraria yang belum kunjung diselesaikan adalah konflik antara masyarakat dan PTPN III di Kota Pematang Siantar, Sumatera Utara. Ada 700 hektar lahan yang diusahakan oleh masyarakat, mulai dari Kecamatan Siantar Martoba hingga Siantar Sitalasari.
Masyarakat menyebut HGU itu sudah berakhir, sementara perusahaan menilai lahan itu bagian dari HGU aktif Kebun Bangun. Kompas mengunjungi lahan konflik agraria di dua kecamatan di Pematang Siantar, Rabu (10/1/2024). Hamparan bekas area perkebunan perusahaan itu kini sudah sangat ramai dengan permukiman, tempat usaha, dan ladang warga.
Nuansa konflik terasa sangat kental di area itu dengan banyaknya sekretariat perjuangan agraria dari masyarakat. Banyak pula plang, poster, spanduk, atau penanda lain yang dipasang masyarakat pejuang agraria, perusahaan, hingga penegak hukum di sejumlah lahan.
Lihat juga: Komnas HAM: PTPN III Lakukan Pelanggaran HAM dalam Sengketa Lahan di Pematang Siantar
Salah satu konflik agraria yang masih panas adalah konflik antara masyarakat Kelurahan Gurilla dan Bah Sorma, Kecamatan Siantar Sitalasari, dengan PTPN III. Sore itu, belasan ibu-ibu berkumpul di sekretariat Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi), organisasi perjuangan reforma agraria dari masyarakat.
”Sudah 20 tahun kami hidup dari pertanian di lahan ini. Tiba-tiba, pihak perusahaan PTPN III membabat semua tanaman kami. Sudah lebih satu tahun kami hampir tidak mempunyai penghidupan karena ladang kami dibabat,” kata Ketua Futasi Tiomerli br Sitinjak (55).
Masyarakat mulai menggarap lahan Kebun Bangun itu sejak HGU-nya berakhir pada 2004. Di kelurahan Gurilla dan Bah Sorma, ada sekitar 256 keluarga yang menggarap lahan seluas 126,51 hektar. Seiring berjalan waktu, mereka mendirikan rumah di lahan itu. Mereka hidup dari bertani, seperti menanam ubi, pisang, dan serai. Mereka juga menanam tanaman keras, seperti durian, alpukat, nangka, dan pinang.
Konflik dengan perusahaan yang cukup besar terjadi pada 2010. Masyarakat meminta perusahaan menunjukkan perpanjangan HGU. ”Namun, karena tidak bisa menunjukkan perpanjangan HGU, perusahaan akhirnya mundur,” kata Tiomerli.
Konflik terakhir terjadi pada Oktober 2022. Perusahaan merampas kembali tanah yang sudah diduduki masyarakat. Perusahaan menurunkan sejumlah alat berat ekskavator dengan dikawal aparat keamanan untuk merobohkan rumah warga dan merusak semua tanaman di ladang warga.
”Pihak perusahaan merobohkan rumah warga yang telah menerima tali asih. Saat ini tersisa sekitar 100 keluarga yang tetap bertahan dan tidak mau menerima tali asih itu,” kata Tiomerli.
Tiomerli dan keluarga lainnya tetap bertahan meskipun ladangnya sudah dirusak dan telah ditanami sawit oleh perusahaan. Mereka hidup seadanya dari ladang di sekitar pekarangan rumah, bertenun ulos, mengayam keranjang plastik, dan lain sebagainya. ”Sejak konflik, kami kehilangan sumber mata pencarian,” kata Tiomerli.
Tiomerli menyebut, pejabat dari Kantor Staf Presiden sudah beberapa kali datang ke daerah itu. Warga juga berkesempatan menyampaikan langsung permasalahan itu kepada Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Kabupaten Toba pada Februari 2023. Namun, sampai sekarang tidak ada titik terang dari permasalahan mereka.
