Sleman Mulai Olah Sampah Jadi Bahan Bakar Industri
Kabupaten Sleman memulai langkah pengelolaan sampah secara mandiri dan berkelanjutan dengan mengoperasikan TPST Tamanmartani. Sampah di fasilitas ini diolah menjadi bahan bakar industri.
Oleh
MOHAMAD FINAL DAENG
·3 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, mulai mengoperasikan tempat pengolahan sampah terpadu di Desa Tamanmartani, Kecamatan Kalasan. Fasilitas itu mengolah sampah menjadi bahan bakar refuse derived fuel. Ini menjadi tahap awal kabupaten penyumbang sampah terbesar di DIY itu untuk menangani sampah secara mandiri dan berkelanjutan.
Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Tamanmartani diresmikan pengoperasiannya oleh Bupati Sleman Kustini Sri Purnomo, Kamis (21/12/2023). Pembangunan fasilitas di lahan seluas 1,1 hektar itu menghabiskan total biaya Rp 23,9 miliar.
”Fasilitas ini menjadi salah satu solusi penanganan sampah di Sleman. Selain mengolah sampah di TPST, Sleman juga menerapkan strategi penanganan sampah dari hulu ke hilir, yakni dengan melibatkan peran masyarakat untuk memilah dan mengolah sampahnya sendiri,” kata Kustini.
TPST Tamanmartani dapat mengolah 80-90 ton sampah per hari. Namun, pada tahap uji coba saat ini, kapasitasnya baru 50-60 ton per hari. Adapun produksi sampah di Sleman mencapai 200 ton per hari.
Dari setiap ton sampah yang diolah di TPST Tamanmartani dapat dihasilkan 0,5 ton refuse derived fuel (RDF). Artinya, setiap hari Sleman bisa memproduksi 25-30 ton RDF. Saat TPST Tamanmartani sudah beroperasi penuh, produksi RDF bisa mencapai 40-45 ton per hari.
Cara kerjanya, sampah yang masuk ke TPST dipilah antara organik dan anorganik. Sampah anorganik kemudian dicacah dan dikeringkan, kemudian diolah sehingga menjadi RDF. RDF itu bisa digunakan sebagai bahan bakar industri semen. Adapun sampah organik diproses terpisah sehingga menjadi RDF organik.
Setelah ketiga TPST ini beroperasi, Sleman bisa menangani sampahnya secara mandiri.
Kustini mengatakan, selain TPST Tamanmartani di wilayah timur, Pemkab Sleman sedang dan akan membangun dua unit TPST lagi di wilayah barat dan wilayah tengah. Kedua TPST itu ditargetkan rampung pada 2024.
”Setelah ketiga TPST ini beroperasi, Sleman bisa menangani sampahnya secara mandiri. Ini artinya Sleman tak perlu lagi mengirim sampah ke TPA (tempat pemrosesan akhir) Regional Piyungan,” kata Kustini.
Sebelum ini, Sleman menjadi penyumbang terbesar sampah yang dikirim ke TPA Piyungan di Kabupaten Bantul. TPA itu menampung 700 ton sampah setiap hari dari tiga kabupaten/kota di DIY, yakni Sleman, Kota Yogyakarta, dan Bantul.
Namun, sejak TPA Piyungan kelebihan kapasitas sehingga hanya beroperasi terbatas sejak Juli 2023, Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X meminta kabupaten/kota untuk mengelola sampah secara mandiri di wilayah masing-masing.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sleman Epiphana Kristiyani menargetkan pada pertengahan 2024, Sleman tidak lagi mengirim sampah ke TPA Piyungan. TPST di barat yang berlokasi di Kecamatan Minggir akan diuji coba pada Januari 2024, sedangkan TPST di bagian tengah masih dalam proses pengurusan izin. Kedua TPST itu juga memakai model pengolahan RDF.
“Nantinya total tiga TPST tersebut bisa menyelesaikan 200 ton produksi sampah per hari. Pengolahan sampah dengan teknologi RDF ini tidak menyisakan timbulan sampah lagi alias zero waste,” katanya.
Setelah TPST Minggir beroperasi, Epiphana mengatakan, Sleman akan memproduksi 100 ton RDF per hari. RDF itu akan dipasok ke PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) yang menggunakannya sebagai bahan bakar pabrik semen mereka di Cilacap, Jawa Tengah.
Namun, untuk pola kerja sama dan harga jualnya, Epiphana mengatakan, hal itu akan digodok lebih lanjut karena menyangkut proses bisnis. Pemkab harus terlebih dahulu menyiapkan lembaga yang bisa melakukan proses bisnis itu, misalnya dalam bentuk badan layanan umum daerah (BLUD).
RDF Business Development Manager PT SBI Ruchiyat mengatakan, pihaknya siap menampung produksi RDF dari Sleman. Saat ini, kapasitas RDF di PT SBI adalah 200 ton per hari. ”Nanti akan dilihat produknya seperti apa dan kemampuan kita untuk membeli produknya seperti apa,” ujarnya.
Bagi pabrik semen, Ruchiyat mengatakan, bahan bakar RDF sangat membantu mengurangi kebutuhan bahan bakar dari batubara yang mahal. Selain itu, RDF juga lebih ramah lingkungan karena merupakan energi baru terbarukan. ”Saat ini porsi RDF untuk bahan bakar di pabrik mencapai 8-10 persen. Kami targetkan porsinya bisa meningkat jadi 20-25 persen,” ujarnya.