53 Napi di Sorong Kabur dalam Kondisi Lapas Kelebihan Kapasitas
Kaburnya narapidana dari Lapas Kelas II B Kota Sorong disebabkan tingkat hunian yang melebihi kapasitas.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Sebanyak 45 dari 53 narapidana yang kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Sorong, Papua Barat Daya, dalam pengejaran aparat, Senin (8/1/2024). Pihak lapas menginvestigasi penyebab kaburnya para tahanan.
Kepala Kepolisian Resor Kota Sorong Komisaris Besar Happy Perdana Yudianto menyatakan, kepolisian fokus mengejar napi yang masih kabur. Sebanyak 100 personel diterjunkan. Hingga Minggu malam, kepolisian berhasil menangkap delapan napi.
”Delapan napi tersebut ditangkap sejak sore hingga malam di jalan, dalam angkot, bukit, hingga di hutan. Para napi lain yang masih kabur kemungkinan masih berada di wilayah Sorong,” ujar Happy, Senin (8/1/2024).
Setelah itu, bersama pihak lapas akan melakukan investigasi menyeluruh penyebab kaburnya para tahanan. Happy melanjutkan, pihaknya juga telah melakukan penyekatan di sejumlah lokasi strategis, baik jalur darat maupun laut. Dalam penyekatan tersebut, Polresta Sorong berkoordinasi dengan kepolisian lain di Sorong Raya untuk menyekat dan mengantisipasi pergerakan napi kabur di daerah batas wilayah kota dan kabupaten.
Memang, Lapas Sorong memiliki tingkat hunian yang berlebih, ada ’over’ kapasitas sekitar 140 persen.
Kepala Lapas II B Kota Sorong Manuel Yenusi mengungkapkan, kronologi kaburnya para napi terjadi seusai ibadah, Minggu (7/1/2024) pagi. Saat itu, terjadi ledakan yang diduga petasan dari salah satu ruangan lapas seusai ibadah dilakukan. Bersamaan dengan itu, puluhan napi langsung berhamburan menuju pintu lapas yang hanya dijaga dua petugas.
”Jumlah yang berjaga dan warga binaan tidak seimbang. Pada hari Minggu dan libur, biasanya petugas yang berjaga hanya satu regu terdiri dari 9-11 orang,” kata Manuel.
Petugas dianggap kewalahan dalam kejadian tersebut, dengan jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas. Lapas II B Sorong hanya memiliki kapasitas 214 orang, tetapi dihuni hingga 543 warga binaan.
Melebihi kapasitas
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua Barat Taufiqurrakhman saat mengunjungi Lapas II B Sorong pada Senin pagi juga mengakui kelebihan overcrowding atau tingkat hunian yang melebihi kapasitas penjara di sana.
”Memang, Lapas Sorong memiliki tingkat hunian yang berlebih, ada over kapasitas sekitar 140 persen,” ujarnya.
Jika melihat kasus overcrowding atau tingkat hunian yang melebihi kapasitas penjara menjadi pekerjaan rumah tersendiri lapas dan rutan di Indonesia. Pada 2021 lalu, Center for Detention Studies (CDS) memperkirakan akan ada overcrowding 82 persen tahun 2025. Angka tersebut diperoleh dari analisis terhadap jumlah tahanan dan narapidana masuk dan keluar dari tahun 2016 hingga 2020.
CDS mencermati jumlah narapidana dan tahanan yang masuk dan keluar sejak 2016 hingga 2020. CDS menemukan ada tiga kebijakan yang mengintervensi arus masuk dan arus keluar narapidana/tahanan di LP dan rutan, yaitu kebijakan terkait pengguna narkoba, kebijakan terkait dengan narapidana dengan masa hukuman yang pendek (di bawah 5 tahun), dan kebijakan asimilasi.
CDS mencoba mengintervensi arus masuk dan arus keluar, misalnya dengan mengurangi angka di tiga kebijakan tersebut. Hasilnya, meskipun pengguna narkoba dan napi dengan hukuman di bawah 5 tahun distop (tidak masuk LP/rutan), overcrowding tetap terjadi hingga 82 persen. Namun, apabila intervensi tidak dilakukan (pengguna narkoba dan napi hukuman pendek tetap masuk ke penjara), overcrowding bisa mencapai 130 persen.
Dalam hitungan CDS, diperlukan anggaran sekitar Rp 38,2 triliun untuk dapat menambah 172.000 kapasitas LP dan rutan di Indonesia. Dalam catatan Kompas, pemerintah telah menganggarkan Rp 1 triliun tiap tahun untuk menambah kapasitas LP dan rutan.
Untuk satu pelaksana teknis (UPT) atau satu LP/rutan dengan kapasitas hunian 1.000 orang, dibutuhkan anggaran Rp 200 miliar. Artinya, dana Rp 1 triliun per tahun dapat dipergunakan untuk menambah kapasitas LP dan rutan hingga 5.000 orang (Kompas.id, 15/9/2021).
”Untuk menambah kapasitas atau membangun lapas baru itu di luar wewenang kanwil, jadi upaya yang bisa kami lakukan, yakni memaksimalkan dan mempermudah pemberian asimilasi dan pembebasan bersyarat,” ujar Taufiqurrakhman.