Parade Nyiru Jaja Bejangkongan Pemersatu Warga Pringgasela
Parade Nyiru Jaja Bejangkongan berlangsung meriah. Berbagai kekayaan budaya lokal dihadirkan dalam acara ini.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA, SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
·4 menit baca
LOMBOK TIMUR, KOMPAS – Nyiru Jaja Bejangkongan berlangsung meriah di Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Pawai yang berlangsung Rabu (20/12/2023) ini menyatukan berbagai trah di Pringgasela Selatan, sekaligus memperlihatkan kekayaan lokal desa tersebut.
Nyiru Jaja Bejangkongan adalah tradisi kuliner masyarakat Pringgasela Selatan tempo dulu. Nyiru berarti tampah, jaja artinya jajan pasar dan bejangkongan berarti bergandengan.
Biasanya tradisi ini diadakan menjelang panen raya ataupun gawe desa. Kini, Nyiru Jaja Bejangkonang menjadi puncak dari Festival Dongdala (pelangi) yang digelar Desa Pringgasela Selatan. Tahun ini, Festival Dongdala mengangkat tema ”Sasaq Sela Nggisin Gumi" yang artinya upaya terus menerus untuk bersama merawat bumi.
Sejak pagi, warga desa di kaki Gunung Rinjani itu telah bersiap-siap. Para gadis dan ibu keluar dari rumah masing-masing menggunakan lambung atau baju tradisional hitam dengan lingkaran selendang tenun.
Mereka memakai tenun ragi bayan sambut abang terbaik sebagai bawahannya. Sambil berbaris rapi mereka menyunggi nyiru yang berisi aneka jajan pasar.
Sementara itu, warga laki-laki tampak gagah dengan setelan dodot. Sapuq dari tenun atau batik di kepala, jas hitam, bebet atau ikat pinggang tenun. Lalu, ada bawahan kain tenun yang disebut selewoq poto, yakni kain yang dikenakan dengan ujung lancip ke bawah.
Indah Susanti (40), warga Kampung Sinar Sari, sudah menyiapkan berbagai makanan tradisional seperti cerorot dan orog orog untuk persiapan pawai sejak Selasa sore. Sejak subuh, ia juga sudah berdandan agar tampil maksimal di saat pawai. Wajahnya terlihat semringah.
Risa, warga Kampung Sejati juga antusias. Ia sukarela mengikuti Nyiru Jaja Bejangkongan. Ia memakai kain terbaiknya dan mengeluarkan dana pribadi untuk mengisi nyiru.
”Asal memakai baju adat dan menyunggi nyiru, semua bisa ikut pawai,” katanya.
Luar biasa melihat anak-anak usia 9-12 tahun, tapi sudah bisa menenun. Ini jarang di daerah-daerah lain yang juga punya penenun
Warga berjalan kaki sejauh 1,8 kilometer dari area di dekat Kantor Desa ke Galeri Tenun Pringgasela. Posisinya berurutan dari pemain musik gendang beleq di depan, lalu para pembawa nyiru, hingga di bagian paling belakang Kelompok Musik Kelenang Nunggal Mahapati. Total hampir 2.000 orang yang terlibat.
Ketua Panitia Festival Dongdala yang juga Daya Desa Budaya Pringgasela Selatan Nizar Azhari mengatakan, festival ini diselenggarakan untuk menyatukan berbagai trah di Pringgasela Selatan, juga keluarga besar lainnya yang berada di luar desa.
Trah itu yakni Masbagik, Tanaq Gadang, dan Sumbawa. Dari mereka lahir berbagai kekayaan tradisi seperti tenun pringgasela, musik kelenang nunggal, permainan tradisional blanjakan dan berbagai pangan lokal.
”Ada tiga trah dengan ciri khas berbeda dan luar biasa di Pringgasela Selatan. Mulai saat ini dan ke depan, semoga kekompakan ini bisa terus dipertahankan. Sehingga kita bisa membangun kesejahteraan desa melalui jalur budaya. Kita bisa menjadi desa yang maju dan berbudaya,” kata Nizar.
Nizar juga berterima kasih atas dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan (PPK) Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk dukungannya terhadap budaya desa.
Direktur PPK Irini Dewi Wanti mengapresiasi Pringgasela Selatan yang mampu meregenerasi penenun. ”Luar biasa melihat anak-anak usia 9-12 tahun, tapi sudah bisa menenun. Ini jarang di daerah-daerah lain yang juga punya penenun,” kata Irini.
Pendekatan yang dilakukan di Pringgasela Selatan yang tahun lalu menjuarai Anugerah Desa Budaya 2022, kata Irini, diharapkan bisa menginspirasi desa-desa di daerah lain yang juga punya ciri khas tenun.
Mendapat apresiasi
Pada tahun ini, para penerima penghargaan Apresiasi Desa Budaya (ADB) adalah Danau Lamo (Jambi), Klungkung serta Pule (Jawa Timur). Selain itu, Denai Lama (Sumatera Utara) dan Bayan (NTB).
Pengumuman pemenang desa budaya itu diumumkan pada Rabu malam ini di Galeri Tenun Pringgasela. Penjurian ADB melibatkan akademisi, budayawan, pemerhati, praktisi, serta unsur pemegang kebijakan.
Para juri tersebut, yakni Bito Wikantosa, sebagai staf ahli Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Melani Budianta (Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia), Fitri Utami Ningrum (pendiri platform edukasi dan promosi untuk pengembangan komunitas dan pariwisata berkelanjutan Caventer). Selain itu, ada Redy Eko Prastyo (pegiat Kampung Cempluk, Jatim) dan Aloysius Budi Kurniawan (Wartawan Kompas).
Irini menambahkan, apresiasi desa budaya menjadi wujud pengakuan dan penghargaan atas pencapaian desa dan masyarakat dalam menegaskan dirinya sebagai Desa Budaya.
Irini menjelaskan, desa yang mandiri dan berdaya itu, bisa dibuktikan dengan mampu membuat perencanaan pembangunan berbasis kebudayaan, dengan narasi dan aktivitas kebudayaan, berikut sistem data kebudayaan yang melekat di dalamnya. Termasuk legalisasinya melalui dokumen Pemajuan Kebudayaan Desa (PKD).
PKD bertujuan membangun kemandirian, kesejahteraan, dan penghidupan berkelanjutan yang bersinergi dengan berbagai sumber daya yang ada di desa.
"Melalui tahapan proses temu-kenali, pengembangan dan pemanfaatan yang dilakukan 315 desa peserta PKD mulai tahun 2021, diharapkan masyarakat desa mampu mandiri dan berdaya,” kata Irini.
Irini menambahkan, ADB menjadi salah satu bukti nyata kebudayaan mampu menjadi daya gerak dan daya hidup yang menghasilkan efek positif bagi masyarakat. Termasuk membuka kemungkinan pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan yang lebih luas. Ia berharap, ADB membuka kesadaran semua pihak untuk menyadari kekuatan budaya yang bisa menjadi arah kebijakan dan implementasi pembangunan nasional.