Baku Dukung Hadapi Perubahan Iklim di NTT
Dampak perubahan iklim semakin nyata sehingga mulai muncul gerakan bersama untuk melakukan mitigasi dan adaptasi.
”Jaga alam tuk anak cucu kita
Rawat hutan paru dunia
Emisi karbon meningkat
Laut bukan penampung sampah
Bencana ulah manusia.”
(Chiro Mc-”Adil Untuk Bumi”)
Potongan video hutan terbakar, juga tumpukan sampah di pantai, sesekali melintas pada layar besar di belakang panggung saat Ardin Liko atau Chiro Mc (32) bernyanyi, Jumat (3/11/2023) sekitar pukul 18.40 Wita.
Malam itu, di depan para pengunjung Kupang Waterpark, Nusa Tenggara Timur, Chiro bernyanyi sepenuh hati. Mengajak setiap penonton merenungi pesan mendalam dari lirik-lirik lagu terbarunya yang berjudul ”Adil Untuk Bumi”.
”Inspirasi lagu ini dari keresahan saya. Melihat gejala secara nasional dan global, terutama daerah kami (NTT) ,yakni perubahan iklim dan dampaknya. Apalagi berbicara tentang perubahan iklim, tidak semua orang peduli. Kata mereka itu masalah orang lain. Padahal, dampaknya dirasakan semua orang. Misalnya perubahan cuaca, gagal panen,” kata Chiro.
Lagu ”Adil Untuk Bumi” yang dirilis pada September 2023 sudah dibuatkan video musik dan diunggah di Youtube. Chiro berharap penikmat lagu itu bisa tergerak untuk peduli terhadap dampak perubahan iklim. ”Lalu bahu membahu menjaga bumi dengan cara kita sendiri. Di lingkungan masing-masing,” kata Chiro.
Chiro mengatakan, musik adalah bahasa universal. Di mana semua usia dan kalangan bisa menikmatinya tanpa terbatas ruang dan waktu. Dengan itu, kampanye perubahan iklim bisa semakin luas.
”Kita boleh rilis di Kupang, tetapi dunia bisa menikmatinya lewat berbagai platform,” kata Chiro yang berencana membuat lagu-lagu bertema serupa ke depan.
Jika Chiro membuat lagu, Sanggar Seni Budaya Sina Riang Adonara, Flores Timur, menggali inspirasi pertunjukan teater dari kearifan lokal Lembata, yakni Muro.
Menurut Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata Benediktus Bedil yang menggandeng Sanggar Sina Riang, Muro adalah kearifan lokal di Lembata dalam konservasi laut.
Baca juga: Klemens Eka Hayon, Menghalau Sampah Menjaga Lingkungan
Dalam konservasi itu, masyarakat adat setempat melindungi laut, khususnya tiga spesies penyangga perikanan laut berkelanjutan, yakni mangrove, terumbu karang, dan lamun. Ketiganya adalah tempat ikan hidup dan berkembang biak.
Dalam kearifan lokal itu, mereka juga mengenal tiga zona. Zona tersebut yakni zona inti atau tubere atau jiwa laut, yakni area larangan menangkap ikan. Kemudian, zona penyangga atau tahi barewae atau ikan perempuan yang hanya memberikan akses bagi perempuan dan anak-anak untuk memancing. Serta zona pemanfaatan atau ikan ribu batu di mana ikan boleh diambil, tetapi dibuka ritual adat dan ditutup dengan adat.
Benediktus mengatakan, kearifan lokal itu tetap dijaga dan dipercaya masyarakat adat di sana. Selain mangrove, terumbu karang, dan lamun akan menjaga perikanan berkelanjutan, juga karena fungsi terkait mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim.
Hal itu kemudian dituangkan dalam pertunjukan teater yang dibawakan oleh Sanggar Seni Budaya Sina Riang. ”Kalau kita sampaikan informasi lewat tulisan atau gerai, hanya beberapa orang yang berkunjung ke situ. Tetapi, jika lewat teater, semua pasti menonton. Apalagi itu menarik,” kata Benediktus.
Chiro dan Sanggar Seni Budaya Sina Riang sama-sama ditampilkan dalam Pesta Rakyat Flobamoratas yang berlangsung 3-4 November 2023. Kegiatan itu merupakan bagian dari Program Suara untuk Aksi Iklim Berkelanjutan (Voices for Just Climate Action/VCA) di lingkup NTT yang dikoordinasi Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Hivos) Indonesia.
Dalam Pesta Rakyat yang berlangsung di Kota Kupang, berbagai pihak terlibat. Mereka tergabung dalam koalisi untuk VCA, yakni koalisi pangan baik, koalisi sipil, Koalisi Kopi atau kelompok orang muda peduli iklim, dan koalisi adaptasi. Selain itu, ada juga komunitas-komunitas lain di NTT, termasuk di Kota Kupang.
Country Engagement Manager Voices for Just Climate Action of Hivos Arti Indillah Tjakranegara mengatakan, tujuan kegiatan ini adalah bagaimana mendekatkan isu perubahan iklim dan menjaga lingkungan dengan cara yang menyenangkan.
