Kalangan Muda Menghalau Sampah di Pesisir Larantuka
Anak-anak muda di Larantuka, Flores Timur, NTT, bergerak bersama lewat aksi nyata, menghalau sampah di pesisir kota itu.
Kini semakin banyak kalangan muda di Tanah Air yang bergerak menangani sampah. Tidak terkecuali di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Di kota ini, anak-anak muda turun langsung dan bergerak lewat aksi nyata menghalau sampah di pesisir.
Pantai Ketapang di Kelurahan Sarotari Timur, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, terlihat indah, Rabu (1/11/2023) lalu. Pantai ini mewakili karakteristik pantai di kawasan timur Indonesia. Pasir putih lembut, air yang jernih, hingga ombak yang tenang.
Di sepanjang pantai itu, tumbuh subur pepohonan hijau yang menambah rindang. Berada di bawahnya jadi opsi terbaik untuk menikmati Pantai Ketapang di cuaca terik.
Namun, seperti pantai-pantai lain di Tanah Air, saat berada lebih dekat, ada banyak sampah. Terselip di antara pasir, bebatuan, hingga semak-semak. Sampahnya beraneka ragam, mulai dari botol plastik, keresek, popok bayi, hingga pembalut.
Jika menyusuri lebih jauh pantai di pesisir Larantuka itu, pemandangan yang disuguhkan tidak akan jauh berbeda. Pantai-pantai di daerah yang bisa dijangkau dalam satu jam dengan pesawat dari Kupang, ibu kota NTT, itu terlihat elok, tetapi juga terpapar aneka sampah plastik.
Tidak ingin kondisi itu terus berlanjut, anak-anak muda setempat mulai menggagas gerakan. Gerakan itu seperti dilakukan Mura Rame, wadah bertemunya anggota berbagai komunitas di Larantuka.
Tidak hanya lingkungan, Mura Rame juga diisi anak-anak muda dari komunitas nonlingkungan, seperti literasi, keagamaan, ekonomi kreatif, dan seni budaya.
Sekali sebulan, mereka berkumpul di salah satu pantai di Larantuka. Mereka lalu menggelar kegiatan bersih pantai atau clean up di sana.
Seperti terlihat pada sore itu, dari jalan terlihat sebuah tiang dengan bendera Merah Putih tertancap di pantai. Bendera itu sebagai penanda lokasi kegiatan. Semua anggota yang baru tiba akan dengan mudah mengenalinya. Di pinggir jalan juga diletakkan papan hitam berisi informasi ajakan bagi siapa saja pengguna jalan yang melintas untuk ambil bagian.
Proses bersih-bersih dilakukan bersama-sama dengan penuh antusias. Mereka terlebih dahulu menuju lokasi di ujung utara pantai. Lalu sambil membawa karung, mereka bergerak pelan ke selatan.
Baca juga : Klemens Eka Hayon, Menghalau Sampah Menjaga Lingkungan
Setiap sudut pantai diperiksa. Termasuk sampah-sampah yang tertimbun di pasir, juga di antara semak-semak. Beberapa di antara mereka menyisir tepi jalan sepanjang pantai yang juga penuh sampah.
Cukup banyak pembalut yang ditemukan, selain botol plastik, kemasan plastik, popok bayi, hingga sampah kain. Hari itu, mereka berhasil mengumpulkan 25 kilogram sampah.
”Sampah ini selanjutnya kami bawa ke kantor dinas lingkungan hidup dan menaruhnya di truk sampah di sana. Nanti mereka yang akan angkut ke tempat pembuangan akhir,” kata Kempi, salah satu pentolan Mura Rame.
Tidak hanya anggota komunitas, warga yang kebetulan melintas juga ikut ambil bagian, termasuk yang sedang berkegiatan atau berwisata pantai. ”Saya dan teman-teman kelas sedang ada kegiatan di pantai untuk tugas sekolah. Kebetulan ada kakak-kakak yang lagi bersih-bersih angkat sampah, jadi ikut,” kata Aloysius Hendra Kleden (12), pelajar kelas II SMPN 1 Larantuka.