Konflik kian panas setelah ada pembangunan jalan Tol Kuala Tanjung-Tebing Tinggi-Parapat (Kutepat) yang melintasi hamparan lahan masyarakat itu. Sebelumnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Siantar juga membangun jalan lingkar luar di lahan bekas HGU itu, tetapi proyeknya mangkrak. Dengan dua proyek itu, lahan yang digarap masyarakat tersisa sekitar 66 hektar dan kini telah diambil alih lagi oleh perusahaan.
Kelurahan Tanjung Pinggir
Konflik serupa juga terjadi di Kelurahan Tanjung Pinggir, Kecamatan Siantar Martoba, yang masih merupakan bagian dari 700 hektar bekas HGU Kebun Bangun PTPN III. Sudah 24 tahun masyarakat memperjuangkan 256 hektar lahan mereka. Salah satu kelompok masyarakat yang berjuang adalah Persatuan Petani Siantar Simalungun (PPSS).
”Kami sudah mendapat rekomendasi tanah obyek reforma agraria (TORA) dari Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Sumut pada 2021. Namun, tiga tahun berlalu, rekomendasi itu belum ditindaklanjuti dengan penetapan TORA hingga saat ini,” kata Ketua PPSS Jacob B Kappuw.
GTRA Sumut yang diketuai Gubernur Sumut saat itu, Edy Rahmayadi, merekomendasikan penetapan 17,7 hektar lahan bekas HGU PTPN III menjadi lahan masyarakat dengan skema TORA. Ada 80 keluarga anggota PPSS yang akan menerima lahan itu.
Jacob mengatakan, GTRA pusat seharusnya melakukan percepatan penetapan TORA tersebut. Sudah tiga tahun rekomendasi disampaikan GTRA Sumut, tetapi sampai sekarang tidak ada penetapan.
Di lapangan, lahan itu sudah 24 tahun dikuasai dan digarap masyarakat menjadi sawah. Sugito (58) sedang sibuk menyiangi rumput di sawahnya. Hasil dari sawah itu mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Jika ada sisa, beras akan dijual. ”Kami sangat berharap pemerintah mempercepat penetapan redistribusi aset di lahan kami ini,” katanya.
Jacob menegaskan, hingga saat ini PTPN III tidak bisa menunjukkan surat perpanjangan HGU Kebun Bangun meskipun sudah berulang kali diminta masyarakat. Pada 1988, Wali Kota Pematang Siantar saat itu, Djabanten Damanik, telah mengeluarkan surat pada 1988 yang meminta agar tidak ada HGU perkebunan di kawasan kota. HGU akan dimanfaatkan untuk perluasan kota. Hal itu menjadi dasar masyarakat di dua kecamatan menggarap lahan bekas HGU.
Lihat juga: Di Tengah Penolakan Warga, PTPN III Akan Tetap Tertibkan HGU di Pematang Siantar
Menyelamatkan aset
Kompas telah mengajukan permohonan wawancara kepada PT Perkebunan Nusantara III (Persero), induk perusahaan perkebunan milik negara, terkait dengan program Reforma Agraria yang dijalankan PTPN. Namun, hingga menjelang artikel ini diterbitkan, Minggu (4/2/2024), Kompas belum mendapat tanggapan dari PTPN.
Sebelumnya, terkait konflik agraria di Kelurahan Gurilla dan Bah Sorma, PTPN III menyebut bahwa mereka hanya melakukan penyelamatan aset. HGU Kebun Bangun seluas sekitar 700 hektar awalnya berakhir pada Desember 2004.
PTPN III mengurus perpanjangan HGU tiga tahun sebelum berakhir dan kemudian terbit HGU baru tahun 2005-2029. Namun, sekitar 126,51 hektar di antaranya kemudian dikuasai oleh masyarakat penggarap.
Lahan itu ditanami kembali dengan sawit untuk menyelamatkan aset perusahaan. Perusahaan membangun dialog dengan masyarakat agar penertiban lahan bisa berjalan dengan baik (Kompas.id, 28/11/2022).
Baca juga: Presiden Minta Konflik Agraria di Sumut Segera Diselesaikan