Menurut Arti, sebelum pesta rakyat, digelar juga edukasi untuk membangun kesadaran terhadap perubahan iklim di sepuluh titik. Sementara pada pesta rakyat ada pameran foto, gerai yang menampilkan praktik masyarakat adat, pangan lokal, dan aktivitas anak muda. Selain itu, ada juga pentas musik dan teater. Lalu, setelah acara, digelar penanaman mangrove.
Baca juga: Kalangan Muda Menghalau Sampah di Pesisir Larantuka
Pewarna alami
Lagu karya Chiro yang merupakan anak asli Bajawa, Flores, atau pertunjukan teater ”Muro” adalah sebagian dari upaya agar semakin banyak orang peduli terhadap perubahan iklim serta tergerak melakukan mitigasi dan adaptasi. Mitigasi adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menekan risiko dan adaptasi adalah usaha untuk hidup berdampingan dengan anomali iklim yang tengah terjadi.
Hal itu sangat penting, apalagi belakangan dampaknya makin terasa secara langsung. Tidak hanya di NTT atau Tanah Air, tetapi juga seluruh dunia.
Dalam siaran resminya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Indonesia International Conference for Sustainable Finance and Economy 2023, November lalu, mengatakan, secara global, perubahan iklim mempunyai dampak yang sangat serius.
Sri mengatakan, perkiraan Bank Dunia, perubahan iklim dapat menyebabkan kerugian 560 miliar dollar AS dan menciptakan kemiskinan baru hingga 100 juta orang setiap tahun.
Sementara di NTT, perubahan iklim telah membuat para perempuan petenun di Sumba Timur kian terancam kehilangan bahan pewarna alam dari tanaman endemik di sana.
Triawan Umbu Uli Mekahati dari Yayasan Koordinasi Pengkajian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Koppesda) Sumba mengatakan, bencana kekeringan hingga kebakaran hutan dan padang membuat tumbuhan seperti Wora (Indigofera tinctoria L) dan Loba (Symplocos sp) semakin terancam ketersediaannya.
”Mungkin ada, tetapi para perempuan petenun ini membutuhkan energi dan biaya lebih besar untuk mendapatkannya sehingga beralih ke pewarna sintesis,” kata Triawan.
Kondisi itu, ujar Triawan, telah berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir. Jika terus dibiarkan, tumbuhan untuk bahan pewarna alam itu bisa benar-benar punah.
Oleh karena itu, kata Triawan, kampanye-kampanye peningkatan kesadaran masyarakat sangat penting. Koppesda yang tergabung dalam Koalisi Adaptasi, misalnya, berupaya meningkatkan kapasitas masyarakat adat dan masyarakat umum melalui pendampingan. Terutama terkait pentingnya hutan. ”Hutan terawat, bahan pewarna alam bisa terawat dengan baik,” kata Triawan.
Sementara di NTT, perubahan iklim telah membuat para perempuan petenun di Sumba Timur kian terancam kehilangan bahan pewarna alam dari tanaman endemik di sana.
Perubahan iklim juga mengancam ketahanan pangan. Oleh karena itu, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di NTT juga dilakukan mendorong pangan lokal. Anak muda yang tergabung dalam Koalisi Pangan Baik, misalnya, membuat berbagai olahan pangan lokal.
Contoh olahan pangan lokal itu seperti puding jawawut, putu ubi, sayur rumpu rampe (tumisan berbagai sayur, termasuk bunga dan daun pepaya, daun singkong, dan lainnya) koil atau kue sorgum, hingga bose leye atau makanan berbahan dasar jali-jali dicampur dengan santan kelapa.
Baca juga: Keberagaman Pangan Lokal untuk Menghadapi Perubahan Iklim
Para pengunjung Pesta Rakyat Flobamoratas terpantau berebut makanan ini. Apalagi beberapa di antaranya baru pertama kali mereka jumpai. ”Senang melihat pengunjung antusias. Hal itu memberikan harapan, pangan lokal akan makin dicintai dan dibudidayakan,” kata Cindy Soge dari Koalisi Pangan Baik.
Dalam acara itu, Cindy bersama Koalisi Pangan Baik juga membawa beraneka bahan pangan lokal untuk diperkenalkan ke masyarakat umum, termasuk puluhan produk turunannya, seperti sereal sorgum, stik sorgum, keripik ubi ungu dan keripik keladi, serta olahan jagung.
Sehari-hari, Cindy sebagai penggerak muda lokal di Desa Hewa, Wulanggitang, Flores Timur, juga mulai menggali kembali potensi pangan lokal yang hilang. Mulai dari pengarsipan hingga pembenihan baru dan budidaya lanjutan.
Ia mencontohkan, untuk padi lokal, ada 17 varietas yang terdata. Namun, dalam proses yang mereka sedang kerjakan, baru delapan yang ditemukan. Begitu juga dengan jagung dari lima jenis, baru tiga yang mereka temukan. Cindy berkomitmen untuk terus mencarinya.
