Para ”emak-emak” harus punya sejuta akal mengatur keuangan dengan berburu promo diskon, membatasi uang belanja, hingga menakar kebutuhan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI, VINA OKTAVIA, YOLA SASTRA
·4 menit baca
Riana (34) tersenyum kecut menenteng tas keresek saat berbelanja di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (26/12/2023) siang. Maklum, uang Rp 100.000 di dompetnya belum cukup membeli semua barang yang ada di daftar kebutuhannya.
Dengan uang sebesar itu, ia hanya membeli satu ayam potong, setengah kilogram telur ayam, setengah kilogram bawang merah dan bawang putih, serta seperempat cabai. Beberapa sayuran yang ia beli pun hanya setengah dari porsi biasanya.
Sisa uangnya Rp 50.000 juga digunakan membeli tempe dan bumbu masak lainnya. ”Uang belanja sayur, lauk, dan kebutuhan dapur saya patok Rp 150.000 per minggu. Kalau tidak begitu, bisa lebih besar pasak daripada tiang,” ucap Riana menganalogikan biaya hidup yang semakin membengkak.
Ia perlu mematok dana belanja karena harga sejumlah bahan pangan terus meningkat. Data infopangan.jakarta.go.id per Selasa (26/12/2023) mencatat kenaikan harga cabai rawit merah, cabai merah besar, hingga bawang merah di sejumlah pasar.
Harga cabai merah keriting, misalnya, naik Rp 4.000 menjadi Rp 44.000 per kilogram dibandingkan sehari sebelumnya. Harga beras medium juga mencapai Rp 13.000 per kilogram atau di atas harga eceran tertinggi Rp 10.900 per kilogram.
Di tengah lonjakan harga pangan itu, Riana mengaku tak mudah mengatur uang belanja. Setiap bulan, hampir separuh dari gaji suaminya sudah terpakai untuk membayar kontrakan, tagihan listrik, pulsa, dan internet.
Ia harus pintar-pintar mengatur agar kebutuhan bulanan keluarga tak lebih dari Rp 2 juta. Itu dilakukan agar dia masih bisa menabung minimal Rp 100.000 setiap bulan.
Tuntutan berhemat membuatnya mengatur menu makanan setiap minggu. Misalnya, ia memilih lauk ayam atau ikan untuk keluarga saat awal gajian. Setelah itu, lauknya telur, tahu, dan tempe.
Ia juga tak hanya berbelanja di pasar tradisional, tetapi juga di supermarket demi berburu diskon. Ia membeli minyak goreng, gula pasir, detergen, tisu, dan makanan ringan.
Riana juga mengejar hadiah jika membeli produk tertentu. ”Kalau beli detergen, dapat bonus sabun cuci piring. Kan, lumayan,” ucapnya.
Sejuta akal menyikapi lonjakan harga bahan pokok juga diterapkan Yuliana (39), warga Ciledug, Tangerang. Sehari-hari, ia berjualan pakaian secara daring untuk membantu menambah penghasilan keluarga. Suaminya bekerja sebagai petugas keamanan di wilayah Tangerang.
Kebutuhan hidup keluarganya setiap bulan sekitar Rp 6 juta. Selain biaya makan, ia juga harus membayar cicilan KPR dan menabung untuk biaya pendidikan kedua anaknya.
Demi berhemat, Yuliana mengaku sudah mengurangi makan di luar rumah setengah tahun terakhir. Ia memilih membawa bekal saat pergi berbelanja stok pakaian di Pasar Tanah Abang.
Yuliana juga sering berburu kebutuhan rumah tangga di lokapasar, terutama saat siaran langsung. ”Selain ada diskon, saya juga bisa dapat gratis ongkos kirim. Itu lumayan banget, bisa beli detergen sampai minyak goreng dengan harga miring,” katanya.
Mengurangi sambal
Tidak hanya konsumen, pedagang makanan pun harus berhemat. Solikhah (35), pemilik warung makan Magelang di Pasar Kramatjati, Jakarta, misalnya, mengaku kerepotan akibat ”pedasnya” harga cabai.
”Naiknya harga cabai sekitar dua bulan lalu membuat saya harus mengurangi porsi membuat sambal. Jika biasanya buat sambal pakai cabai 1 kilogram, sekarang bisa jadi hanya setengahnya,” kata perempuan yang sedang hamil 8 bulan itu.
Porsi sambal kepada pembeli pun berkurang. ”Jika dahulu setiap porsi makan bisa 1-2 sendok makan berisi sambal, saat ini paling hanya dua sendok teh. Makin sedikit. Kalau masih mau nambah, ya, bisa jadi nanti harga makanannya dinaikkan,” kata Solikhah.
Bagi pembeli yang makan di tempat, ia juga pilih-pilih soal sambal. Jika pelanggan yang rutin membeli di warungnya, ia akan membiarkan mereka meminta tambahan sambal.
”Kalau pembeli baru, nantinya sambal akan dihitung sendiri. Misalnya, makannya habis Rp 18.000, nanti hitungannya nambah. Jadi, habisnya Rp 20.000 sepiring,” jelasnya.
Naiknya harga cabai sekitar dua bulan lalu membuat saya harus mengurangi porsi membuat sambal.
Wati (45), penjual seblak di Condet, Jakarta Timur, juga bersiasat akibat kenaikan harga cabai. ”Biasanya untuk jualan seblak, saya beli seperempat kilogram (Rp 25.000). Sekarang, paling beli Rp 10.000,” ujarnya.
Jika dagangannya laris, ia terpaksa memilih sambal instan seharga Rp 1.500 per saset untuk makan sekeluarga. Mereka bisa menghabiskan 1-2 saset cabai instan.
”Paling banyak 3-4 saset. Sesekali begitu, malah murah karena sudah tidak perlu beli tomat dan bahan lain. Sudah langsung jadi sambal,” katanya.
Wati, Solikhah, Yuliana, dan Riana menjadi contoh bagaimana warga bersiasat terhadap tekanan ekonomi. Bagi mereka, tidak ada kata menyerah. Sudah sepatutnya berbagai pihak juga berjuang menangani lonjakan harga pangan yang selalu berulang.