Tidak hanya bersih-bersih, mereka juga menjadikan momen itu untuk saling bertukar pikiran. Sebelum bubar, mereka duduk santai di pantai, lalu berdiskusi tentang kegiatan hari itu. Mereka juga membahas rencana kegiatan selanjutnya. Hari itu, misalnya, mereka membahas rencana penanaman pohon di salah satu pantai di Larantuka.
Masalah sampah ini persoalan perilaku.
Lebih peka
Menurut Kempi, gerakan bersama Mura Rame itu baru berjalan hampir setahun. Mereka baru sepuluh kali bersih-bersih pantai. Pantai dipilih karena jauh dari permukiman warga sehingga jarang ada yang membersihkan.
Akan tetapi, sebelum Mura Rame, ada komunitas Trash Hero Larantuka sejak 2019. Komunitas ini, katanya, telah melakukan sekitar 106 kali kegiatan bersih-bersih dan berhasil mengumpulkan 4 ton sampah.
Ia menambahkan, anak muda menjadi penggerak utama kegiatan ini karena mereka lebih peka. ”Jadi, kami selalu menggerakkan aksi bersih-bersih dengan orang muda. Ketika semakin banyak orang muda bergabung, maka niat untuk mengajak yang umurnya lebih atau di bawah kami bisa lebih cepat,” katanya.
Kempi berharap semakin banyak warga masyarakat yang peduli. Tidak lagi membuang sampah sembarangan di kawasan pesisir. ”Sejak kami mulai memang telah ada perubahan. Tetapi, memang skalanya masih kecil. Misalnya, di pantai yang jadi lokasi bersih-bersih kami, warga tidak lagi membuang sampahnya ke sana,” katanya.
Ambrosia Meilany Wungubelen (27) dari Simpasio Institute, komunitas yang bergerak pada bidang pengarsipan budaya di Larantuka, mengatakan, meski komunitasnya tidak fokus pada lingkungan, masalah lingkungan adalah tanggung jawab bersama.
Baca juga : Ikhtiar Besar Menjaga Pulau-Pulau Kecil
”Kami merasa bagian dari anak muda yang terpapar atau rentan terhadap dampak perubahan di alam. Sehingga kami ingin bersama-sama menjaga lingkungan agar dapat diwariskan ke anak cucu kami ke depan,” kata Meilany.
Ia mengatakan secara personal mulai tertarik pada isu lingkungan setelah mengikuti Jambore Gotong Royong untuk Flobamoratas. Kegiatan itu diselenggarakan oleh Koalisi Kelompok Muda Peduli Iklim (Koalisi Kopi).
Koalisi Kopi adalah salah satu dari empat koalisi dalam program Suara untuk Aksi Iklim Berkelanjutan (Voices for Just Climate Action/VCA) di lingkup NTT. Kegiatan itu dikoordinasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Nasional (Hivos Indonesia). Koalisi Kopi fokus pada bagaimana anak-anak muda lintas komunitas, baik lingkungan maupun nonlingkungan, berkolaborasi menggarap isu lingkungan.
”Kami punya visi dan misi yang sama. Ingin melestarikan alam di sekitar kita. Juga merawat lingkungan agar tidak rusak. Terutama (sebagai antisipasi) karena adanya perubahan iklim,” kata Meilany.
Menurut Kempi, tidak mudah mengajak orang untuk benar-benar berkontribusi menangani sampah. Namun, ia dan rekan-rekannya di Mura Rame akan terus bergerak menggunakan segala potensi yang ada dari berbagai komunitas yang bergabung.