Di luar itu, Cindy bersama rekan-rekannya juga menggelar kegiatan rutin mengolah dan mengonsumsi pangan lokal bagi para pelajar. ”Di daerah sekarang, generasi mulai meninggalkan pangan lokal dan mengonsumsi makanan instan. Pangan lokal punya nilai gizi yang lebih tinggi dan menjamin kesehatan. Karena tidak dimungkiri pangan instan terkontaminasi zat-zat kimia,” kata Cindy.
Selain itu, mereka juga mengadakan reboisasi dengan menanam bambu di daerah aliran sungai yang melintasi kampungnya. Tujuannya untuk mengembalikan debit mata air atau mata air yang kering. Saat ini, dari 17 mata air di Hewa, dua mata air kering dan sisanya mengalami penurunan debit air.
”Penurunan debit hingga kekeringan mata air tidak terlepas dari faktor alam. Tetapi, sebagian besar, ulah manusia karena dalam membangun sebuah rumah atau pembangunan membutuhkan kayu. Setelah menebang, mereka tidak menanam yang baru,” kata Cindy.
Cindy mengaku, di awal tidak mudah saat masuk ke masyarakat. Mereka mendapat penolakan saat akan mengadakan reboisasi karena dianggap hanya mencari perhatian semata. Namun, pendekatan terus dilakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa tujuan mereka adalah menjaga dan melestarikan lingkungan.
Baca juga: Penyeragaman Konsumsi Meningkatkan Kerentanan Pangan dan Gizi di NTT
Sampah
Gerakan-gerakan terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim juga datang dari komunitas anak muda. Misalnya dari Koalisi Kelompok Muda Peduli Iklim atau Koalisi Kopi. Berbagai kegiatan digagas koalisi itu, termasuk gerakan membersihkan kawasan pesisir dari sampah.
Mura Rame di Larantuka yang juga bagian dari Koalisi Kopi, misalnya, sekali sebulan mengadakan bersih-bersih pantai. Mura Rame adalah wadah bagi berbagai komunitas untuk aksi-aksi nyata menghadapi dampak perubahan iklim.
Hati-hati. Hati-hati. Ancaman perubahan iklim sudah nyata dan sudah kita rasakan dan dirasakan semua negara di dunia.
Pentolan Mura Rame, Klemens Eka Hayon (35), mengatakan, Mura Rame tidak hanya melibatkan komunitas lingkungan, tetapi juga nonlingkungan, seperti budaya, ekonomi kreatif, literasi, dan keagamaan.
Tidak hanya dari Mura Rame, kegiatan serupa juga rutin digelar para pelari yang tergabung dalam Kupang Runners. ”Kami yang biasa lari, merasa belakangan kok semakin hari semakin panas. Sangat terasa di badan. Tetapi mungkin bukan hanya kami, masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan turut merasakannya,” kata dr Janet Supit (30) dari Kupang Runners.
Oleh karena itu, kata Janet, mereka rutin ambil bagian dalam berbagai kegiatan terkait perubahan iklim, termasuk hadir mendukung Festival Flobamoratas.
”Di luar itu, kami juga rutin menggelar bersih-bersih, misalnya angkat sampah saat lari jarak jauh, lari di gunung, atau pantai. Termasuk saat ada ajang lari, ada bersih sampah sebagai langkah kecil yang bisa dicontoh komunitas atau masyarakat lain untuk menjaga bumi kita,” kata Janet.
Di tengah besarnya gerakan masyarakat, dukungan pemerintah juga tetap dibutuhkan. Tidak hanya pendanaan, tetapi juga kebijakan. Menurut Triawan, pengarusutamaan perubahan iklim dalam program-program pemerintah belum terlihat sehingga alokasi anggaran untuk lingkungan hidup kecil.
Di samping itu, kata Koordinator Program Koalisi Kopi Yurgen Nubatonis, program pemerintah juga sering kali kontradiktif. Pemerintah, misalnya, punya target pengurangan emisi karbon. Namun, pada saat yang sama, masih membuka izin-izin tambang, termasuk di NTT, yang turut menyumbang emisi.
Terkait perubahan iklim, Presiden Joko Widodo memberikan perhatian. ”Hati-hati. Hati-hati. Ancaman perubahan iklim sudah nyata dan sudah kita rasakan dan dirasakan semua negara di dunia. Suhu bumi yang semakin panas, cuaca juga semakin panas, kekeringan ada di mana-mana,” kata Presiden dalam Festival LIKE (Lingkungan, Iklim, Kehutanan, Energi EBT) Road to COP28 UAE 2023 September lalu.
Menurut Presiden, perubahan iklim, antara lain, berdampak pada terjadinya krisis pangan. Untuk itu, Presiden mengajak semua pihak untuk mewaspadai dan bersama-sama menjaga lingkungan sekitar dengan merehabilitasi hutan dan menggiatkan reboisasi atau penanaman pohon (Kompas.id, 18 September 2023).
Masyarakat NTT yang telah merasakan dampak nyata perubahan iklim, kini sudah bergerak. Mereka ”baku dukung” atau saling dukung dengan cara masing-masing. Masyarakat di daerah lain di Tanah Air, semestinya juga ikut bergerak bersama-sama.