Oleh karena itu, tidak hanya dengan aksi bersih-bersih, kampanye terus-menerus dilakukan, termasuk memulai gerakan mengurangi sampah plastik. Salah satunya adalah kampanye menggunakan tumbler bagi pekerja kantor, membawa kotak makan bagi anak-anak sekolah, hingga menggunakan tas belanja sebagai pengganti tas keresek bagi ibu-ibu.
”Di samping itu, kami juga sebisa mungkin hadir dalam forum-forum diskusi pemerintah daerah. Lalu mengingatkan mereka tentang penanganan sampah. Terutama saat ada rapat persiapan kegiatan besar di kabupaten,” kata Kempi.
Membantu
Larantuka adalah kecamatan sekaligus ibu kota Kabupaten Flores Timur. Kota ini bisa dijangkau dalam satu jam menggunakan moda transportasi udara dari Bandara El Tari di Kupang. Pilihan lainnya ialah dengan transportasi laut berkisar 10-12 jam.
Sebagai ibu kota kabupaten dengan penduduk 41.469 orang pada 2021 atau terbanyak di Flores Timur, sampah jadi persoalan di Larantuka. Produksi rata-rata harian sampah di wilayah tersebut lebih dari 16 ton atau sekitar 6.000 ton per tahun.
Menurut Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Flores Timur Hendrikus Kristian Edi Jaya Lamanepa, penanganan sampah terus dilakukan dengan segala keterbatasan, terutama anggaran untuk pengadaan sarana dan prasarana.
Saat ini, armada mereka hanya tujuh unit. Empat di antaranya sudah tua dan sering bermasalah. Tiga lainnya masih termasuk baru, yakni dua dari program tanggung jawab sosial perusahaan dan satu lagi pengadaan sendiri. ”Sebelum pengadaan terbaru, pengadaan terakhir dilakukan sekitar sepuluh tahun lalu,” kata Hendrikus.
Kondisi itu turut membuat penanganan sampah di Larantuka belum maksimal. Di sisi lain, mereka juga berhadapan dengan kesadaran masyarakat yang belum sepenuhnya terhadap sampah. ”Masalah sampah ini persoalan perilaku. Saat ke tempat pembuangan sampah sementara saja, mereka buang sampah dari atas motor, dari mobil, sehingga TPS kosong, sampah menumpuk di luar,” katanya.
Oleh karena itu, Hendrikus mengapresiasi upaya yang dilakukan anak-anak muda di Larantuka, seperti Mura Rame. ”Mereka dari kalangan muda dan aktif berkegiatan membersihkan kawasan pesisir. Di samping memberikan pemahaman soal sampah, soal kebersihan, yang melibatkan anak-anak SD-SMP,” ujarnya.
Kegiatan itu sangat berkait dengan perubahan perilaku dan menumbuhkan kesadaran masyarakat. Hendrikus sudah berbicara dengan pimpinan terkait gerakan anak-anak muda tersebut. Mereka berencana menggandeng Mura Rame dan lainnya dalam program penanganan sampah di Flores Timur, khususnya di Larantuka.
Koordinator Program Koalisi Kopi Yurgen Nubatonis mengatakan, program-program pemerintah terkait perlindungan ekosistem masih terbatas. Acap kali masalah pendanaan jadi alasan klasik mereka. ”Di wilayah perkotaan, sampah jadi salah satu isu serius, tetapi selama ini pemerintah masih fokus pada upaya pengangkutan. Pengolahannya belum,” katanya.
Meski demikian, selalu ada ruang-ruang yang terbuka untuk kerja sama pemerintah dan kalangan muda dalam penanganan sampah.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022, total timbulan sampah di Indonesia mencapai 69,2 juta ton. Indonesia memiliki target penanganan sampah hingga 70 persen pada 2025 serta bebas sampah pada 2030-2040.
Target itu tentu tidak mustahil untuk dicapai. Namun, gerakan-gerakan anak muda, seperti Mura Rame di Larantuka, harus terus didorong. Apalagi jika gerakan itu bisa merangkul semakin banyak orang untuk ambil bagian.